Hati Fahira menjadi tersayat-sayat. Lelaki ini datang, bukannya memberikan pelukan, menanyakan kabar, tapi datang dengan amarah. Tapi, Fahira sadar. Lelaki mana yang tidak marah, jika istrinya didatangi pria lain saat dirinya tidak di rumah. Fahira menjadi serba salah. Bulir bening tak sadar mengalir di sudut mata Fahira. Wanita muda itu memilih beringsut dari depan Bayu. Sambil menyeduh teh panas, diusapnya air mata itu dengan lengan sweater rajut yang dipakainya. Sesekali dielusnya perut yang sudah membuncit. “Mas, minta maaf,” bisik Bayu lirih di telinga Fahira. Tanpa disadari, lelaki itu sudah berdiri di belakang Fahira. Tangan kanannya ikut mengusap perut Fahira. Fahira semakin merasa emosional. Dia semakin terisak. Tujuh bulan dia hidup sendiri di negeri orang dengan janin dalam kandungan, tapi pria ini bukannya berempati, justru menuduhnya yang bukan-bukan. Padahal, dia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga hatinya. Meski kadang, perasaan yang tak dapat diungkapkan itu tak te
Mata Bayu memanas.Petugas medis masih dengan tenang membantu persalinan Fahira.Namun, Fahira terlihat lemas, tak bertenaga. Selang darah dipasang untuk mengganti darah yang banyak keluar. Tak lama, Fahira tak sadarkan diri setelah berjuang mengeluarkan bayi mungil buah cinta mereka. Bayu menerima bayi merah yang disodorkan oleh perawat rumah sakit. Setelah mengumandangkan azan dan iqomah di kedua telinga bayi, Bayu kembali memberikan bayi itu kepada perawat yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Bayu bergegas untuk menghampiri Fahira. Rumah sakit ini terasa asing. Iya, sangat asing. Semua tulisan berbahasa Belanda, meski ada terjemahan dalam Bahasa Inggris. Semua pegawai termasuk dokter dan suster-susternya pun menggunakan Bahasa Belanda. Namun, jika berkomunikasi dengan Bayu, mereka bersedia memakai bahasa Inggris. Fahira masih terbaring dengan selang oksigen di hidung dan selang infus di tangannya. Matanya terpejam. Ada alat yang menghubungkan dengan indikator yang terpasang
“Mas….Mas!” Fahira mengguncang pundak Bayu.Lelaki yang tidur di sebelahnya itu masih teriak-teriak memanggil namanya. “Mas! Bangun, Mas,” ujar Fahira sambil meraih botol minum di atas nakas. Bayu mengerjapkan matanya. “Alhamdulillah, ya, Alloh,” seru Bayu sambil duduk. Refleks dia memeluk Fahira yang ada di depannya. Dia tak menghiraukan botol minum yang disodorkan kapadanya. “Sudah, Mas. Sesak,” ujar Fahira merenggangkan pelukan Bayu. “Minum dulu. Kamu mimpi buruk, ya,” tanya Fahira. Matanya menatap Bayu yang kembali ingin memeluknya. Namun, Fahira menggeleng dan menepisnya. Dia kembali menyodorkan botol minum pada Bayu. Bayu meneguk air putih dalam botol itu. Setelah menutup botol dan meletakkan kembali di nakas, Bayu kembali memeluk Fahira. Fahira tak lagi menolak. Dahinya mengernyit. Dia penasaran, kenapa suaminya. “Ra, berjanjilah padaku. Kamu tak akan meninggalkanku,” ujar Bayu mengiba. Bayangan Fahira meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya seperti tergambar nyata. B
[Ra, kamu harus revisi lagi nih. Discussion-nya kurang bisa menjawab Research Questionnya] Pesan Faisal masuk ke gawai Fahira.Fahira yang hendak tidur, terpaksa membuka kembali laptopnya. Beasiswa Fahira sebentar lagi habis. Dia harus bisa lulus tepat waktu. Jika tidak, dia harus mengandalkan uang tabungannya. Meskipun Bayu siang dan malam berusaha bekerja membanting tulang sebagai pekerja gelap, tapi tetap saja upahnya hanya cukup buat makan mereka sehari-hari. Sementara, kebutuhan sewa rumah dan bayar-bayar rekening seperti air, listrik, gas, internet, tidak lah murah. Beasiswa mahasiswa master tidaklah besar. Berbeda dengan beasiswa untuk mahasiswa PhD.Di Belanda, Master dianggap sebagai student, yang umumnya masih fresh graduate dan belum berkeluarga. Sementara PhD dianggap sebagai pegawai atau employee sehingga beasiswanya juga di sesuaikan dengan UMR.Jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 malam. Mata Fahira sudah lumayan lelah seharian lembur menulis thesis. Bukan hal yang
