Home / Romansa / BIDADARI BUTA SANG PRESDIR / Bab 9. Kemarahan Bibi

Share

Bab 9. Kemarahan Bibi

Author: Mblee Duos
last update Last Updated: 2022-11-11 04:12:12

"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.

Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"

Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!"

"Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.

Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya.

"Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?"

"Tidak Elena, bukan begitu! Tolong jangan menuduhku dan mempengaruhi Bibi lagi, Elena! Aku sungguh tidak mencuri!" Syadilla menggelengkan kepalanya. Setitik air mata mulai jatuh tak tertahan lagi dari kedua matanya yang berkaca kaca semenjak tadi.

"Baiklah, akan kubuat kamu mengakuinya," Sani berkata datar dan berjalan cepat keluar kamar. Lalu kembali lagi masuk dengan sebatang rotan di satu tangannya.

"Kita lihat apa kamu masih berani dusta?" Sani mengayunkan rotannya dan berteriak, "Cepat akui perbuatanmu!"

"Baaaghh!"

"Tidak, Bibi aku tidak berbohong!" ratap Syadilla begitu rotan itu melayang dan mengenai lengannya. Seketika rasa perih tercipta karenanya.

"Baaagh!"

"Baaghh!"

Sani menyerang semakin membabi buta. Emosi membuat dirinya kalap hingga mendaratkan rotan itu tanpa ampun di tubuh Syadilla.

"Bibi, ampun! Sakit Bibi! Ampun!Hu hu hu..." jerit Syadilla pilu diiringi tangisan tak berdaya darinya. Kedua tangannya menutup kepala dan dadanya agar terhindar dari sabetan rotan.

Sementara, sepasang mata terlihat berbinar dan bibir yang tersenyum puas melihat Sani dengan brutal memuk*l Syadilla. Ya, Elena begitu senang sebab ibunya terprovikasi oleh perkataannya. Rasa senangnya ini semakin menjadi tatkala mendengar jeritan dan tangis Syadilla yang tergugu pilu. Seolah itu adalah sebuah lagu merdu di telinga Elena.

"Ha ha ha! Ha ha ha..." suara tawa yang sangat keras tiba tiba terdengar di dalam rumah. Membuat ketiga perempuan di dalam kamar itu tertegun dan menajamkan telinga mereka kemudian.

Sepertinya suara laki laki, dan itu sangat tidak asing. Begitulah kurang lebihnya yang ketiga perempuan itu pikirkan.

Juang!

Ternyata itu memang benar dia. Lelaki itu tertawa terbahak bahak masuk ke dalam rumah dengan cara berjalan yang sempoyongan. Bau alkohol yang pekat menguap dari mulutnya.

"Juang, kau mabuk?" cecar Sani melihat keadaan Juang yang pulang dengan keadaan demikian. Tapi Juang yang memang dalam kondisi mabuk malah sama sekali tak mengacuhkan pertanyaan Sani. Ia pun menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa begitu saja.

"Juang!"

"Baagghh...!"

Sani berteriak karena tak di respon. Ia memukulkan rotan di tangannya tepat di sisi sofa, tempat Juang duduk. Seakan sedang memaksa kesadaran lelaki itu untuk pulih.

"Ada apa kau berteriak Sani?" bukannya menjawab pertanyaan, Juang justru balik bertanya dengan suaranya yang berat. Lalu terdengar olehnya suara isakan tangis yang ia tahu adalah Syadilla. "Kenapa lagi dengan si gadis buta itu?"

"Aku menghajarnya dengan rotan. Ia berani mencuri uangku!"

"Ha ha ha..." tawa Juang semakin keras sebab penjelasan istrinya. Ia lalu berbicara ngelantur, "Bukan bocah buta itu yang mengambilnya. Tapi aku!"

"Hik..., kamu begitu pelit tiap kali aku meminta uang. Padahal sudah ku bilang, aku juga butuh kesenangan di luar," celoteh Juang dengan cegukannya yang sesekali terdengar. "Tapi jangan khawatir, aku hanya mengambil sedikit saja dari uang itu. Sisanya masih banyak kutinggalkan, bukan?"

