Share

LOOK AT ME

      “Versi terbaik setiap orang itu berbeda. Jadi, jangan biarkan siapapun membuatmu merasa tidak cukup."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tik.., tik.., tik..,

 Di bawah pondok kecil di sudut taman, tampak sepasang murid yang tak sengaja terjebak selama beberapa jam hanya karena hujan deras yang tak kunjung berhenti sejak makan siang tadi.

     Genangan air hujan ada dimana-mana. Suhu semakin lama semakin terasa dingin. Seragam sekolah yang biasanya mereka kenakan selalu terasa gerah, kini cukup berguna untuk menghangatkan tubuh mereka berdua.

   Sola dan Brian. Itulah nama mereka. Sola merupakan murid dari angkatan kedua, sedangkan Brian sendiri murid dari angkatan keempat. Yups, mereka berdua adalah senior dan junior.

      “Aish, hujannya kapan reda sih?” gerutu Brian yang mulai gelisah karena kelaparan

    “Tunggu sebentar lagi saja, nanti juga reda sendiri.” sahut Sola dengan nada ketus

   “Kau sudah lima kali ngomong kayak gitu. Kau sadar nggak sih kalau kita sudah hampir empat jam berteduh disini,” kesal Brian

   “Aku tahu. Yasudah tembusin saja hujannya kalau kau mau.” ujar Sola yang bodoh amatan

“Terus kau gimana?”

   “Aku bisa sendiri. Pergilah.”

“Bisa nggak kalau orang ngomong itu dilihat,” kesal Brian yang merasa terus dihiraukan karena sang senior sedaritadi sibuk menampung air hujan dengan telapak tangannya yang mungil itu

   “Untungnya lihat kau itu apa?”

“Aih, sudahlah lupakan saja.”

    Sejenak keheningan hadir di antara mereka berdua. Dicueki sedaritadi ternyata mampu membuat Brian merasa ragu untuk bertanya lagi. Hingga akhirnya,

     “Gimana rasanya sekolah disini?” tanya Sola sembari duduk di sebelah Brian

   “Kau tanya aku?”

  “Anak jaman sekarang ternyata attitudenya minus ya.”

“Lah gimana sama sikapmu tadi? Apa itu bisa dibilang ‘berattitude’ baik?” tanya Brian balik dengan raut wajah kesalnya

   “Aish, dasar keparat kau!” Sifat asli Sola kini keluar, yakni hobi mengumpat.

   “Nah itu! Emangnya pantas kakak senior bersikap begitu di depan adik juniornya?” tanya Brian. Ekspresi songong terlihat sangat jelas di wajah tampannya.

Sola menghela panjang. Berusaha mengatur temperatur moodnya agar kembali menjadi kakak senior yang baik.

     “Jangan ditahan, silahkan saja kalau kau mau mengumpat di depanku. It’s no problem.”

    “Kau itu kenapa sih?”

“Emangnya aku kenapa?”

  “Ck, menyebalkan sekali.” desis Sola

“Nggak masalah kalau kau mau berkata kasar setiap saat...” gumam Brian sembari memandang rintikan hujan yang jatuh ke tanah. “Karena aku tahu, setiap manusia itu punya cara sendiri untuk melampiaskan segalanya.”

  Sejenak Sola terfokus dengan wajah tampan adik juniornya itu. Tatapan yang begitu dalam terpancar dari sudut pandang kedua matanya Sola, hingga ketika Brian berbalik, dan tak sengaja ia menangkap basah seniornya yang sedang asyik memandanginya. Dan tanpa disadari pun chemistry di antara mereka kini mulai tumbuh disaat itu juga.

      Sampai mereka sadar akan tatapan tersebut dan kemudian saling memalingkan wajahnya masing-masing.

      “Yahh, hujannya makin deras..” keluh Brian mengalihkan suasana

    “Kau nggak suka hujan kah?” tanya Sola setelah berhasil menutupi rasa kegugupannya

   “Nggak.” jawab Brian singkat. “Hujan itu cuaca yang paling menyebalkan, apalagi kalau hujannya deras terus muncul di pagi-pagi buta, aish! Genangan air ada dimana-mana dan mau nggak mau harus dilewatin demi berangkat ke sekolah.” gumamnya kesal. Mengingat semasa sekolah menengah pertamanya di Indonesia.

      Sola tertawa terbahak-bahak mendengarnya, sedangkan Brian yang tadinya sedikit kesal, kini juga ikut tertawa hanya karena mendengar suara tawanya Sola.

     “Hahaha.., kau kenapa ketawa bodoh, aku ini lagi ngejek kau loh.” sela Sola terheran

    “Suara ketawamu lucu, hahaha....”

   Untuk kedua kalinya gadis tersebut kembali merasakan jantungnya berdegup kencang.

