Share

Bab 8 Fitnah

Author: Mblee Duos
last update Last Updated: 2022-11-09 05:39:58

"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang.

"Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut.

"Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?"

"Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri.

"Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?"

"Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.

Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" batin Syadilla.

Berikutnya, Syadilla teringat akan gaun pemberian Elena tadi. Ia pun berpikir untuk segera ke rumah Bibi Lily, penjahit langganannya. Tentu saja setelah ia menyiapkan makan untuk pamannya dan meminta ijin darinya.

****

Tak butuh waktu lama bagi Syadilla bisa sampai di tempat Bibi Lily yang hanya berjarak 50 meter dari rumah bibinya.

"Ada apa Syadilla? Tumben datang kemari?" sapa Bibi Lily ramah begitu melihat Syadilla datang.

Perempuan setengah baya itu lalu menuntun Syadilla untuk duduk di sebuah kursi kayu. Mendapat perlakuan yang istimewa, Syadilla pun tersenyum manis dan berkata, "Terimakasih Bibi Lily!"

"Apa kau ingin menambal gaun lagi?" tebak Bibi Lily. Karena seperti yang sudah sudah, gadis itu selalu datang ke tempatnya hanya untuk menjahit gaun bekas yang biasanya koyak di beberapa bagian.

Mendengar pertanyaan Bibi Lily, rona muka gadis itu pun memerah sedikit malu.

"Ya ampun, kasihan sekali kamu, Nak!" Bibi Lily mengelus rambut panjang Syadilla. Meski Syadilla tak menjawab pertanyaannya, tapi ekspresi gadis itu cukup mewakili. Ia merasa begitu iba pada Syadilla yang selalu memakai baju bekas dari saudaranya, Elena.

"Andaikan saja aku punya cukup kain untuk membuatkanmu sebuah baju," imbuh Bibi Lily lagi sambil menatap sedih potongan potongan kain yang bertumpuk di ruangan itu. "Tapi yang kupunya hanyalah potongan perca perca ini!"

Nada sedih terdengar jelas dari ucapan Bibi Lily. Memahami hal itu, Syadilla pun tersenyum menghibur.

"Bibi Lily, Bibi memang selalu baik padaku. Aku pasti akan senang hati menerima pemberian Bibi. Meski baju itu terbuat dari potongan seribu macam kain sekalipun," ucap Syadilla tulus.

Bagaimanapun Syadilla mengerti kondisi Bibi Lily yang tak jauh berbeda darinya. Sebab lingkungan mereka tinggal memanglah para golongan masyarakat lapisan bawah di garis kemiskinan. Apalagi Bibi Lily hanyalah seorang janda tanpa anak yang menopang hidupnya hanya mengandalkan mesin jahit tua miliknya. Itu pun sudah mulai sepi peminat. Hanya beberapa langganan setia saja yang masih mau menggunakan jasanya.

"Kamu benar benar gadis yang baik dan polos. Baiklah, Bibi pasti akan menjahitnya untukmu nanti!" Bibi Lily tersenyum lembut, lalu mengambil buntalan berisi gaun yang hendak Syadilla jahitkan.

"Tunggulah, aku akan menjahitnya dengan cepat untukmu!"

Syadilla mengangguk mengerti. Dia pun duduk tenang menunggu Bibi Lily menjahitkan pakaiannya. Hanya suara mesin jahit yang kemudian terdengar sedikit berisik saat beroperasi.

"Nah, selesai!" seru Bibi Lily bersamaan ia menghentikan mesin jahitnya. Tangannya yang sudah sedikit keriput melipat dan menyerahkan gaun itu kemudian kepada Syadilla.

"Simpan saja uang itu!" Bibi Lily menepis pelan tangan Syadilla yang akan mengulurkan selembar uang kertas untuknya.

"Tapi, Bi..."

"Aku akan tersinggung bila kamu menolak kebaikanku kali ini," Bibi Lily memotong cepat keraguan Syadilla.

