Share

Menggenggam Tangan

“Bagaimana persiapan kompetisinya sudah selesai? Tinggal empat hari lagi penutupannya loh.” Aiden membuka pembicaraan setelah mobil melaju dari Rumah Sakit.

“Hampir selesai, tinggal menambahkan sedikit aksesoris agar terlihat unik dan elegan.” jawabku sambil tersenyum bangga pada hasil karyaku itu.

“Matteo tahu kamu memakai nama samaran untuk mengikuti kompetisi itu?”

“Nggak, mungkin nanti saja kalau benar-benar aku jadi juara.” Aku terkekeh sambil meggaruk kepala yang tak gatal.

“Kamu yakin akan menggunakan nama samaran?”

“Yakin seratus persen untuk itu! karena aku yakin tidak susah untuk membuat penilai memilihku dengan bantuan ibuku, jika dia tahu itu aku.” 

“Baiklah semoga kali ini kamu beruntung!” Aiden tersenyum lalu menggenggam tanganku.

Tak terasa kami sudah sampai ditempat parkiran apartemen. Kami keluar menuju lift, karena apartemen kami dilantai enam belas. Dia tak melepaskan genggaman tangannya ketika turun dari mobil. Semakin dekat dengan lantai yang kami tuju, genggamannya semakin erat. Dia terpaku saat pintu lift sudah terbuka.

“Ayo keluar!” Pintaku sambil menyeret tangannya karena masih menggenggam tanganku.

“Aku ingin waktu berhenti disini selamanya.” dia menghentikan langkahnya, kini posisi aku ada diluar lift dan dia masih didalam, dengan tangan masih saling menggenggam. Aku terpaku menatapnya.

“Jika aku adalah orang yang akan menyakitimu kelak, entah itu karena alasan apapun. Apakah aku masih bisa menggenggam tangan ini?” Ku tarik tangannya hingga spontan dia memelukku. Karena setiap lantai hanya diisi oleh tiga apartemen, maka tak akan ada orang yang selain kami yang ada disini.

“Aku tahu kamu sering melakukan hal yang membuatku supaya aku membencimu, namun aku tetap melihatmu. Entah apa nanti kau melakukan hal yang akan membuatku membencimu, aku tak yakin aku akan membencimu dan lari darimu. Aku hanya takut kau yang akan membenciku dan pergi meninggalkanku sendiri.” aku sandarkan kepalaku didadanya. Ku dengar detak jantungnya semakin cepat.

Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya hingga mata kami saling bertatapan. “Sejak pertama aku melihatmu, sejak itu aku mencintaimu, aku tak ingin itu berubah. Namun aku tak tahu.” Dia melepaskan tangannya lalu berbalik membelakangiku.

“Pergilah, kakakmu sudah menunggumu.” Dia berlalu menuju apartemennya. Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung.

Klekk!!

Kudengar pintu apartemenku terbuka. Aku berbalik, kulihat Matteo menatap Aiden yang sudah akan masuk ke apartemennya.

“Kamu! Kenapa masih berdiri disana? Kenapa kamu memandangi pria itu? Siapa dia?” Kening Matteo berkerut sambil memicingkan matanya memperjelas penglihatannya pada Aiden yang sudah masuk.

“Eh, hh... itu Aiden.” Jawabku sambil masuk ke dalam apartemen.

“Sejak kapan dia tinggal disana? Bukankah apartemen itu ada yang menempati?” Matteo terus membuntutiku karena penasaran.

“Hampir satu tahun kalau nggak salah, emang kenapa penasaran banget kenapa dia tinggal disana!” Bentakku

“Nggak, penasaran saja.” sambil melenggos pergi ke kursi depan TV. “Sana bersih-bersih dulu badan kamu! ada yang mau aku omongin serius.” lanjutnya.

“Iya, iya...” Aku pergi meninggalkannya.

Tak berselang lama setelah mandi dan berganti pakaian aku menemui kakakku ditempatnya tadi, tapi kulihat dia sedang menghubungi seseorang dengan serius. Aku menghampirinya, duduk disebelahnya menunggunya selesai berbincang dengan orang yang entah siapa itu.

“Baik, lanjutkan pencariannya! Ingat selalu hubungi aku jiga mendapatkan informasi terbaru! Aku ingin secepatnya menemukan mereka.” ku tatap kakakku itu, pikiranku kemana-mana mendengar ucapannya itu. Dia sedang mencari siapa, apakah dia sedang bermasalah dengan orang lain, apakah dia sudah menjadi gengster?

“AARRRGGG..........” aku berteriak sambil menggeleng gelengkan kepalaku. Kakakku melonjak kaget sambil menatapku penuh tanya.

“Kamu jadi gengster sekarang??” tanyaku sambil melompat kekursi yang lain supaya menjauh darinya.

Dia kembali duduk tenang lalu bicara lagi dengan orang ‘itu’, “Aku tutup dulu telponnya, aku tunggu kabar darimu!” dia meletakkan ponselnya di meja lalu memelototiku.

“Kenapa kamu teriak tadi?”

Aku yang masih duduk dikursi yang berbeda dan menatapnya dengan penuh curiga, “jawab dulu pertanyaanku! Kamu jadi gengster sekarang? Kenapa kamu cari orang, mau diapakan itu orang? Awas kalau kamu membuat aku dikejar-kejar orang, aku tak akan memaafkan mu” aku teriak mengancamnya.

Dia menghela nafas melihat adiknya yang terkadang terlalu berpikiran yang tidak-tidak. Dia menggelengkan kepalanya lalu melemparkan bantal kursi ke arahku.

“Kamu anggap aku gengster! Dasar bodoh! Kamu lagi nonton drama apa?” dia mendelik ke arahku, “kalau aku gengster sudah ku ajak puluhan anak buah kesini, otakmu gak pernah berubah ya, selalu berpikir yang aneh-aneh.”

“Terus kenapa kamu mencari orang?” tanyaku masih penasaran.

“Itu yang mau aku bicarakan sekarang.” dia merebahkan tubuhnya di kursi. Ku lihat dia mengatur nafasnya.

“Beneran kamu bukan gengster?” Aku bertanya meyakinkan.

“BUKAN!!” teriaknya dengan mata melotot.

“Baiklah, aku percaya.” aku duduk dengan santai karena jawabannya agak meyakinkan.

Dia bangun dari tidurnya, duduk dengan bersilang kaki. Aku menghampirinya, kami duduk dikursi yang sama karena kulihat dia memang akan berbicara serius.

"Kamu tahu kenapa ayah pergi waktu itu?" dia menatapku.

"Dia pergi kepada wanita lain selain ibu kita, itu yang aku dengar saat ibu berteriak ketika ayah pergi dimalam itu." wajahku menunduk, tenggorokanku serasa tercekat ketika mengingat malam dimana ayah meninggalkan kami. dan aku tak pernah bertanya pada siapapun karena takut bahwa itu benar, bahwa ayah mempunyai wanita lain dalam hidupnya.

Ya, sejak malam itu aku hanya punya satu alasan kenapa ayah pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status