     “Kenapa aku jadi gugup lagi?” gumamnya pelan.

“Hah? Kau ngomong apa?” tanya Brian yang tak sengaja mendengar gumaman Sola meski tak terlalu jelas

   “Eh! Ng-nggak ada kok.”

Brian menganggukkan kepalanya, dan bertanya lagi.

      “Kau sendiri gimana? Kau pasti suka hujan, kan?”

“Aku? Dulunya sih nggak,” Sola bangkit berdiri. Demi menghilangkan rasa gugupnya itu, ia pun mencoba untuk menampung air hujan lagi dengan kedua telapak tangannya. “Tapi sekarang aku jadi suka.” lanjutnya kembali.

      “Kenapa bisa begitu?” heran Brian yang masih tetap duduk manis di kursi kayu panjang dalam pondok tersebut.

“Karena hujannya datang disaat aku sedang bersamamu.”

Spontan Brian terdiam melihat senyuman manis yang sudah terukir diwajah cantik kakak seniornya.

                                                                      ☻☻☻☻

Diiing... Dooong...

     Terdengar jelas bunyi detak jarum jam junghans yang menggantung di atas tembok di setiap ruangan inti yang berada di dalam Soul Of School.

    Bunyi tersebut merupakan tanda bahwa sudah waktunya bagi seluruh pelajar angkatan keempat untuk segera makan siang.

     Masing-masing pelajar diberi waktu selama satu jam sebelum jam berdetak kembali.

Tidak butuh waktu yang lama, area kantin kini telah dipenuhi oleh para pelajar yang kelaparan.

 Namun jauh dibalik itu semua, tampak seorang pelajar laki-laki sedang sibuk membaca sebuah buku tebal berwarna kecokelatan di bawah pohon rimbang yang ada di tengah-tengah taman sekolah.

Tak lama kemudian muncul pula tiga pelajar laki-laki lainnya, mereka berjalan santai menuju posisi duduk seorang laki-laki yang sibuk membaca buku.

     “Woii..” kejut salah seorang di antara mereka

    “Hahk!!” orang yang dituju pun kagetnya bukan main, orang itu adalah Bryan Albusino. Ia berbalik dan mendapati ketiga teman dekatnya sedang menertawakan reaksinya.

     “Aish, dasar teman bangsat.” umpat Brian

“Hahaha...aduh duh, perutku sampai sakit sekali..”

    “Nggak ada yang lucu, dasar keparat!”  Saking kesalnya, ia hampir saja melemparkan pukulan keras kepada salah satu temannya itu

“Wow, wow, santai bro..” cegat seorang teman dekatnya yang berambut hitam

    “Itu nggak lucu sama sekali, kalian pikir jantungku kuat kalau digituin?!” kesal Brian

   “Iyaa maaf.. lagipula ini idenya dia, kami cuma ikutan saja.” sindir temannya yang lain

    “Apa kau bilang? Hei! Tadi itu aku cuma menyarankan doang. Kalian sendiri yang milih keputusannya.” bantah seorang pemuda berkulit cokelat dengan rambut khasnya yang juga ikut berwarna coklat kehitaman.

    “Hahaha, sudah sudah, kalian bukannya minta maaf malah saling lempar kesalahan.” kesal Brian melihat tingkah laku temannya

    “Iyaa kami minta maaf.”

Ketiga  pelajar tersebut bernama Fred Remus, Peter Jason dan Cedric Granger yang merupakan salah seorang pelajar di angkatan ketiga.

       “Ngomong-ngomong yang lain kemana?” tanya Cedric

    “Nggak tahu.” jawab Peter tidak perduli

  “Mungkin ruangan mereka belum bubar. Kita tunggu saja disini,” jawab Fred sembari duduk di sebelah kiri Brian, dan begitu juga dengan Peter di sebelah kanan.

      “Kau baca buku apaan? Tumben rajin membaca, biasanya kerjaanmu cuma godain anak-anak cewek di kantin.” ejek Peter dengan santainya

     “Kau sudah bosan hidup, hah!?” ketus Brian tak mau kalah

     “Buat apa kau tanya kalau kau sendiri sudah tahu jawabannya.” Peter meraih sesuatu dari dalam saku celananya yang berwarna abu-abu

    “Kau kenapa masih konsumsi obat begituan sih? Kan sudah sering kukasih tahu itu obat nggak bagus.” kesal Cedric

  “Tapi dokter, kalau bukan karena obat ini, aku nggak mungkin bisa bernafas sampai sekarang.”

    “Kau ini keras kepala sekali ya.”

      “Memangnya itu obat apaan?” tanya Brian dan Fred bersamaan

   “Ini cuma vitamin.” sela Peter cepat-cepat. Melirik ke arah Cedric secara diam-diam, berharap agar Cedric tidak memberitahukan hal tersebut kepada temannya yang lain.   