"Te - terimakasih, Bibi!" ucap Syadilla terbata dengan mata sedikit berkaca kaca. Hatinya merasa tersentuh dengan kebaikan perempuan di depannya. Membuatnya menyadari kekeliruan berpikirnya selama ini. Ternyata masih ada orang orang yang bersikap begitu baik dan lembut padanya.

Sudut bibir Syadilla terangkat menyunggingkan seulas senyum yang begitu manis. "Bibi, terimakasih!" ucapnya lagi dengan menggenggam erat tangan sang Bibi. Yang dibalas dengan pelukan hangat dari Bibi Lily.

****

"Syadilla, bangun! Cepat bangun!"

"Bi - Bibi..." Syadilla terhenyak dari tidurnya karena tiba tiba mendengar teriakan bibinya. Selalu seperti itu, tak pernah sekalipun bibinya itu memanggilnya dengan suara yang sedikit saja lebih pelan.

"Kamu enak enakan tidur di rumah. Apa kamu tidak tahu ada pencuri masuk ke rumah ini, hah?" Bibinya mulai mengamuk, melempar semua bantal guling di ranjang ke lantai.

"Pen - pencu - ri?" Syadilla bertanya gugup. Dia tadi memang tertidur karena merasa lelah setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah. Keadaan yang sepi juga membuat rasa kantuknya semakin menjadi.

"Menjaga rumah saja kamu tidak becus! Dan kini semua sisa uangku hilang. Ini semua karena kamu memang tidak berguna!" raung Sani murka sambil menoyor kepala Syadilla. Ia sangat frustasi kehilangan harta simpanannya.

Syadilla hanya mengusap bagian kepala yang sedikit sakit akibat tangan bibinya itu. Sudah biasa baginya menahan kesakitan macam ini sehari hari.

"Tapi Bibi, aku pikir aku belum tertidur lama sepulang dari rumah Bibi Lily. Dan aku tidak mendengar suara apapun yang mencurigakan," Syadilla berkata dengan sangat hati hati, takut membuat kemarahan Bibi Sani makin bertambah.

"Tentu saja, karna kamu tidur persis seperti kerbau!" hardik Sani.

"Bu, tidak ada benda lain di rumah ini yang hilang. Hanya uang Ibu saja, kan? Itu artinya orang itu sudah tahu dimana tempat Ibu menyimpan uang," suara Elena tiba tiba menyela di tengah perdebatan. Dan tanpa setahu Syadilla, ketika mengucapkan hal itu, pandangan dan bibir Elena mencibir ke arahnya.

Mengerti maksud pembicaraan putrinya, mata Sani pun ikut menatap sengit pada gadis yang masih terduduk di tepi ranjang itu. Kemarahannya semakin menjadi, dan dengan lantang berteriak, "Benar begitu Syadilla? Benar kamu yang mengambil uangku, hah?"

Sontak teriakan sang Bibi membuat Syadilla reflek mendongakkan kepala. Bibirnya melongo dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya. Kenapa sekarang justru dirinya yang difitnah?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab. 20 Saat Syadilla Menghilang

    "Ke mana perginya gadis buta si*lan itu? Sudah dua hari tak pulang?" Sani berkata dengan geram pada dirinya sendiri sambil terus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Elena yang duduk di kursi makan tak jauh dari ibunya, pura pura saja tak mendengar cuitan cempreng sang ibu. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Sementara kedua matanya yang bulat tak lepas dari layar hp di tangan kirinya.Baginya pekerjaan rumah adalah sama sekali bukan urusannya. Jadi tidak penting apakah ibunya ataukah Syadilla yang mengerjakan semua itu."Istriku, kamu jangan ngomel terus! Pusing kepalaku mendengarnya," Juang yang baru masuk ke ruang makan memprotes. Dari pintu sekat di ruangan itu, ia melihat istrinya sibuk bekerja sekaligus mengomel. "Apa mulutmu itu tidak capek?" imbuhnya.Seperti halnya Elena, dari tadi Juang hanya diam mengabaikan repetan Sani yang terus saja melaju seperti kereta. Kalau bukan karena cacing di perutnya yang sudah ikut berteriak minta diisi, malas sekali dirinya berjalan ke dapu

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 19. Anda Tuan Morgan?

