Kami sampai didepan resepsionis Rumah Sakit, tangan kanan Aiden membawa buah tangan dan tangan kirinya menggenggam erat tangan ini. “Sore mbak, maaf saya mau mengunjungi Ny. Maria Hong, kalau boleh tahu dikamar berapa beliau dirawat ya?” Tanyanya kepada resepsionis jaga.
“Sore juga pak, sebentar saya cek dulu. Ny. Hong berada dilantai tujuh ruang VVIP kamar tiga.” Jawab resepsionis tersenyum ramah.
“Baik, Trimakasih.”
“Sama-sama Pak!”
Kami melangkah ke dalam lift menuju kamar yang dimaksud. Masih saja dia tidak melepaskan genggamannya. Kupandang wajahnya penuh tanya. Pikiranku bertanya-tanya ‘Ada apa dengan dia hari ini?’
Sesampainya didepan pintu kamar Aiden baru melepaskan genggamannya. Dia mengetuk pintu tapi tatapannya tidak lepas dari menatapku yang makin salah tingkah karena sikapnya.
“Ya masuk!” suara seorang wanita menjawab ketukan. Aiden membuka pintu lalu menengok dulu kedalam untuk memastikan pasien yang berada didalam adalah yang kami tuju.
“Aiden!” Ku dengar suara Ny. Hong memanggilnya. Lalu kami masuk.”Oh sayang, kalian datang, ayo masuk!” Sambutnya penuh bahagia.
“Hallo, bagaimana keadaanmu Ny. Hong?”
“Aku sudah baik, sayang. Trimakasih sudah berkunjung” Ny. Hong memelukku terharu
Setelah kami berbincang bincang dengan Ny. Hong, anaknya yang bernama Belly lou mengajak kami berbicara di kafetaria rumah sakit, semenara istri Tn Belly menemani Ny. Hong dikamarnya.
“Nak, terimakasih selama kami tidak bersamanya, kalian sudah menjaganya dengan baik, padahal kami sudah menyewa orang untuk menjaganya siang dan malam, namun beliau selalu menolak untuk ditemani seharian penuh. Beliau selalu berkata selalu tidak nyaman kalau bermalam bersama bukan keluarga, jadi penjaganya hanya diperkenankan datang siang hari saja. Beliau selalu menceritakan tentang kalian kepada kami saat berkunjung, namun sayangnya kita tidak pernah dipertemukan. Saya tidak tahu harus membalas segala kebaikan kalian dengan apa” ucapnya.
“Tak apa Tn. Lou, saya senang sekali ketika bersamanya, beliau bisa menjadi ibu, teman, saudara ketika saya punya masalah. Saya sangat menghargai beliau dengan ketulusannya, saya sangat bangga pada pengalaman hidupnya. Saya seperti menemukan ibu dalam dirinya.” Aku terdiam mendengar jawaban Aiden. Mungkin dia sangat merindukan sosok seorang ibu dalam kehidupannya.
Aiden pernah bercerita bahwa dia kehilangan ibunya saat masih SMA tahun kedua, karena ibunya adalah anak satu-satunya dan kedua orangtua dari ibunya pun sudah meninggal maka Aiden hidup bersama kakek dari pihak ayah. Walaupun Aiden sangat disayang oleh keluarga dari pihak ayahnya, segala kebutuhan dan keperluannya selalu tercukupi namun dia tidak selalu berpangku tangan. Sejak tahun terakhir di SMA dia sudah mulai belajar bisnis kepada kakek dan pamannya, malahan dia ikut magang di salah satu perusahaan kakeknya, jadi pada saat masuk kuliah dia sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri.
“Tapi mengapa anda tidak tinggal di apartemen Ny. Hong, Tn Lou?” tanyaku penasaran.
“Panjang ceritanya tentang apartemen itu, namun pada intinya beliau menunggu pemilik aslinya kembali. Hampir delapan tahun kami mencari pemilik sesungguhnya apartemen itu, namun kami hanya mendapatkan berita bahwa si pemilik sudah meninggal, namun dia memiliki dua anak yang kami masih mencarinya.” jelasnya.