"Sedikit, katamu? Apa yang sisa? Kamu telah mengambil semuanya!" raung Sani begitu marah mendengar pengakuan Juang.

"Aku berani bersumpah, aku hanya mengambil sedikit saja untuk membeli dua botol minuman,"

Meski Juang mabuk, tapi sebenarnya dia belum sepenuhnya mabuk, atau masih dalam sedikit kesadaran. Dan yang dikatakan olehnya adalah benar. Sebab bagaimanapun ia juga takut dengan kemarahan Sani bila sampai ia mencuri semua uangnya.

Braaaakkk!

Sani menghantamkan rotan dengan sangat keras. Membuat jantung siapapun yang ada di ruangan itu hampir copot karenanya.

"Juang, aku tidak mau tahu, kamu harus mengganti semua uang itu bagaimanapun caranya!"

"Istriku, a - aku..."

"Hu hu hu...! Ya Tuhan, kenapa nasibku begini sekali? Baru saja ingin sedikit senang mempunyai uang sedikiit lebih. Tapi suamiku ini sungguh tega sekali," Sani mulai meratap. Berbeda dengan sikapnya sebelumya yang selalu marah dan berteriak garang, kini ia justru nampak terkulai lemah. Berkali kali ia mengelus dada tanda menahan kesedihannya.

"Eh, Istriku, kamu jangan menangis seperti ini. A - aku minta maaf! Dan aku pasti akan mencarikan lebih banyak uang lagi untuk mengganti uangmu yang hilang. Percayalah!" kata Juang membujuk sang istri. Meskipun Sani sangat galak bagai singa betina saat marah, tapi sejujurnya Juang sangat mencintainya hingga tak tega melihatnya menangis.

"Ibu, sudahlah! Ayah sudah minta maaf dan berjanji mengganti uang Ibu. Jangan menangis lagi!" Elena menepuk pelan bahu ibunya. "Aku tidak suka melihat kalian bertengkar!"

Mendengar perkataan putri kesayangannya, seketika tangis Sani pun terhenti. Ia meremas lembut tangan Elana yang masih bersarang di bahunya, sambil mengangguk mengatakan, "Kamu memang anakku yang paling baik!"

Elena tersenyum mendengar pujian untuknya. Tapi, ekspresi di wajahnya terlihat sedikit aneh kala ia tersenyum tadi. Lalu, ia pun ingin menyudahi pembicaraan dengan ibunya dan berkata, "Ibu aku ingin kembali ke kamarku. Aku merasa lelah setelah seharian berjalan jalan!"

Elena pun berjalan meninggalkan ayahnya yang sudah mendengkur tertidur setelah mengatakan kata kata terakhirnya tadi, dan ibunya yang masih terduduk lemas di ruang tamu.

Sampai di kamar Elena langsung mengunci pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Satu tangannya merayap ke bawah bantal mencari cari sesuatu di sana. "Haha, dapat!" serunya sambil menarik sesuatu itu dari bawah bantalnya.

Bibir Elena tersenyum lebar kemudian memandangi puluhan lembar uang berwarna merah di tangannya. Uang yang telah membuat Syadilla harus merasakan sabetan rotan dari ibunya, sekaligus uang yang telah membuat ayah dan ibunya baru saja bertengkar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab. 20 Saat Syadilla Menghilang

    "Ke mana perginya gadis buta si*lan itu? Sudah dua hari tak pulang?" Sani berkata dengan geram pada dirinya sendiri sambil terus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Elena yang duduk di kursi makan tak jauh dari ibunya, pura pura saja tak mendengar cuitan cempreng sang ibu. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Sementara kedua matanya yang bulat tak lepas dari layar hp di tangan kirinya.Baginya pekerjaan rumah adalah sama sekali bukan urusannya. Jadi tidak penting apakah ibunya ataukah Syadilla yang mengerjakan semua itu."Istriku, kamu jangan ngomel terus! Pusing kepalaku mendengarnya," Juang yang baru masuk ke ruang makan memprotes. Dari pintu sekat di ruangan itu, ia melihat istrinya sibuk bekerja sekaligus mengomel. "Apa mulutmu itu tidak capek?" imbuhnya.Seperti halnya Elena, dari tadi Juang hanya diam mengabaikan repetan Sani yang terus saja melaju seperti kereta. Kalau bukan karena cacing di perutnya yang sudah ikut berteriak minta diisi, malas sekali dirinya berjalan ke dapu

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 19. Anda Tuan Morgan?