Seketika Cedric langsung memahami maksud tatapan itu.

   Beberapa menit kemudian ketiga teman mereka yang sedaritadi ditunggu-tunggu, kini akhirnya menampakkan wujud tampannya dari balik lorong kelas mereka.

Mereka adalah Severus Draco beserta dengan pemuda kembar yang bernama Dean Marcelio dan Dean Marvelio. Mereka bertiga merupakan primadona yang sangat terkenal akan ketampanannya.

    “Wahh, raja-raja kita sudah datang nih.” sambut Peter bertepuk tangan

    “Hahaha, ejekanmu nggak pernah berubah ya.” sindir Marvel sembari merangkul kuat bahunya Peter.

   “Itu candaan doang loh, akh! Iya ampun, ampun..”

  “Eh, Cedric? Kau kok bisa keluar?” heran Marcel. Penuh kerinduan ia memeluk erat tubuh Cedric.

    “Mungkin karena aku juga terlalu rindu sama kalian semua, makanya tadi aku sampai nggak sengaja pakai kekuatanku demi bisa keluar dari ruangan..”

    “Nggak sengaja atau sengaja?”

   “Menurutmu? Hahahaha...” Cedric terkekeh pelan, berupaya agar tidak ketahuan oleh makhluk mata-mata dari ruangannya.

    “Jadi apa yang bakal kita lakuin sekarang? Aku sudah lapar banget nih,” ujar Marcel bersemangat

    “Aku punya kejutan untuk kalian.” gumam pemuda yang paling tinggi di antara mereka, yakni Bryan.

    “Kejutan apa?” heran mereka bersamaan

     “Ikutin aku.” Bryan tersenyum menyeringai sembari memandangi buku cokelat yang ada ditangannya

       Setelah semuanya setuju, mereka bertujuh pun berjalan mengendap-ngendap mengikuti arah langkah kakinya Bryan.

     Di tengah perjalanan mereka mendadak dihadang oleh sekumpulan kakak senior yang sengaja melakukan hal sama seperti yang dilakukan Cedric demi keluar dari ruangan.

    “Kalian ramai-ramai ini mau kemana?” tanya seorang laki-laki berbadan kekar yang berdiri paling depan

   “Mereka lagi.” bisik Peter

    “Kami nggak mau cari masalah, jadi tolong menepi dari hadapan kami.” tegas Marvel

   “Hei! Kemana sopan santunmu? Aku ini senior disini.” ucap laki-laki tersebut sambil menunjuk-nunjuk dahi Marvel dengan kasar

   “Jangan bersikap begitu ke temanku. Kami tahu kau itu senior di sekolah ini, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya menyiksa kami para juniormu.” tegur  Cedric, berusaha supaya tingkat emosional Marvel tidak mencapai titik maksimalnya

    “Haha, anak jaman sekarang lucu-lucu sekali ya.” Dia dan para komplotannya itu tertawa sangat keras. Bahkan dirinya berani meludahi sepatu Marvel yang berdiri di hadapannya

“Tormentu”

        Seseorang berbisik pelan dan Brakk!! Senior itu mendadak terpental lalu menghantam keras tembok pemisah antar kantor utama dengan ruangan 06.

      Sebagian anggota komplotannya hanya bisa berdiri terpaku diam, sedangkan sisanya langsung berlari memeriksa kondisi ketuanya itu.

 Kaget mereka sama halnya dengan Cedric dan kelima temannya. Mereka memandangi Marvel mulai dari atas kepala hingga ke ujung kakinya.

“Apa yang baru saja kau lakukan?” tanya Marcel. Kedua matanya kini terbelalak menatap adik kembarnya itu.

     “Aku nggak melakukan apa-apa. Suasana hatiku juga masih batas normal.” Ia sendiri saja terheran-heran dengan apa yang baru saja terjadi

    “Sudah itu, sekarang waktunya kita pergi. Ayo ayo..,” gesa Peter

    Mereka bersama-sama menghentikan langkahnya tepat di depan pintu keluar dari sekolah.

   Nafas mereka yang tersengal-sengal serta wajah mereka yang sedikit berkeringat itu seketika membuat aura ketampanan mereka semakin terpancar.

Usai mengatur nafasnya, Bryan berjalan maju empat langkah membelakangi pintu keluar, lalu ia membuka halaman pertengahan di buku tersebut.

“Muchiis a good person, Oh bloodyhell! Muchi really likes bread topped with red jam.”

Bryan membacakan sebuah kalimat yang semacam kata sandi untuk ruangan tersembunyi.

Krik.., Kriik.., Krikk..,

     Namun sayangnya tidak ada perubahan yang terjadi. Yang mereka lihat masih hanya ruangan bekas yang lama tidak digunakan.

     “Loh apa yang salah?” Bryan terbengong sesaat.