“Oh begitu. Kalau boleh, bisakah saya tahu identitas pemiliknya?, mungkin saja saya bisa membantu mencarinya!” pinta Aiden pada Tn. Lou
“Maaf nak Aiden, mungkin belum saatnya saya memberitahukan identitas mereka pada saat ini. Karena ini kewenangan ibu saya. Mungkin bila banyak yang tahu dan tidak hati-hati kami akan mendapatkan masalah. Oleh karena itu, kami sangat hati-hati memberi informasi kepada orang, walaupun orang itu orang dekat kami. Karena ini menyangkut dua keluarga yang harus dipertaruhkan.” kali ini bicaranya begitu hati-hati, matanya seakan waspada pada setiap orang.
“Oh maaf kalau begitu, terus kenapa Ny. Hong berani ditinggal sendiri disana? Apa anda tidak takut kenapa-napa?” aku heran, kalau emang mereka merahasiakan hal itu, kenapa wanita tua itu ditingalkan sendiri.
“Semua sesuai keinginannya” jawabnya dengan tersenyum.
Kami berbincang banyak tentang keluarganya kehidupannya, dan kami tahu bahwa ternyata perusahaan yang dimilikinya sekarang hasil dari kebaikan dan kepercayaan dari sang pemilik apartemen untuk dikelolanya. Dan pemilik apartemen itu ternyata ada dua orang.
“Ketika sudah waktunya, mungkin ibu akan membicarakannya pada kalian cerita sebenarnya dia menempati apartemen itu.” Kami hanya tersenyum mendengar pengakuannya.
Tak terasa ternyata kami berbincang sudah hampir dua jam sambil menikmati makanan yang tersedia di kafetaria rumah sakit tersebut, dan ternyata pembicaraan Tn. Luo sama menariknya seperti Ny. Hong. Perbincangan kami terhenti ketika ponselku berbunyi, ketika kulihat dilayar ada panggilan dari kakakku.
“Maaf, saya permisi dulu mau terima dulu panggilan.” kulihat dua pria itu mengangguk tanda mempersilahkan. Lalu aku sedikit menjauh dari mereka.
“Ya, halo kak?”
“Masih dirumah sakit? Kakak sudah didepan apartemenmu, boleh masuk kan?”
“Ya, Katy masih dirumah sakit, bentar lagi keluar mau pamitan dulu. Kakak tahu kan kode masuknya? Baiklah sampai jumpa disana” ku tutup panggilan darinya lalu menuju ke meja tadi.
Dengan tersenyum aku berkata pada mereka bahwa aku harus pamit karena sudah ada janji dengan kakakku. Mereka tersenyum dan mengerti. Kami kembali ke kamar perawatan untuk berpamitan kepada Ny. Hong. Kulihat beliau begitu sedih kami akan pulang, namun kami berjanji akan berkunjung lagi pada hari esok, dia sangat senang mendengarnya, dan berharap itu bukan hanya sebuah janji.
“Bagaimana persiapan kompetisinya sudah selesai? Tinggal empat hari lagi penutupannya loh.” Aiden membuka pembicaraan setelah mobil melaju dari Rumah Sakit. “Hampir selesai, tinggal menambahkan sedikit aksesoris agar terlihat unik dan elegan.” jawabku sambil tersenyum bangga pada hasil karyaku itu. “Matteo tahu kamu memakai nama samaran untuk mengikuti kompetisi itu?” “Nggak, mungkin nanti saja kalau benar-benar aku jadi juara.” Aku terkekeh sambil meggaruk kepala yang tak gatal. “Kamu yakin akan menggunakan nama samaran?” “Yakin seratus persen untuk itu! karena aku yakin tidak susah untuk membuat penilai memilihku dengan bantuan ibuku, jika dia tahu itu aku.” “Baiklah semoga kali ini kamu beruntung!” Aiden tersenyum lalu menggenggam tanganku. Tak terasa kami sudah sampai ditempat parkiran apartemen. Kami keluar menuju lift, karena apartemen kami dilantai enam belas. Dia tak melepaskan genggaman tangannya ketika turun dari mobil. Semakin dekat dengan lantai yang kami tuju, geng
