Share

Bab 5. Berkelana

Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.”

“Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggraita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, akan terjadi sebagaimana aku lihat sebelumnya” berkata Pangeran Ardhakusuma, “demikian juga tentang diriku sendiri.”

“Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana.

“Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya.” jawab Pangeran Ardhakusuma, “tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendaknya?”

“Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sekali-sekali merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap kali ia merasa diuji oleh kenyataan, apakah penglihatannya benar atau tidak.” berkata Pawana.

Pangeran Ardhakusuma tersenyum. Katanya, “Aku sependapat. Kau agaknya ingin melihat sepercik harapan di dalam hatiku bahwa penglihatanku serta uraianku atas isyarat itu keliru. Tetapi aku harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan yang jauh dan mungkin tidak akan kembali lagi.”

Pawana tertegun sejenak. Meskipun Pangeran Ardhakusuma tersenyum, tetapi nampaknya wajahnya diselimuti oleh kegelisahannya.

Sejenak kemudian, maka ia-pun berkata, “Tetapi masih ada waktu Pawana. Aku tidak akan pergi besok. Sementara itu, kita masih dapat berlatih lagi di tepian. Mudah-mudahan dalam kesempatan terakhir aku dapat membantu kemajuan ilmumu. Pada suatu saat, aku ingin berlatih bersamamu di bawah pengawasan langsung, bukan sekedar melihat-lihat. Aku ingin minta kepada gurumu, apa yang dapat dipetiknya dari ilmuku, karena aku tidak akan mempergunakannya lebih lama lagi."

Pawana mengangguk-angguk. Ia memang berharap untuk dapat meningkatkan ilmunya dalam latihan-latihan yang dilakukannya dengan Pangeran Ardhakusuma. Sebagaimana dikatakan oleh gurunya, maka latihan-latihan itu memang sangat bermanfaat bagi Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Pangeran Ardhakusuma itu berkata, “Pawana. Apakah kau bersedia mencoba sesuatu yang tidak kita mengerti akibatnya?”

“Maksud Pangeran?” bertanya Pawana.

“Bukankah malam nanti kau akan tidur di sini?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

Pawana termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Apakah dengan demikian tidak akan mengganggu Pangeran ?

“Kenapa mengganggu? Jika kau tidak tidur di sini, kau akan tidur dimana?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

“Aku masih sempat kembali ke Tanah Perdikan” jawab Pawana.

“Tidak” berkata Pangeran Ardhakusuma, “malam nanti kau tidur di sini. Kau tidur bersama aku di dalam sanggar ini Siapa tahu, bahwa yang aku alami tidak sekedar berlaku atas aku saja. Tetapi juga atas orang lain yang berada di dalam sanggar ini.”

Pawana termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Ardhakusuma mendesaknya, “Tentu tidak apa-apa. Seandainya kau tidak dapat mengalami seperti yang aku alami, bukankah tidak ada ruginya?”

Pawana masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia-pun berkata, “Tetapi Pangeran yang bertanggung jawab. Aku melakukannya atas keinginan Pangeran.”

“Ya. Aku akan bertanggung jawab” jawab Pangeran Ardhakusuma.

Pawana mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya berdegupan oleh kegelisahan.

Demikianlah, hari itu Pawana tidak kembali ke Tanah Perdikan. Ia berada di dalam bilik Pangeran Ardhakusuma yang sederhana. Bahkan ketika mereka makan-pun hidangan yang disuguhkan juga hidangan yang sederhana sebagaimana hidangan bagi Pangeran Ardhakusuma sehari-hari.

Namun menjelang senja, Pangeran Ardhakusuma telah mengajak Pawana untuk pergi ke belakang. Ditunjukkannya beberapa ekor kuda milik Pangeran Ardhakusuma yang dipeliharanya dengan rajin. Seorang gamel dan seorang pekatik memelihara kuda-kuda itu dengan tekun dan tertib.

Sementara itu Pangeran Ardhakusuma sendiri juga selalu ikut menangani kuda kudanya dengan penuh perhatian.

Setelah hari menjadi gelap keduanya kembali ke bilik Pangeran Ardhakusuma.

Seperti dikatakan oleh Pangeran Ardhakusuma, maka ketika malam menjadi semakin malam, Pawana-pun dipersilahkan tidur di pembaringan di dalam sanggar itu bersama Pangeran Ardhakusuma. Namun Pawana merasa segan untuk tidur di sebelah Pangeran Ardhakusuma, yang bagaimanapun juga adalah putera Prabu Wijaya Kusuma yang berkuasa di Saung Galuh. Karena itu, maka Pawana-pun telah memilih untuk tidur di lantai di atas sehelai tikar pandan.

