Sebenarnyalah bahwa Sedah Mirah terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Ketika mendengar suara orang halaman maka ia-pun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?,”“Pawana.” jawab pembantunya itu.“O,” Sedah Mirah-pun segera bangkit dan keluar kehakiman lewat pintu samping. Pawana tentu sudah bertemu dengan Pawana dan Ki Waskita di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Saung Galuh.Ketika Sedah Mirah kemudian melihat Pawana yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Pawana, maka Sekar Mirah-pun berdesis, “Bukan main. Itulah kuda yang kau dapat dari Mataram?”“Ya,” sahut Pawana berbangga, “Pangeran Ardhakusuma benar-benar telah memberi aku seekor kuda sebagaimana dijanjikannya.”Sedah Mirah-pun ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Pawana. Menurut Sekar Mirah agaknya kedatangun Pawana itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya.Namun setelah mengamati kuda itu sejenak, maka Sedah Mirah-pun
Pawana-pun kemudian minta diri. Mula-mula dimasukkannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung ekornya.“Kenapa?” bertanya Pawana.“Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat.” jawab anak itu.“Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya?” bertanya Pawana.“Kau bangga mempunyai kuda itu?” tiba-tiba saja anak itu bertanya.“Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.”“Apa bedanya yang penting selain ujud yang lebih besar” bertanya Pawana pula.“Kuda ini tegar dan nampaknya sangat kuat” jawab anak itu.“Bagus” gumam Pawana, “ternyata kau dapat mengenali pula.”“Marilah” tiba-tiba saja anak itu mengajak, “kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula.”“Kau bawa cangkul” berkata Pawana kemudian.“Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul?” bertanya anak itu.Pawana tertawa. Katanya, “Jangan berkica
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan.Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Ardhakusuma melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.”“Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.”Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya.Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pandu masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya.“Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”P
Sebenarnyalah, ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, “Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua.”Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Ardhakusuma telah hadir pula ditempat itu.Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama.”Tetapi Pangeran Ardhakusuma tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini.”“O, jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?,” bertanya Pawana.“Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau bercerita”, jawab Pangeran Ardhakusuma, “beberapa malam aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceriteramu.”Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Ardhakusuma. Namun mereka berdua-pun ke
Tubuhnya kekar dan tegap. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun. Namun anak laki-laki itu sudah menampakkan ciri-ciri kegagahannya.Di siang yang cukup terik, anak itu berjalan-jalan menyusuri jalanan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Namun betapa terkejutnya orang-orang disekitarnya ketika tiba-tiba saja anak itu mengamuk. Dengan wajah merah padam, dicabutnya pohon besar di dekatnya. Dan pohon besar itu pun tumbang. Orang-orang berdatangan mendengar dentaman kayu besar itu.“Raden Pragola telah menelusup ke dalam tubuhnya,” gumam sebagian orang yang hadir.“Siapa yang bilang saya kerasukan??” rupanya anak itu mendengar gumaman orang-orang di sekitarnya.Ditanya demikian, menunduklah orang-orang.Berita kelakuan aneh anak itu sampailah kepada Prabu Wijaya Kusuma, ayahanda anak itu. Maka di utuslah seorang prajurit untuk memanggilnnya. Prajurit itupun datang menghampiri anak itu."Pangeran. Ayahanda Pangeran telah menunggu Pangeran,"Anak tampan itu menegang sesaat. Namun dengan
Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Ardhakusuma mendapat hukuman. Namun hukumannya lebih ringan dari sebelumnya. Anak itu hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Ardhakusuma yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Ardhakusuma telah berada didalam sebuah warung yang baru saja dibuka. Tetapi didalam warung itu terdapat beberapa orang yang lain. Agaknya warung itu adalah warung yang paling besar dan paling lengkap menyediakan jenis makanan dan minuman. Karena itu, orang-orang yang telah menyerahkan barang barang dagangannya kepada para tengkulak, telah singgah untuk makan diwarung itu.Pangeran Ardhakusuma-pun duduk pula di warung itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung yang membawa pertanda kuasa Prabu Wijaya Kusuma itu-pun telah membawa Pangeran Ardhakusuma dan memasuki ruang dalam lewat seketheng sebelah kiri.Tumenggung Wiragiri itu sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, “Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?,”“Tumenggung Wiragiri mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Ardhakusuma” jawab seorang prajurit.“Kenapa?” bertanya Senapati itu pula.“Pangeran Ardhakusuma telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Wiragiri. Pangeran Ardhakusuma melepaskan seekor harimau di halaman Tumenggung itu” jawab prajurit yang sudah mendengar persoalan yang terjadi di rumah Tumenggung Wiragiri.Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun justru telah tertawa tertahan. Katanya, “Dan Tumenggung Wiragiri melaporkannya kepada ayahanda Pangeran Ardhakusuma?”“Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Wiragiri untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya” jawab