Flashback “Kamu memilih dia daripada keluargamu ini? Kamu belum sadar juga, dulu keluarganya telah menghancurkan kehidupan orangtua kita, tapi kenapa kamu masih membelanya! Sebegitu dalamnya kah rasa cintamu pada wanita itu? Selama ini kau anggap aku ini apa?” ibuku berteriak penuh emosi. “Cara kamu memalukan! apa bedanya kamu dengan mereka? Aku muak dengan semuanya.” “Kamu akan pergi padanya?” ibuku berkata dengan nada sinis. “Jangan pernah menemuiku lagi, kita akhiri semuanya disini! Aku akan membawa anak-anak bersamaku.” “Jangan harap kamu bisa membawa mereka! Takkan ku biarkan itu terjadi! Kalau kau mau pergi, pergilah tanpa mereka! Jangan pernah tampakkan lagi wajahmu pada mereka. Kamu mengerti bagaimana aku.” Ibuku keluar dari kamarnya menuju ke garasi, lalu pergi dengan mobilnya entah kemana. Malam itu, pertama dan yang terakhir kalinya ku dengar orangtuaku bertengkar, aku ragu ayahku memiliki wanita lain, tapi akupun tak meragukan perkataan ibuku tadi. Kulihat ayah keluar
Aku pergi ke ruangan tempat aku mendesain pakaian untuk kompetisi, aku memikirkan perkataan Matteo tadi, ‘balas dendam, tapi pada siapa mereka akan balas dendam, cara apa yang akan mereka lakukan untuk membalaskan dendamnya, siapa mereka?’ batinku meracau tak menentu. Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku. ‘Haruskah aku bertanya pada ibu? Atau aku minta tolong kepada Aiden untuk mencari tahu semua itu?’ Aku menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. TRURTTTTT Ponselku bergetar, tanda ada panggilan masuk. Sengaja aku atur dalam mode senyap tanpa nada dering, ku lihat panggilan itu dari Aiden. “Hallo!” jawabku dengan lemas “Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?” tanyanya cemas. Aku bingung, ingin mengatakan apa yang tadi aku dan Matteo perbincangkan, namun mulai darimana. “Aku baik-baik saja, cuma aku sedang bingung menemukan aksesoris yang cocok untuk pakaian ini.” aku berbohong, karena tak mungkin aku menceritakan tentang keluargaku yang penuh intrik ini. “Mau aku bantu me
Benar saja ketika pagi menjelang, samar ku dengar Aiden sudah adu mulut dengan kakakku diruang depan, Matteo menyebutnya pencuri karena berani masuk tanpa permisi ke apartemen orang. “Hei! Bagaimana kamu bisa masuk apartemen orang? DASAR CHEF BAJING*N!” Bentak Matteo dengan suara lantang. “Aku sudah bilang pada nona kecilmu kalau dia tidak keluar, aku akan masuk secara paksa dan membawanya pergi hari ini.” Balas Aiden makin lantang. Aku tak tahu apakah mereka sudah baku hantam atau hanya adu mulut saja. “ASTAGA!!!!” teriakku sambil bangun dari sofa diruang kerjaku, aku baru ingat apa yang dikatakan Aiden tadi malam. Aku lari keluar menghampiri dua pemuda yang sedang adu mulut. Aku kaget sampai mata dan mulutku terbuka lebar, disana kulihat dua pemuda itu sedang bergulat dan saling jambak seperti perkelahian wanita. Ingin rasanya aku tertawa, namun aku juga khawatir akan terjadi sesuatu yang lebih mengerikan. “HEI KALIAN!!!! BERHENTIII!!!!” Teriakku sambil lari menghampiri mereka un
Sesampainya di tempat parkir, ku dengar ponsel Aiden berbunyi namun dia tak lantas mengangkatnya, ada ragu dan cemas terpancar dari wajah tampannya. Sambil membuka bagasi mobilnya untuk menyimpan tas yang dia bawa, dia menolak panggilan tersebut. Dia menyimpan kembali ponselnya kedalam saku celana, beberapa kali ku dengar lagi suara panggilan, namun tetap ia abaikan, sampai mobil yang kami tumpangi melaju pun dia tetap bergeming. “Kenapa tak diangkat?” tanyaku heran. “Hanya orang iseng, dari semalam nelpon terus, tapi aku nggak kenal.” jawabnya, tapi ada kecemasan terlihat diwajahnya. “Kamu yakin??” Aku semakin fokus melihat ke arahnya, ada sedikit keraguan terbesit dihati. ‘Apa ada yang dia sembunyikan dariku?’ batinku berbisik. “Ya, aku sangat yakin! Sudah jangan hiraukan, aku sudah biasa menerima panggilan yang tak dikenal.” Dia menolehku sambil tersenyum, namun perkataannya itu seperti tidak menggambarkan pada sikapnya yang terlihat waspada. Aku yakin ada sesuatu yang dia semb