“Baiklah” berkata Pangeran Ardhakusuma, “tetapi bukan akulah yang menempatkanmu di lantai Itu atas kehendakmu sendiri dan kau lakukan dengan senang hati.”

“Ya Pangeran” jawab Pawana, “aku memang lebih senang tidur di lantai. Bahkan menjadi kebiasaanku tidur tanpa alas.”

Pangeran Ardhakusuma tidak menjawab. Rasa-rasanya matanya sudah menjadi redup dan kantuknya kemudian tidak dapat ditahankannya lagi.

Sementara itu Pawana yang berbaring di lantai, mengamati sanggar itu dengan saksama. Terasa juga kulitnya meremang. Sementara itu Pawana telah tertidur nyenyak.

Namun akhirnya Pawana-pun memejamkan matanya juga. Sejenak kemudian, maka ia-pun telah tertidur.

Tetapi dalam pada itu, Pangeran Ardhakusuma tiba-tiba telah terkejut. Ia-pun segera meloncat dari pembaringannya dan mengguncang tubuh Pawana.

Pawana-pun tergagap bangun. Keringatnya membasahi tubuhnya bagaikan diguyur hujan di halaman.

“Kenapa?” bertanya Pangeran Ardhakusuma, “kau berteriak di dalam tidurmu.”

“Aku bermimpi buruk” jawab Pawana.

“Mimpi apa?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

“Aku telah hanyut oleh ombak yang besar. Namun beberapa saat kemudian tubuhku telah dihempaskan di batu karang. Beberapa kali dan setiap kali terasa tulang-tulangku berpatahan.” jawab Pawana.

Pangeran Ardhakusuma mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak mengerti, kenapa kau harus bermimpi demikian buruknya. Tetapi mimpi memang dapat saja terjadi di mana-mana. Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak bermimpi buruk lagi.”

Keduanya-pun kemudian kembali berbaring. Beberapa saat keduanya telah tertidur pula.

Namun sekali lagi Pawana berteriak-teriak dalam tidurnya sehingga Pangeran Ardhakusuma sekali lagi meloncat dan membangunkannya.

“Kau bermimpi buruk lagi?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

“Ya. Seekor ular raksasa yang muncul dari laut.” jawab Pawana. Tubuhnya menjadi semakin basah.

“Baiklah” berkata Pangeran Ardhakusuma, “berjaga-jagalah sejenak. Jangan tertidur sebelum aku tidur nyenyak.”

“Kenapa?” bertanya Pawana.

“Kita hanya mencoba. Mudah-mudahan kau tidak lagi mengalami mimpi buruk.” jawab Pangeran Ardhakusuma.

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia menjadi segan untuk terus tidur di dalam sanggar yang aneh itu. Tetapi Pangeran Ardhakusuma memaksanya, “Jangan lari ketakutan seperti seorang pengecut. Kau harus tetap berada di bilik ini sampai kau dapat tidur nyenyak.”

Pawana tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya, meskipun ia tidak berbaring lagi. Tetapi duduk bersandar dinding.

“Aku akan menunggu sampai Pangeran tidur nyenyak” desisnya kemudian.

Pangeran Ardhakusuma mengangguk. Katanya, “Bagus. Kau akan tinggal di sini sampai pagi.”

Demikianlah maka Pangeran Ardhakusuma telah berbaring lagi di pembaringannya. Untuk beberapa saat matanya tidak terpejam. Namun akhirnya Pangeran Ardhakusuma itu-pun tertidur lagi, sementara Pawana menunggu sampai Pangeran Ardhakusuma itu tertidur nyenyak.

Tetapi meskipun kemudian Pangeran Ardhakusuma sudah tertidur nyenyak, namun Pawana rasa-rasanya sulit sekali untuk mencoba tidur meskipun ia sudah berbaring di sehelai tikar yang terbentang di lantai. Seperti pesan Pangeran Ardhakusuma, bahwa ia sebaiknya mencoba untuk tidur lagi setelah Pangeran Ardhakusuma tertidur nyenyak. Meskipun ia tidak tahu artinya, tetapi ia akan mencoba untuk mengikuti petunjuknya.

Beberapa saat lamanya Pawana memejamkan matanya meskipun ia belum tertidur. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengosongkan angan-angannya agar ia dapat segera tertidur. Tetapi rasa-rasanya ia masih saja terganggu oleh kecemasannya tentang mimpi-mimpinya.

Belum lagi Pawana dapat tertidur, maka ternyata Pangeran Ardhakusuma justru telah terbangun. Sambil duduk di bibir pembaringannya Pangeran Ardhakusuma itu berdesis, “Kau tidak akan diganggu lagi.”