Pagi-pagi, Fahira langsung bergegas bangun. Pekerjaan semalam yang tertunda harus segera diselesaikan. Sementara Bayu pun sudah siap-siap untuk melaksanakan tugas sebagai loper koran di pagi hari. Sedikit receh lumayan membuatnya merasa sibuk dan berarti. Apalagi jika Fahira bersedia belanja menggunakan uangnya. Bayu sering teringat saldo tabungan Fahira yang ditransfernya sebagai uang bulanan selama dua tahun, hampir utuh selama hidup bersamanya. Kini Bayu tak ingin mengulangi kesalahan lama. Fahira dan Nayla harus makan dari hasil keringatnya. “Mas, kamu ngga ada rencana pulang?” tanya Fahira saat Bayu sudah datang. Dia merasa heran. Selama di Belanda, Fahira tak pernah melihat Bayu menghubungi keluarganya. Hanya sesekali menelpon mama dan Mbak Wulan. Nggak mungkin Bayu menelpon di luar rumah, karena selama ini Bayu hanya mengandalkan sambungan wifi apartemen. Fahira membuatkan teh panas untuk menghangatkan badan sembari memanggang roti dan mengolesinya dengan olesan keju dan
Fahira menggelengkan kepalanya. Tak percaya dengan pikirannya sendiri. Tak percaya dengan kenyataan yang dihadapi. Jadi, selama ini Bayu benar-benar tidak mencintainya. Jadi, Bayu datang kepadanya karena dia sudah kehilangan wanita yang dicintainya. Jadi, Bayu hanya menjadikannya pengganti wanitanya itu. Dada Fahira berdebar tak karuan. Dunia rasanya ingin runtuh. Kenapa saat dia merasa manis, kembali dia harus terhempas. Ini sama persis dengan peristiwa sebelum kepergiannya. Saat dia merasakan cinta dan jatuh cinta, di belakangnya, Bayu mencampakkannya. Kenapa harus seperti itu? “Ra—” “Cukup, Mas! Kamu memang dari dulu tak penah mencintaiku. Kamu tak pernah menghargaiku. Kamu tidak pernah menganggap aku ada!" Fahira berucap dengan suara bergetar. Nafasnya terengah-engah menahan sesak di dadanya. "Kamu hanya menganggapku sebagai pemberian orang tuamu semata. Saat orang tuamu memintamu kembali padaku, lantas kamu kembali. Coba kalau mereka tidak memintamu? Apa kamu akan mau k
“Mmm, kalau kamu bisa ujian bulan ini, di grupku sedang ada lowongan nyari PhD baru. Siapa tahu kamu minat. Biasanya, lulusan dari kampus kita, lebih diutamakan,” ujar Faisal. “He-emmm!” Belum sempat Faisal menjelaskan, Bayu sudah berdiri di belakang mereka. Lelaki itu berdeham untuk memberi isyarat bahwa dia mengetahui semuanya. Faisal menatap Bayu sekilas, mengisyaratkan kode yang pernah diucapkan dulu. Lalu dia memilih mengambil sepeda di parkiran, dan segera meninggalkan keduanya menuju kampus. Meskipun keduanya bersaudara, Faisal tak mau membuat masalah dengan Bayu. Bahkan, sejak Bayu datang ke Belanda pun, mereka memang seperti tak menunjukkan adanya ikatan darah. Bayu masih saja terlihat dihantui rasa curiga dan cemburu kepada Faisal, meskipun dibibirnya beberapa kali meminta maaf. Tapi tindakannya tetap tak berubah. Udara sudah mulai menghangat, tidak sedingin sebelumnya. Matahari juga mulai bersinar cerah. Namun begitu, Faisal masih setia dengan jaketnya sambil mengayuh
Bayu mengayuh sepedanya menuju warung Indonesia tempat dia bekerja. Dulu, Fahira lah yang hampir bekerja di tempat itu sebagai tenaga paruh waktu. Namun, karena hamil, akhirnya Fahira batal melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, Bayu lah yang menggantikannya. Meskipun belum genap dua bulan di Belanda, tak jarang, Bayu merasa bosan dengan rutinitasnya. Di Jakarta dia bekerja secara professional di balik meja. Sementara, di sini, dia mendampingi Fahira belajar. Bukan liburan. Mengais rejeki dengan menjadi pekerja kelas bawah, dengan upah yang minim untuk standar Belanda. Sementara Fahira sangat sibuk dengan kuliah dan bayinya. Bahkan, hampir tak ada waktu untuk sekedar santai. Detik demi detik bagi Fahira sangat berharga. Hidupnya seperti hanya untuk sekolah dan Nayla. Bayu merasa jengah. Dulu, dia tak pernah membayangkan bahwa Fahira akan lari hingga ke negeri ini. Dulu, Bayu hanya bisa membayangkan bahwa hidup di negara empat musim itu indah. Tapi itu dulu. Saat dia belum mengalam