    Syadilla mengangkat kepalanya. Heran. Bagaimana lelaki ini tahu tentang keluarga angkatnya. "Kamu mengenal Paman Juang?" ia pun bertanya dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya.Lelaki di depan Syadilla sebenarnya tak lain adalah Morgan. Orang yang sama, yang telah menyelamatkan gadis itu saat terjadi razia pedagang kaki lima sebelumnya."Itu tidak penting. Sekarang baiknya kamu segera menghabiskan makananmu. Buka mulutmu!""A - aku bisa melakukannya sendiri," Syadilla masih menolak membuka mulutnya saat ujung sendok di tangan lelaki itu menyentuh bibirnya. "Tapi sebelumnya aku ingin mandi membersihkan badan. Tuan, bolehkah aku...""Berjalanlah sepuluh langkah ke kanan dari ranjangmu, kamu akan menemukan kamar mandi. Aku akan keluar. Setengah jam lagi aku kembali. Patuhlah, habiskan makananmu!" Morgan menyambar ucapan Syadilla yang belum selesai. Setelah kalimat tersebut selesai diucapkan, tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang berjalan keluar, diikuti suara pintu kamar ya

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 18. Tuan Penyelamat Misterius

    "Berhentiii...!" teriakan melengking terdengar tepat saat mereka akan benar benar menekan pistolnya.Seperti dikomando, seluruh mata segera menoleh ke sumber suara. Nampak berdiri dengan tubuh gemetar, seorang wanita yang menutupi kedua telinganya. Wajah putihnya nampak semakin putih seperti kapas saking pucatnya. Melihat wanita yang berdiri, lelaki pemimpin rombongan untuk sesaat membeku. Satu tangannya kemudian terangkat memberi kode. Dan secara serempak seluruh anggota menurunkan senjata mereka.Lelaki pemimpin langsung menghampiri wanita yang tak lain adalah Syadilla. Ia mendapati Syadilla dengan wajah yang sangat pucat dan dipenuhi air mata. "Nona, maaf kami datang terlambat!" "A - aku..." belum selesai kalimat yang diucapkan, Syadilla jatuh ambruk dikarenakan tubuhnya yang semakin lemah. Dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sebelum tubuh Syadilla benar benar jatuh menyentuh tanah."Bawa Nona, dan tinggalkan dia!" perintah lelaki itu lagi sambil menatap tajam pada para bawahan

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 17. Lelaki Penculik VS Rombongan Misterius

    "Permisi, Nona! Aku disuruh seseorang untuk menjemputmu pulang!" Syadilla segera menghentikan aktifitasnya mencopot spanduk dagangannya kala seseorang menghampiri dirinya."Apakah Pamanku yang telah menyuruhmu?" setelah sejenak tertegun, Syadilla pun bertanya kepada orang itu."Hmm, benar. Pamanmu lah yang telah menyuruhku. Ayo, segera kita berangkat!" sahut orang itu sambil mendorong sedikit lengan Syadilla, dengan maksud agar gadis itu mengikutinya.Syadilla yang didorong tubuhnya, refleks mengikuti saja saat lelaki itu mulai membawanya berjalan keluar dari area pasar malam. Setelah berjalan kira kira dua puluh meter dari area pasar, mereka pun berhenti. Tepat di sisi sebuah mobil yang telah terparkir sebelumnya di sana."Nona, masuklah!" lelaki itu membuka pintu mobil."Mobil?" Syadilla tercenung. "Nona, cepatlah!""Eh, Tuan, mungkin Anda salah orang! Siapa nama orang yang Anda maksud, yang telah menyuruh Anda menjemputku?" tanya Syadilla memastikan.Bukan tanpa alasan Syadilla m

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 16. Perhatian Dan Ancaman

    Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 15. Antara Penipu Dan Gadis Kecil Yang Polos

    Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status