     “Kau itu kenapa sih, Bryan?” tanya Peter

    “Kita jauh-jauh lari kesini, mau ngapain, hah?” tanya Fred

    “Hei Bryan, kau mau ngajak kami keluar area sekolah diam-diam ya?” tanya Draco sembari memandangi sekitaran mereka

   “Kak Cedric, coba deh cari tahu maksud dari kalimat yang ini.” ujar Brian sembari memperlihatkan isi buku itu kepada Cedric, “Aku yakin di balik kalimat ini pasti ada maksud lain yang bisa membawa kita ke suatu tempat.” ujarnya lagi

    “Tempat apa?” tanya para teman-temannya serentak

“Jadi seminggu yang lalu tuh aku nggak sengaja menemukan buku ini terjatuh di bawah meja di perpustakaan, awalnya kupikir ada orang yang menjatuhkannya tapi lupa buat menyimpannya balik, karena itu terpaksa aku balikin balik ke rak buku yah meskipun aku nggak tahu buku ini asalnya dari rak yang mana.” jelas Bryan

    “Tapi anehnya disaat aku sudah keluar dari perpustakaan terus kembali menuju ruang kelas, tiba-tiba buku ini ada di atas meja belajarku.” lanjut Bryan sesuai apa yang ia ingat

   “Mungkin saja ada orang iseng yang melakukannya.” sahut Fred

   “Aku juga mikirnya begitu, tapi itu nggak terjadi sekali doang. Setiap kali aku pergi kemanapun, buku ini tetap mengikutiku, meski sebelumnya aku nggak pernah ada niatan buat bawa ini kemana-mana. Semenjak dari kejadian itu, aku memutuskan untuk baca-baca isinya, dan akhirnya aku menemukan kalimat aneh ini di halaman pertengahan bukunya.” jelas Brian secara detail

  Para teman-temannya langsung mendekati Cedric yang tengah fokus memecahkan maksud dari kalimat yang ditujukan oleh Bryan.

   “Red jam bukannya selai merah ya?” ujar Peter bingung

   “Iyaa semacam warna selai rasa strawberry lah.” ucap Fred menyakini

   “Tunggu sebentar, apa menurut kalian memungkinkan kalau buku ini dulunya milik seseorang? Firasatku mengatakan kalau buku ini nggak mungkin bisa berserakan dimana-mana, soalnya ada logo berbentuk siren di atas sebelah kiri.” sela Cedric

    “Siren itu apa?”

  “Kaum mematikan yang hidup di lautan terdalam.” jawab Draco cepat

    “Apa jangan-jangan itu buku milik kaum mereka?” tanya Peter yang mulai keluar dari akal sehatnya

    “Bukan begitu konsepnya, Peter bodoh.” kesal Fred

     “Cedric, coba lakukan itu supaya kita tahu kebenarannya.” ucap Draco menyarankan Cedric untuk menggunakan kekuatannya di hadapan mereka

   “Jangan. Aku tahu sedikit maksud dari kalimat ini,” sela Marcel. “Bagaimana jika kalimat ini merupakan lawan kata dari kalimat yang sebenarnya?”

    “Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanya mereka bersamaan lagi

    “Aku dapat merasakan aura buruk dari buku ini, karena itu jangan sampai ada di antara kita yang melakukan kekuatannya di hadapan buku ini. Sepertinya buku ini mampu menyerap seluruh tenagamu hingga kau mati.” jelasnya

    “Lawan kata.. emm memang agak aneh sih, coba lihat ada kata ‘bloodyhell’ disini, bukannya kalau orang baik itu nggak seharusnya berkata kasar?”

  Mereka saling memandang satu sama lain. Mencoba memikirkan sesuatu diluar dugaan mereka.

      Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Cedric berhasil memecahkan kalimat aneh tersebut. Dan hasilnya,

 “I am a very bad person, i will make  your blood my food everytime. Happiness can only bring you to  your death.

Cring! Kreett.....,

      Tiba-tiba ruangan lama tersebut berubah menjadi sebuah pintu besar yang berukiran pahatan kayu di sekitarnya.

            “Kita berhasil.” ucap mereka serentak

      Entah mengapa dalam seketika mereka merasa bangga dan senang sekali saat tahu bahwa kode milik Cedric ternyata sangat ampuh membawa mereka ke ruangan tersembunyi tersebut.

      Tanpa perlu berpikir panjang, mereka pun akhirnya memutuskan untuk memasukinya.

Selama 15 tahun pintunya tidak pernah terbuka, dan sekarang sudah saatnya ruangan itu memiliki penghuni baru setelah penghuni yang lama lenyap dari muka bumi.

     Oh tidak! Apakah ini adalah hari terakhir mereka terlihat di kehidupan nyata?

Kalau begitu, selamat datang di area kemisterian. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status