“Diganggu apa?” bertanya Pawana.

“Mimpi-mimpi buruk” jawab Pangeran Ardhakusuma, “di dalam mimpi aku sudah menjelaskan, bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kehadiranmu disini.”

“Di dalam mimpi Pangeran?” bertanya Pawana.

“Ya, di dalam mimpiku.” jawab Pangeran Ardhakusuma.

“Apakah hubungannya mimpi Pangeran dengan mimpiku?” bertanya Pawana.

“Menurut nalar memang tidak ada hubungan apa-apa. Tetapi yang terjadi atas diriku selama ini memang tidak mengikuti penalaran wajar seseorang. Bagaimana mungkin aku dapat berlatih di dalam mimpi, namun kemudian ternyata aku memiliki kemampuan yang meningkat sebagaimana terjadi di dalam mimpi itu?” Sahut Pangeran Ardhakusuma.

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat berbicara lebih banyak lagi, karena Pangeran Ardhakusuma justru sudah berbaring sambil berdesis, “Aku masih mengantuk. Aku akan tidur lagi, meskipun aku akan terbangun di dalam dunia mimpiku.”

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mencoba lagi untuk tidur.

Sebenarnyalah, Pawana tidak menyadari lagi, kapan ia tertidur, karena ia telah tidur nyenyak sampai menjelang dini hari.

Pawana terbangun tidak karena mimpi buruk. Ia terbangun sebagaimana kebiasaannya bangun menjelang dini hari jika ia akan pergi menutup pliridan. Namun Pawana tidak ke luar dari dalam sanggar. Tetapi ia duduk saja bersandar dinding.

Tetapi ia tidak lama berbuat demikian, karena Pangeran Ardhakusuma-pun kemudian telah terbangun pula. Sambil menggeliat Pangeran Ardhakusuma berkata, “Tubuhku terasa segar sekali pagi ini. He, apakah kau bermimpi buruk lagi?”

“Tidak Pangeran” jawab Pawana.

“Nah, bukankah yang aku katakan itu benar? Aku sudah minta agar kau tidak terganggu lagi. Dan permintaanku itu ternyata dipenuhi, sehingga kau tidak berteriak-teriak lagi karena mimpi buruk.” gumam Pangeran Ardhakusuma yang masih saja berbaring.

Ketika Pawana tidak menjawab, maka sekali lagi Pangeran Ardhakusuma itu menggeliat dan bangkit duduk di bibir pembaringannya.

“Apakah kau terbiasa mandi pagi-pagi?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.

“Aku terbiasa pergi ke sungai untuk menutup pliridan” jawab Pawana, “karena itu, aku terbiasa bangun pagi-pagi.”

“Marilah, kita akan pergi ke sungai.” desis Pangeran Ardhakusuma.

“Sungai yang mana?” bertanya Pawana.

“Di sebelah Barat ada sungai yang tidak begitu besar. Tetapi di tikungan terdapat kedung kecil yang dapat untuk berendam” jawab Pangeran Ardhakusuma, “he, apakah kau tidak membawa ganti sama sekali?”

“Aku membawa” jawab Pawana, “meskipun hanya selembar.”

“Jika demikian, marilah kita mandi. Berendam sebentar agar tubuh kita menjadi semakin segar.” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Mereka berdua-pun kemudian meninggalkan sanggar dan ke luar pula dari dalam bilik. Di regol butulan mereka memberitahu kepada penjaga yang bertugas, bahwa mereka akan pergi ke sungai.

Para prajurit tidak pernah mencegah apapun yang dilakukan oleh Pangeran Ardhakusuma secara langsung sebagaimana pesan Ki Patih Pramanegara. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat saja mereka diminta untuk sekedar mencegah. Tetapi sebaiknya mereka langsung melaporkannya kepada Ki Patih Pramanegara.

Karena itu, maka para prajurit yang di regol halaman istana Ki Patih Pramanegara maupun di pintu gerbang butulan kota, hanya menyapanya saja.

Demikianlah, dalam keremangan dini hari keduanya berendam di sebuah kedung kecil di sungai yang tidak begitu besar untuk menyegarkan tubuh-tubuh mereka.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Pawana terkejut. Ketika ia sedang berenang di kedung kecil itu, tiba-tiba saja ia telah melihat seekor buaya yang besar muncul dari dalam air. Karena itu, maka dengan tangkasnya Pawana meloncat dan menghindar. Dengan satu loncatan Pawana telah berdiri di darat sambil bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Ketika Pawana melihat Pangeran Ardhakusuma masih tetap berendam di air maka ia-pun berteriak, “Pangeran. Minggirlah. Seekor buaya raksasa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status