    Syadilla mengangkat kepalanya. Heran. Bagaimana lelaki ini tahu tentang keluarga angkatnya. "Kamu mengenal Paman Juang?" ia pun bertanya dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya.Lelaki di depan Syadilla sebenarnya tak lain adalah Morgan. Orang yang sama, yang telah menyelamatkan gadis itu saat terjadi razia pedagang kaki lima sebelumnya."Itu tidak penting. Sekarang baiknya kamu segera menghabiskan makananmu. Buka mulutmu!""A - aku bisa melakukannya sendiri," Syadilla masih menolak membuka mulutnya saat ujung sendok di tangan lelaki itu menyentuh bibirnya. "Tapi sebelumnya aku ingin mandi membersihkan badan. Tuan, bolehkah aku...""Berjalanlah sepuluh langkah ke kanan dari ranjangmu, kamu akan menemukan kamar mandi. Aku akan keluar. Setengah jam lagi aku kembali. Patuhlah, habiskan makananmu!" Morgan menyambar ucapan Syadilla yang belum selesai. Setelah kalimat tersebut selesai diucapkan, tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang berjalan keluar, diikuti suara pintu kamar ya

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 18. Tuan Penyelamat Misterius

    "Berhentiii...!" teriakan melengking terdengar tepat saat mereka akan benar benar menekan pistolnya.Seperti dikomando, seluruh mata segera menoleh ke sumber suara. Nampak berdiri dengan tubuh gemetar, seorang wanita yang menutupi kedua telinganya. Wajah putihnya nampak semakin putih seperti kapas saking pucatnya. Melihat wanita yang berdiri, lelaki pemimpin rombongan untuk sesaat membeku. Satu tangannya kemudian terangkat memberi kode. Dan secara serempak seluruh anggota menurunkan senjata mereka.Lelaki pemimpin langsung menghampiri wanita yang tak lain adalah Syadilla. Ia mendapati Syadilla dengan wajah yang sangat pucat dan dipenuhi air mata. "Nona, maaf kami datang terlambat!" "A - aku..." belum selesai kalimat yang diucapkan, Syadilla jatuh ambruk dikarenakan tubuhnya yang semakin lemah. Dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sebelum tubuh Syadilla benar benar jatuh menyentuh tanah."Bawa Nona, dan tinggalkan dia!" perintah lelaki itu lagi sambil menatap tajam pada para bawahan

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 17. Lelaki Penculik VS Rombongan Misterius

    "Permisi, Nona! Aku disuruh seseorang untuk menjemputmu pulang!" Syadilla segera menghentikan aktifitasnya mencopot spanduk dagangannya kala seseorang menghampiri dirinya."Apakah Pamanku yang telah menyuruhmu?" setelah sejenak tertegun, Syadilla pun bertanya kepada orang itu."Hmm, benar. Pamanmu lah yang telah menyuruhku. Ayo, segera kita berangkat!" sahut orang itu sambil mendorong sedikit lengan Syadilla, dengan maksud agar gadis itu mengikutinya.Syadilla yang didorong tubuhnya, refleks mengikuti saja saat lelaki itu mulai membawanya berjalan keluar dari area pasar malam. Setelah berjalan kira kira dua puluh meter dari area pasar, mereka pun berhenti. Tepat di sisi sebuah mobil yang telah terparkir sebelumnya di sana."Nona, masuklah!" lelaki itu membuka pintu mobil."Mobil?" Syadilla tercenung. "Nona, cepatlah!""Eh, Tuan, mungkin Anda salah orang! Siapa nama orang yang Anda maksud, yang telah menyuruh Anda menjemputku?" tanya Syadilla memastikan.Bukan tanpa alasan Syadilla m

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 16. Perhatian Dan Ancaman

    Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 15. Antara Penipu Dan Gadis Kecil Yang Polos

    Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status