Kendaraan yang kami kemudikan sudah mulai memasuki wilayah Greentown, sudah terasa udara yang sangat segar, sepanjang tepi jalan ditumbuhi oleh pohon pinus merah. Terlihat sebuah rumah sederhana dengan ornamen klasik sehingga terlihat menarik. Ada beberapa rumah yang ada di daerah ini, salah satunya rumah yang dituju Daniel. Jarak rumah Aiden dan rumah yang dikunjungi Daniel berdekatan bisa dikatakan mereka bertetanggaan. “Kamu sering kesini?” tanyaku pada Aiden. “Mungkin ini kedua kalinya aku berkunjung ke rumah ini.” jawabnya sambil memarkirkan mobilnya. Tapi ku lihat rumah ini sangat bersih seolah selalu terurus dengan baik. “Jadi selama ini ditempati oleh siapa?” tanyaku penasaran. Namun tak berapa lama datang seorang lelaki tua dari dalam rumah, mungkin umurnya sekitar enam puluh tahunan. “Selamat datang Tuan Aiden!” Sapanya seraya membungkukkan badan tanda menghormatinya. “Apa kabar paman Joo?” Aiden merangkul lelaki tua itu tanpa ragu, “lama tak jumpa, apa kamu baik-baik s
POV AIDEN Aiden pergi kesuatu tempat yang berjarak satu kilometer dari rumahnya di Greentown, menuju sebuah pemakaman yang berada disebuah bukit yang asri, berjalan gontai mendaki tangga batu yang disusun rapih. RIP CINTYA LIN. sebuah nama tertulis dibatu nisan yang dikunjungi Aiden. “Apa kabar bu?, aku merindukan mu bu. aku kesini membawa anak dari wanita yang membuat ibu menderita sampai terbaring disini. Apa ibu bahagia ketika kami nantinya membuat mereka merasakan apa yang dulu ibu rasakan?” Ucapnya lirih, tak terasa embun dimatanya menjadi tetesan airmata yang tak bisa ia bendung. Ingatannya kembali mengulang kejadian sepuluh tahun lalu ketika ibunya akan pergi menghadiri pengumuman kompetisi desainer internasional. Dengan senyum yang mengembang Aiden dan kakaknya menemani ibunya ke gedung seni terbesar dipusat kota. Kami duduk di meja yang telah disediakan sesuai dengan nomor yang tertera di undangan kami. “Bu, bukannya itu Tuan David Lee?” Kakakku menunjuk ke salah satu meja
Aiden kembali kerumah di Greentown dengan suasana hati yang sudah bisa dikendalikan. Dia langsung menuju dapur untuk membuat hidangan makan malam. Dia membawa sekeranjang bahan makanan dari pasar yang dia lewati. “Kamu tadi pergi kemana?” Tanyaku saat Aiden sedang mengolah makanan di dapur. “ada yang bisa aku bantu?” aku mendekatinya “Kamu kan tamu, duduk saja! Aku akan buatkan makanan special.” Dia merangkulkan tangannya kepinggangku, lalu mendudukan aku dikursi. “ee-h... Boleh aku bertanya soal keluargamu?” ucapku gugup “Apa yang ingin kamu tahu? Kamu sudah tahu siapa aku, kamu mau tanya soal keluargaku yang mana?” ucapnya sambil meneruskan memasaknya “Apakah kamu pernah tinggal disini dengan keluargamu?” Aiden sekilas menatapku lalu melanjutkan kembali aktifitasnya, aroma masakannya sudah mulai tercium menggoda lidah. “Ya, kami hanya tinggal beberapa hari disini, setelah itu kami berpisah.” Senyumnya pahit “Bersama orangtuamu?” aku hati-hati bertanya “Ibu dan saudariku.” dia