"Syadil...cepat kau cuci bajuku ini! Malam nanti aku akan memakainya ke pesta ulang tahun temanku!" Sebuah kain melayang dan jatuh tepat diwajah seorang gadis yang tengah sibuk meracik minuman ke dalam gelas.
"Syadil...bawakan minumanku ke sini! Cepatlah, aku sedang sangat terburu buru sekarang!" Belum genap lagi langkah kaki gadis itu mencapai tempat mencuci pakaian, orang itu kembali berteriak memanggilnya."Syadil...Syadilla...! Selain buta, apa kau juga tuli sekarang, hah? Aku bisa terlambat ke kampus karenamu!""Maaf! Maafkan aku, Elena! Aku tadi belum selesai membuat teh-mu saat kau menyuruhku mencuci bajumu." Syadilla tergopoh-gopoh membawa nampan berisikan secangkir teh di atasnya, sesuai pesanan Elena.Dengan gusar Elena segera menyambar minumannya. Tenggorokannya terasa sangat kering juga seret saat menyantap nasi goreng buatan ibunya."Phhuuuuufff....!" Tiba-tiba saja Elena menyemburkan minuman dari mulutnya. Entah sengaja atau tidak, yang jelas air teh itu mengenai tubuh Syadilla yang kebetulan masih berdiri di depannya."Air apa yang kau berikan padaku, hah? Jangan bilang Kau lupa memasukkan gula ke dalam tehku. Rasa air comberan!""Byuuur....!" Elena serta merta menyiramkan air teh di cangkirnya ke wajah Syadilla. Membuatnya reflek tergagap ketika air yang masih setengah panas itu terpercik di wajahnya.Namun selanjutnya, Syadilla hanya mampu menunduk sembari buru buru menyeka mukanya dengan lengan bajunya. Wajahnya yang putih seperti salju seketika memerah seperti hendak meleleh. Perih dan panas begitulah yang ia rasakan waktu itu, seperti terbakar. Dalam diam dan dengan wajah yang kian tertunduk setitik demi setitik air matanya mulai meluncur di pipi halusnya. Karena, ada yang terasa lebih panas lagi perih saat itu. Hatinya!Syadilla berusaha kuat menekan kesedihannya atas perlakuan Elena yang selalu temperamental padanya. Bagaimanapun, ia merasa berhutang budi pada keluarga angkatnya. Itu mengapa dia hanya bisa pasrah menerima setiap perlakuan kasar mereka.Apalah dirinya? Hanya seorang gadis buta yang lemah dan polos untuk melawan kekejaman dunia. Meski jauh di lubuk hatinya ia slalu berdoa, berharap sebuah keajaiban menghampiri dan meraihnya dari kemalangan.
"Syadilla...apa yang kau tunggu? Cepat kau selesaikan pekerjaanmu, aku beri kamu waktu satu jam untuk menyelesaikan semuanya!" Sebuah teriakan yang cukup nyaring dari bibi Sani membuyarkan lamunan Syadilla. Ia segera menyusut air matanya dan berjalan ke arah tempatnya mencuci pakaian.Meskipun kedua mata Syadilla tak dapat melihat semuanya, tetapi gadis itu telah begitu hafal dengan seluk beluk rumah itu, termasuk barang apa saja di dalamnya. Berapa langkah ia harus menuju kamar mandi, dapur, ruang depan, juga kamarnya? Itulah sebabnya dirinya mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik dan masih diterima oleh istri dan anak dari paman Juang."Ingat, kau harus menjual habis semua bunga-bunga itu nanti. Elena butuh banyak uang untuk biaya kuliahnya. Jangan harap untuk pulang dan mendapat jatah makan malam kalau kau tak membawa cukup banyak uang hari ini. Kau mengerti?" Bibi Sani terus saja membombardir Syadilla dengan rentetan ancaman ditengah kesibukannya bekerja.****"Bunga... bunga... bunga segarnya Tuan, Nyonya!" Syadilla terus berteriak menawarkan dagangannya pada orang orang yang hilir mudik di trotoar jalan. Berharap beberapa orang dari mereka sedia menepi dan membeli bunga bunganya yang ia bawa dalam sebuah keranjang rotan.Masih terngiang-ngiang ucapan bibinya tadi pagi. Bila Syadilla tak mendapat banyak uang hari ini, maka perutnya harus bersiap siap menahan lapar hingga esok. Belum lagi hukuman tambahan yang nantinya akan ia dapatkan.Memikirkan hal ini, membuat Syadilla tertunduk lesu. Sebab kenyataannya, hingga tengah hari bunga dagangannya masih banyak menumpuk di keranjang.
