Sementara itu, mereka berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Ardhakusuma. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman.Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Pawana memang merasa lapar. Karena itu, maka ia-pun merasa kebetulan bahwa Pangeran Ardhakusuma benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu.Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknya-pun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang.Pawana dan Pangeran Ardhakusuma duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanya-pun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi.Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah ampat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar dan keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar.Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Ardhakusu
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang.Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu.Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula.“Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.”Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Ardhakusuma dan Pawana.Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka.Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tubu
“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu.” berkata Pangeran Ardhakusuma.Wajah orang-orang itu menjadi pucat. Seorang diantara mereka bertanya, “Apakah maksud Ki Sanak?”“Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorang-pun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Ardhakusuma.Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya."“Kenapa?.” bertanya Pangeran Ardhakusuma.“Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dil
Tetapi malam itu, Pawana telah berada di istana Ki Patih Pramanegara. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Ardhakusuma. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana.“Tidurlah,” berkata Pangeran Ardhakusuma, “jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.”Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak selalu terbangun oleh mimpi.”“Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?.” bertanya Pangeran Ardhakusuma.Pawana mengangguk sambil tersenyum.Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Ardhakusuma.“Tidur sajalah dahulu,” berkata Pangeran Ardhakusuma, “aku akan menghadap eyang Pramanegara.”“Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran.” bertanya Pawana.“Biasa sa
Pawana perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk dilantai. Tetapi adalah di-luar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, “Jangan beringsut, Duduk sajalah disitu.”Pawana masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, “Aku menghendaki kau duduk di tempatmu.”Pawana tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnyalah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya.“Jangan merasa segan,” berkata Ki Patih, “aku yang menghendaki kau duduk disitu. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak diantara kita.”Pawana tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan.“Pawana,” berkata Ki Dipayana kemudian, “biarlah aku yang mulai.” Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara?,”“Hamba Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara.” jawab Pawana sambil menunduk.“Sudah berapa hari kau berada disini?.” bertanya Ki Patih pula.Pawan
Demikianlah, maka Pawana-pun telah meninggalkan kraton Ki Patih Pramanegara dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Pangeran Ardhakusuma, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya.Pawana yang berada di punggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan dijalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lain-pun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Pawana itu-pun tersenyum sendiri.Ketika Pawana sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Pawana masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu.Sekali-sekali Pawana memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu.Namun Pawana juga sempat berkata kepada
Sebenarnyalah bahwa Sedah Mirah terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Ketika mendengar suara orang halaman maka ia-pun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?,”“Pawana.” jawab pembantunya itu.“O,” Sedah Mirah-pun segera bangkit dan keluar kehakiman lewat pintu samping. Pawana tentu sudah bertemu dengan Pawana dan Ki Waskita di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Saung Galuh.Ketika Sedah Mirah kemudian melihat Pawana yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Pawana, maka Sekar Mirah-pun berdesis, “Bukan main. Itulah kuda yang kau dapat dari Mataram?”“Ya,” sahut Pawana berbangga, “Pangeran Ardhakusuma benar-benar telah memberi aku seekor kuda sebagaimana dijanjikannya.”Sedah Mirah-pun ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Pawana. Menurut Sekar Mirah agaknya kedatangun Pawana itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya.Namun setelah mengamati kuda itu sejenak, maka Sedah Mirah-pun
Pawana-pun kemudian minta diri. Mula-mula dimasukkannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung ekornya.“Kenapa?” bertanya Pawana.“Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat.” jawab anak itu.“Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya?” bertanya Pawana.“Kau bangga mempunyai kuda itu?” tiba-tiba saja anak itu bertanya.“Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.”“Apa bedanya yang penting selain ujud yang lebih besar” bertanya Pawana pula.“Kuda ini tegar dan nampaknya sangat kuat” jawab anak itu.“Bagus” gumam Pawana, “ternyata kau dapat mengenali pula.”“Marilah” tiba-tiba saja anak itu mengajak, “kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula.”“Kau bawa cangkul” berkata Pawana kemudian.“Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul?” bertanya anak itu.Pawana tertawa. Katanya, “Jangan berkica