Share

Bab 6. Berkelana 2

Pangeran Ardhakusuma termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.”

“Aku melihatnya” Pawana menjelaskan.

“Dimana?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya yang besar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar.

Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.”

Pangeran Ardhakusuma memang berpaling. Tetapi ia-pun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Ardhakusuma adalah sepotong balok kayu.

“Inikah buaya itu?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu.

Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaimana ia mempelajari berbagai macam ilmu dari gurunya, maka penglihatan batinnya-pun segera menangkap isyarat, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa.

Karena itu, maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Pangeran mulai bermain-main. Demikian tiba-tiba sehingga aku tidak bersiap menanggapinya. Kini aku melihat, bahwa yang ada hanyalah Pangeran dan barangkali beberapa ekor ikan di bawah air. Tidak ada buaya dan tidak ada sebatang kayu. Jika sebatang kayu itu memang ada, tentu sudah mengapung dan hanyut ke hilir.

Pangeran Ardhakusuma tertawa. Katanya, “Luar biasa. Kau mampu mengamati dengan penglihatan batinmu. Benda-benda itu memang semu.”

Pawana-pun kemudian terjun lagi ke dalam air sambil berkata, “Pangeran mampu membuat benda-benda semu.”

“Hanya satu permainan yang barangkali kurang menarik bagi orang lain” berkata Pangeran Ardhakusuma.

“Guruku juga pernah berceritera tentang ilmu yang demikian” jawab Pawana.

“Apakah gurumu juga mampu melakukannya?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

“Aku tidak tahu. Tapi kata guru Ki Patih Dipayana adalah salah seorang yang memiliki kemampuan menumbuhkan bentuk-bentuk semu.”

Pangeran Ardhakusuma mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali ada satu dua orang yang mampu melakukannya. Jika kau bersedia, kau dapat mempelajarinya kepada eyang Pramanegara. Sayang kau tidak dapat belajar padaku, karena aku sendiri tidak tahu, bagaimana mungkin aku memilikinya.”

“Pangeran” berkata Pawana, “bukankah Pangeran pernah mengatakan, bahwa apa yang terjadi di dalam mimpi itu tidak ubahnya terjadi dalam kehidupan wadag? Yang terjadi di dalam mimpi itu akhirnya berujud di dalam kehidupan wadag kasar Pangeran.”

“Ya. Memang begitu?” jawab Pangeran Ardhakusuma.

“Bukankah dengan demikian Pangeran dapat mengingat, apa yang telah terjadi di dalam mimpi?” bertanya Pawana.

“Aku mengerti maksudmu” Pangeran Ardhakusuma mengangguk-angguk, “kau memang cerdik. Tetapi tidak semua yang terjadi di dalam mimpi itu dapat diingat seluruhnya dengan jelas.”

“Tetapi bukankah tidak semuanya terlupakan? Mungkin Pangeran mampu mengingat beberapa peristiwa dan laku yang Pangeran jalani di dalam mimpi. Tentu sulit dan berat, sementara wadag Pangeran sendiri terbaring nyenyak di pembaringan tanpa melakukan perbuatan apa-pun juga.” berkata Pawana.

Pangeran Ardhakusuma termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencobanya. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku katakan kepadamu. Di dalam mimpi yang panjang, seolah-olah aku memang telah menjalani laku tiga hari tiga malam. Namun sebenarnyalah aku tidur tidak lebih dari satu malam. Sejenak malam menginjak saat sepi uwong sampai menjelang saput-lemah di dini hari.”

“Silahkan mencoba Pangeran” berkata Pawana, “mungkin dengan demikian ada yang dapat Pangeran lakukan bagi orang lain.”

“Aku mengerti. Kau berharap untuk memiliki kemampuan yang khusus jika mungkin dapat aku tularkan kepadamu” berkata Pangeran Ardhakusuma. Lalu, “Jika pada suatu saat aku menemukan kemungkinan itu, serta apabila gurumu tidak berkeberatan, aku dapat menularkan kemampuanku, tentu saja hanya yang mungkin. Apalagi menurut penglihatanku, maka sesuatu atau seseorang atau apapun telah memanggil aku untuk meninggalkan kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian ini.”

“Seharusnya Pangeran menghilangkan kesan itu” berkata Pawana, “dengan demikian kita memandang hidup ini dengan cerah, sebagaimana sebentar lagi matahari akan terbit."

Pangeran Ardhakusuma menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita sudah selesai. Sebentar lagi, banyak orang yang akan turun ke sungai ini untuk bermacam-macam keperluan."

Keduanya-pun kemudian telah naik ke tepian dan membenahi diri. Kemudian mencuci pakaian mereka yang basah dan sebelum banyak orang datang, mereka-pun telah meninggalkan kedung kecil itu.

“Kita menyusuri sungai ini” berkata Pangeran Ardhakusuma, “di tempat yang sepi, yang tidak pernah dikunjungi orang, kita menjemur pakaian yang basah ini, jika matahari nanti terbit.

Pawana mengangguk-angguk. Mereka-pun kemudian telah pergi menyusuri tepian ke tempat yang tidak banyak dikunjungi orang. Sementara itu, matahari-pun telah terbit dan cahayanya yang lunak mulai meraba tepian yang berpasir.

Pawana dan Pangeran Ardhakusuma telah menjemur pakaian mereka yang basah di atas batu-batu besar. Meskipun panas matahari masih belum terasa menggatalkan kulit, namun ternyata bahwa panas itu sudah mampu mengeringkan pakaian yang basah meskipun memerlukan waktu beberapa lama.

Ketika keduanya telah berada kembali di dalam bilik Pangeran Ardhakusuma, maka Pawana-pun berkata, “Aku tidak akan dapat terlalu lama berada di sini.”

“Apa maksudmu?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

“Hari ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara” berkata Pawana.

Pangeran Ardhakusuma mengerutkan keningnya. Katanya, “Begitu tergesa-gesa?”

“Aku mempunyai tugas-tugas khusus di Tanah Perdikan” jawab Pawana.

“Besok sajalah kembali” berkata Pangeran Ardhakusuma, “hari ini kau masih tetap di sini. Aku ingin melihat, apakah malam nanti kau dapat tidur nyenyak atau tidak.”

Pawana termangu-mangu. Namun Pangeran Ardhakusuma mendesaknya, “Apakah kau benar-benar ketakutan tidur di sanggar itu? Atau barangkali kau tidak senang tidur di lantai dan aku tidur di pembaringan?”

“Tidak Pangeran. Bukan itu” jawab Pawana.

“Jika demikian kenapa?” bertanya Pangeran Ardhakusuma pula.

Pawana tidak dapat menjawab. Karena itu, maka Pangeran Ardhakusuma berkata, “Nah, bukankah kau tidak mempunyai alasan untuk memaksa pulang hari ini?”

Akhirnya Pawana menarik nafas sambil berdesis, “Baiklah Pangeran. Tetapi besok pagi-pagi aku akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara.”

Pangeran Ardhakusuma tertawa. Katanya, “Nah, aku masih akan dapat membuktikan, apakah kau masih akan selalu bermimpi buruk atau tidak dalam tidurmu malam nanti.”

Sebenarnyalah ketika malam turun, keduanya telah berada di sanggar sejak awal. Meskipun keduanya belum mengantuk, tetapi Pangeran Ardhakusuma telah mengajaknya berada di dalam sanggarnya yang sempit itu.

Untuk beberapa lama mereka masih berbincang-bincang tentang berbagai macam persoalan. Dari unsur dan jenis olah kanuragan sampai jenis buah-buahan yang ditanam di dalam kebun-kebun di Tanah Perdikan Madukara.

Namun akhirnya keduanya-pun mengantuk pula. Menjelang sepi-uwong keduanya telah berbaring. Namun baru menjelang tengah malam, keduanya tertidur nyenyak.

Ternyata Pawana tidak lagi diganggu oleh mimpi-mimpi buruk. Bahkan malam itu ia benar-benar dapat tidur nyenyak sekali. Udara di dalam sanggar itu terasa hangat di dinginnya malam.

Ketika menjelang dini hari ia terbangun, maka ia melihat Pangeran Ardhakusuma sudah duduk di bibir pembaringannya. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh sambil memandang Pawana dengan tajamnya.

“Berkemaslah” berkata Pangeran Ardhakusuma.

“Untuk apa? Apakah kita akan pergi mandi seperti malam kemarin?” bertanya Pawana.

“Kita memang akan mandi. Tetapi tidak di kedung kecil itu” jawab Pangeran Ardhakusuma.

“Aku tidak usah berkemas” jawab Pawana, “bukankah kita akan berendam. Aku akan sekedar membenahi pakaianku ini.”

Pangeran Ardhakusuma mengangguk-angguk. Namun ia-pun segera berdiri. Katanya, “Marilah. Kita akan pergi ke Gumuk Payung.”

“Gumuk Payung?” bertanya Pawana.

“Ya. marilah. Jangan terlambat.” ajak Pangeran Ardhakusuma.

Pawana-pun kemudian membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian keduanya-pun telah ke luar dari halaman kraton Pramanegaran, dan lewat gerbang butulan mereka-pun ke luar pula dari kota.

“Kita berjalan cepat. Jaraknya agak jauh” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Pawana tidak tahu maksud Pangeran Ardhakusuma. Tetapi ia mengikuti saja arah perjalanan Pangeran Ardhakusuma yang ternyata berjalan ke arah Timur.

Pawana menyadari, bahwa perjalanan mereka bukan sekedar perjalanan untuk mandi di sebuah belumbang di gumuk yang disebutnya Gumuk Payung, karena mereka telah menyusuri sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih nampak liar. Namun keduanya hanya menyentuh hutan itu di bagian tepinya dan tidak terlalu panjang. Beberapa saat kemudian, mereka-pun telah mengambil jalan sempit yang menjauhi hutan itu.

Pawana terpaksa mengerahkan kemampuannya untuk dapat berjalan secepat Pangeran Ardhakusuma. Meskipun demikian, ia masih mendengar Pangeran Ardhakusuma berdesah, “Langit sudah menjadi terang.”

Namun akhirnya mereka-pun telah berhenti di sebuah lingkungan yang ditumbuhi pepohonan yang lebat meskipun bukan bagian dari hutan yang pernah mereka lewati. Lingkungannya tidak lebih dari sebuah gumuk kecil yang tidak terlalu tinggi. Namun gumuk itu telah berada di kaki pegunungan yang memanjang sampai ke Bukit Seribu.

“Kita naik ke gumuk itu” berkata Pangeran Ardhakusuma. Cahaya pagi sudah menjadi semakin terang. Keduanya-pun kemudian menyusup rerungkutan, menyibakkan gerumbul-gerumbul perdu.

“Nah, kita kini berada di tepi sebuah belumbang” berkata Pangeran Ardhakusuma.

“Belumbang?” bertanya Pawana.

“Di bawah rerungkutan itu adalah belumbang. Pohon preh itu tumbuh tepat di pinggirnya” jawab Pangeran Ardhakusuma.

Pangeran Ardhakusuma-pun kemudian maju beberapa langkah, ketika ia kemudian mulai menyentuh air di rerungkutan dan pepohonan perdu, maka ia-pun berkata, “Aku sudah berada di pinggir belumbang.”

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Belumbang itu adalah belumbang kecil yang hampir tidak nampak karena rerumputan ilalang yang liar dan pohon-pohon perdu yang tumbuh di sekitar dan di dalamnya. Beberapa batang pohon air dan sebatang pohon preh raksasa tumbuh di pinggirnya.

“Kita akan mandi di belumbang itu?” bertanya Pawana.

“Kemarilah. Kau belum melihat airnya.” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Pawana-pun kemudian bergeser maju. Ia-pun kemudian merasakan pada kakinya, bahwa ia mulai turun ke dalam air.

“Ya. Aku merasa.” berkata Pawana.

“Lihat airnya, jangan hanya merasakannya” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Pawana-pun kemudian menunduk. Ketika ia menyibakkan daun ilalang di bawah kakinya, maka ia-pun berdesis, “Airnya nampak sangat jernih.”

“Ya. Air di belumbang ini memang jernih meskipun dikotori oleh dedaunan yang runtuh dari pohon preh raksasa itu serta pohon-pohon perdu yang lain” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Pawana mengangguk-angguk Tetapi ia masih belum mengerti, kenapa Pangeran Ardhakusuma memilih tempat itu untuk manndi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status