"Pergi...pergi! Petugas penertiban jalan, dataaaang!" Terdengar teriakan lantang seseorang tiba-tiba."Ayo, cepat! Kita kemasi semua barang daganan kita, kalau tidak mereka akan menyita atau malah menghancurkan semuanya!" Suara yang lain terdengar menimpali teriakan orang pertama tadi.Suasana kemudian menjadi begitu gaduh. Para pedagang yang berjajar di sepanjang tepi jalan itu mulai panik. Dari pedagang makanan, pakaian, hingga aksesoris di sana, semua begitu sibuk berusaha menyelamatkan dagangan mereka dan kemudian berlari menjauhi aparat."Pergi...! Ayo, cepat lari!" "Drap... drap... draaaap....!" Derap langkah orang orang yang berlari sambil berteriak teriak di sekeliling Syadilla membuatnya ikut panik sekaligus bingung. Tangannya mencengkeram erat keranjang bunganya."Bagaimana ini? Aku harus berlari kemana? Paman Juang tidak ada di sini, tadi dia segera berlalu setelah menurunkanku di tempat ini!" Beribu pemikiran mulai berjejal di benak Syadilla. Ia menggigit bibir bawahnya menahan ketakutan yang merayap di hatinya.
"Syadilla cepat lari! Apalagi, yang Kau tunggu?" Seseorang menarik salah satu tangan Syadilla."Bibi Syam?" Ternyata, Syadilla mengenali siapa yang telah menghampirinya."Ayo cepaaat...!" Kembali perempuan itu berteriak dan menarik Syadilla untuk ikut berlari bersamanya. Namun, tiba-tiba saja dari arah belakang, seseorang berlari sangat cepat dan tanpa sengaja menabrak keduanya."Brraaaaakkk...!" Tubuh Syadilla jatuh tersungkur. Orang tadi menabraknya dengan sangat keras. Keranjang di tangannya terpental sehingga memuntahkan seluruh isi di dalamnya. Bahkan yang lebih parah, tanpa ia tahu keranjangnya tersebut sempat menggores sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari mereka."Oh tidaaak! Ya Tuhan...!" teriak bibi Syam saat menyadari genggaman tangannya terlepas dari Syadilla, sehingga gadis itu terjatuh."Haah..!" Lalu seketika ia membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya gemetar kala melihat tak jauh dari mereka aparat penertiban jalan semakin mendekat ke arah mereka.
Bagaimanapun, bibi Syam tak mau tertangkap lagi setelah pengalaman yang dulu. Saat itu, ia dan beberapa penjual lainnya tertangkap, hingg harus kehilangan barang dagangan mereka. Hanya mereka yang sanggup menebusnya dan membayar denda, dapat selamat. Tapi, tetap saja, sebagian barang mereka dikembalikan dalam kondisi banyak yang rusak ataupun koyak saat aksi berebut dengan para aparat itu sebelum tertangkap."Maafkan aku Syadilla, semoga nasibmu beruntung hari ini!" teriak bibi Syam dan berlari meninggalkan Syadilla seorang diri.Mendengar itu, Syadilla rasanya ingin menangis.Walaupun dia tidak dapat melihat, dia tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya. Terlebih, dia mendengar suara pria berteriak ke arahnya.
"Cepat, tangkap gadis itu!"
"Ke mana perginya gadis buta si*lan itu? Sudah dua hari tak pulang?" Sani berkata dengan geram pada dirinya sendiri sambil terus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Elena yang duduk di kursi makan tak jauh dari ibunya, pura pura saja tak mendengar cuitan cempreng sang ibu. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Sementara kedua matanya yang bulat tak lepas dari layar hp di tangan kirinya.Baginya pekerjaan rumah adalah sama sekali bukan urusannya. Jadi tidak penting apakah ibunya ataukah Syadilla yang mengerjakan semua itu."Istriku, kamu jangan ngomel terus! Pusing kepalaku mendengarnya," Juang yang baru masuk ke ruang makan memprotes. Dari pintu sekat di ruangan itu, ia melihat istrinya sibuk bekerja sekaligus mengomel. "Apa mulutmu itu tidak capek?" imbuhnya.Seperti halnya Elena, dari tadi Juang hanya diam mengabaikan repetan Sani yang terus saja melaju seperti kereta. Kalau bukan karena cacing di perutnya yang sudah ikut berteriak minta diisi, malas sekali dirinya berjalan ke dapu
Syadilla mengangkat kepalanya. Heran. Bagaimana lelaki ini tahu tentang keluarga angkatnya. "Kamu mengenal Paman Juang?" ia pun bertanya dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya.Lelaki di depan Syadilla sebenarnya tak lain adalah Morgan. Orang yang sama, yang telah menyelamatkan gadis itu saat terjadi razia pedagang kaki lima sebelumnya."Itu tidak penting. Sekarang baiknya kamu segera menghabiskan makananmu. Buka mulutmu!""A - aku bisa melakukannya sendiri," Syadilla masih menolak membuka mulutnya saat ujung sendok di tangan lelaki itu menyentuh bibirnya. "Tapi sebelumnya aku ingin mandi membersihkan badan. Tuan, bolehkah aku...""Berjalanlah sepuluh langkah ke kanan dari ranjangmu, kamu akan menemukan kamar mandi. Aku akan keluar. Setengah jam lagi aku kembali. Patuhlah, habiskan makananmu!" Morgan menyambar ucapan Syadilla yang belum selesai. Setelah kalimat tersebut selesai diucapkan, tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang berjalan keluar, diikuti suara pintu kamar ya
"Berhentiii...!" teriakan melengking terdengar tepat saat mereka akan benar benar menekan pistolnya.Seperti dikomando, seluruh mata segera menoleh ke sumber suara. Nampak berdiri dengan tubuh gemetar, seorang wanita yang menutupi kedua telinganya. Wajah putihnya nampak semakin putih seperti kapas saking pucatnya. Melihat wanita yang berdiri, lelaki pemimpin rombongan untuk sesaat membeku. Satu tangannya kemudian terangkat memberi kode. Dan secara serempak seluruh anggota menurunkan senjata mereka.Lelaki pemimpin langsung menghampiri wanita yang tak lain adalah Syadilla. Ia mendapati Syadilla dengan wajah yang sangat pucat dan dipenuhi air mata. "Nona, maaf kami datang terlambat!" "A - aku..." belum selesai kalimat yang diucapkan, Syadilla jatuh ambruk dikarenakan tubuhnya yang semakin lemah. Dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sebelum tubuh Syadilla benar benar jatuh menyentuh tanah."Bawa Nona, dan tinggalkan dia!" perintah lelaki itu lagi sambil menatap tajam pada para bawahan
"Permisi, Nona! Aku disuruh seseorang untuk menjemputmu pulang!" Syadilla segera menghentikan aktifitasnya mencopot spanduk dagangannya kala seseorang menghampiri dirinya."Apakah Pamanku yang telah menyuruhmu?" setelah sejenak tertegun, Syadilla pun bertanya kepada orang itu."Hmm, benar. Pamanmu lah yang telah menyuruhku. Ayo, segera kita berangkat!" sahut orang itu sambil mendorong sedikit lengan Syadilla, dengan maksud agar gadis itu mengikutinya.Syadilla yang didorong tubuhnya, refleks mengikuti saja saat lelaki itu mulai membawanya berjalan keluar dari area pasar malam. Setelah berjalan kira kira dua puluh meter dari area pasar, mereka pun berhenti. Tepat di sisi sebuah mobil yang telah terparkir sebelumnya di sana."Nona, masuklah!" lelaki itu membuka pintu mobil."Mobil?" Syadilla tercenung. "Nona, cepatlah!""Eh, Tuan, mungkin Anda salah orang! Siapa nama orang yang Anda maksud, yang telah menyuruh Anda menjemputku?" tanya Syadilla memastikan.Bukan tanpa alasan Syadilla m
Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak
Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter