***Hari telah berganti. Kami segera menuju ke kediaman ibunya Arga sepulang dari kantor. Mobil kulajukan dengan cepat sambil mengikuti arahan dari Dani. Namun, aku terkejut ketika Dani memintaku berhenti di sebuah rumah besar yang pernah kudatangi dulu. "Di sini, Dan?" tanyaku. "Iya. Ini rumah ibunya Pak Arga," jawabnya."Apa? Berarti ... yaudah kita turun aja sekarang!" ajakku. Perihal aku yang pernah mendatangi rumah ini satu tahun lalu akan kuceritakan kepada Dani nantinya. Saat ini aku perlu bertemu dengan ibunya Arga secepatnya. Kami turun dan mendapati penjaga di sana. Penjaga di rumah itu sepertinya sudah ganti karena berbeda dengan yang kutemui dulu. "Selamat sore, Pak!""Ya, selamat sore. Ada kepentingan apa?" "Kedatangan kami kemari untuk menjenguk Bu Yeni," kata Dani. "Maaf, tapi Bu Yeni tidak bisa diganggu.""Beneran saya tidak boleh masuk? Apa perlu saya telepon Pak Arga dan mengatakan bahwa saya tidak diizinkan masuk? Soalnya Pak Arga juga menitipkan ini untuk Bu
"Allea, aku Reno suamimu," kataku. Namun, Allea pergi menjauh."Allea! Ingat Arvin, Ansel, dan Afkar!" Aku terus mengejar Allea yang memasuki kamar. Dia mengunci rapat pintu sehingga aku tidak bisa membukanya. "Allea, tolong ingat bahwa kamu adalah istriku! Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.""Argh!" Dani mengerang karena tangannya digigit oleh Arga. Arga menghampiri dan hendak menghajarku, tetapi kutahan serangannya. "Jangan pernah merebut Lia dariku!""Seharusnya kamu sadar diri karena Allea adalah istriku," sahutku sambil terus berusaha menahan tangan Arga. "Dia sudah melupakanmu. Permintaannya untuk menghilangkan dirimu dari ingatannya sudah terkabul. Mau apa kamu sekarang, ha? Dia sama sekali tidak mengenalmu." "Meski dia tidak mengenaliku, tetapi dia adalah istriku. Aku akan tetap membawanya pulang.""Tidak akan bisa karena dia akan segera kunikahi.""Jangan bermimpi, Arga! Aku masih sah menjadi suaminya." Aku terkejut saat tiba-tiba penjaga menahan kami berdua. Kut
"Kamu yang gila!""Mbak Veni yang gila! Allea itu—""Stop! Berhenti menyebut nama Allea, Reno! Lupakan dan relakan! Allea sudah tena—""Mbak, dia masih hidup dan hilang ingatan!" sentakku sambil berteriak lantang. Entah kenapa susah sekali menjelaskan hal ini kepada manusia satu ini. Napasku masih memburu menatap Mbak Veni yang mendadak diam. "Hi–hilang ingatan?""Makanya kalau orang ngomong itu didengarkan sampai selesai. Jangan main potong!" sentakku kesal. Mbak Veni menggeleng pelan. "Itu nggak mungkin. Kalau memang Allea ada bersama Pak Arga, sudah pasti Pak Arga akan memberitahu Mas Bram dan aku. Nyatanya, dia tidak memberitahu apa-apa. Memang benar, ya? Kegilaanmu semakin tidak terkendali." Bibirku tersenyum miring. Rasanya percuma saja menjelaskan kepada Mbak Veni yang tidak tahu apa-apa. Kupikir dia akan percaya kepada adik kandungnya, ternyata dia masih tetap mempercayai rekan bisnis suaminya yang tidak jelas itu. "Dasar gila!" makiku lagi."Kamu yang gila! Kalau Mas Bram
"Pak! Saya serius mau membantu Pak Reno." "Saya tidak butuh bantuanmu," kataku menolak. "Pak Reno ingin bebas atau tidak?" "Kalau syaratnya seperti itu, lebih baik kamu pergi saja! Saya tidak suka berpura-pura seperti itu.""Pak Reno, saya serius dan tidak meminta berpura-pura. Pak Reno bisa bebas asalkan Pak Reno bersedia menikahi saya nantinya."Gila! Wanita macam apa dia? Memaksa seorang pria beristri untuk menikahinya. "Stres kamu, Mon!" "Bukan hanya bisa bebas dari sini. Saya juga bisa membantu mengembalikan pekerjaan Pak Reno. Apa Pak Reno nggak sayang sama pekerjaannya? Itu perusahaan besar, loh, Pak. Pak Reno sudah lama bekerja di sana.""Monica, cukup! Saya tidak akan tergiur dengan semua tawaran kamu. Masih banyak pekerjaan lain yang bisa saya dapatkan nantinya. Satu lagi, saya tidak akan pernah menikahi kamu sampai kapan pun. Dasar gila kamu!" kataku kesal. "Pak Reno yang gila. Pak Reno nggak bisa melihat wanita cantik di hadapan Pak Reno. Memangnya saya kurang apa? S
Tengah malam pun tiba. Namun, Bu Dewi tak kunjung menemuiku. Mbak Veni? Mungkin dia sedang bertepuk tangan atas kebahagiaan si bejat itu. Aku penasaran dengan reaksi Mbak Veni setelah mengetahui bahwa yang dinikahi Arga adalah Allea.Tubuh ini seperti mati rasa karena terlalu lama berbaring. Tidak apa, lebih baik aku tiada saja daripada harus melihat Allea menjadi istri orang lain. Esok, akan kuminta Mas Bram untuk menambahkan ikatan ini atau aku akan menyuruhnya menghabisiku secara terang-terangan.Lelah rasanya hidup di tengah orang-orang munafik. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Allea kala itu. Janganlah kita terlalu mempercayai orang lain meski itu saudara sendiri. Allea juga pernah mengatakan supaya kami tidak terlalu berharap kepada sesama manusia sekalipun itu sedarah sekandung. Meski tidak semua orang begitu, tetapi berjaga-jaga itu lebih baik. Dalamnya hati manusia tak ada yang tahu. Khawatir ujung-ujungnya akan mengecewakan seperti yang kualami.Tuhan. Ya, selama ini aku
(POV Allea)Nama itu seperti tidak asing. Reno, Arvin, Ansel, Afkar. Siapa mereka? Kenapa aku selalu menangis saat mendengar nama-nama itu? Sejak kedatangan pria itu di rumah calon mertua, hariku selalu gelisah. Entah kenapa pikiran selalu tertuju kepada mereka, padahal aku tidak mengenalnya.Mendekati hari pernikahan, perasaanku mendadak hambar kepada Arga. Mungkin aku terlalu banyak memikirkan pria bernama Reno itu. Berulang kali aku menyadarkan diri bahwa Arga adalah calon suamiku. Harusnya Arga yang ada di pikiran, bukan pria bernama Reno.Bu Yeni, calon mertuaku itu mendesak aku kembali kepada Reno secara tiba-tiba. Padahal, aku tidak mengenal siapa itu Reno. Entah kenapa Bu Yeni jadi membela pria itu. Sempat terpikir bahwa Bu Yeni tidak mengharapkanku sebagai menantu. Namun, saat itu Arga berusaha meyakinkan diriku dan mengatakan bahwa ibunya sedang di bawah pengaruh Reno.***Detik-detik pernikahan, pikiran semakin tidak karuan. Hati selalu gelisah. Entah perasaan apa ini. Ber
(POV Allea)Mataku berbinar-binar. Pria yang berprofesi sebagai ojek online itu mengetahui alamat Mas Reno. Beliau mengaku bahwa Mas Reno menyebar poster di mana-mana yang menyertakan alamatnya. Beliau segera memintaku naik ke atas motornya dan melakukan perjalanan. Namun, ada yang aneh ketika di tengah-tengah perjalanan."Loh, Pak? Ini kenapa?" tanyaku yang merasa motor ini meliuk-liuk.Motor berhenti dan kami pun turun. Ban motornya kempes. "Waduh, maaf! Bocor, Mbak," jelasnya.Aku melihat ban motor itu benar-benar kempes. "Ya sudah, kita cari bengkel ayo, Pak!" ajakku."Mbak nggak apa-apa menunggu ban ini ditambal?""Nggak apa-apa.""Mbak, bengkelnya jauh. Mbak tunggu di warung itu aja! Nanti saya kemari.""Nggak apa-apa saya temani! Mari saya bantu dorong! Jalannya nanjak begini, Pak," kataku.Kami segera pergi untuk mencari bengkel. Tidak masalah meski jauh, yang penting nanti aku sampai di rumah. Namun, baru beberapa saat berjalan, sebuah mobil sedan berhenti di samping kami. Du
"Terus gimana? Cuma ini tempat yang aman dari kejaran polisi," ucap Arga.Hah? Arga dikejar polisi? Kasus apa? Sungguh, aku masih bingung.Aku terus berjalan dan duduk di anak tangga. Rambut acak-acakan yang terus kumainkan dengan gaun putih yang kukenakan benar-benar mendukung sandiwara ini."Na na na ... hihihi ...."Mereka terus memperhatikan diriku. Penakut semua! Mereka tidak ada yang berani mendekat. Namun, seseorang yang memakai peci itu dilepas ikatannya dan perlahan berjalan ke arahku. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang diikat Arga tadi."Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.Aku tidak mengindahkan. Hanya kulirik sekejap lalu kembali memainkan rambut dan bersenandung."Keluar dari tubuh ini!"Aku menggeleng pelan. Namun, pria itu tiba-tiba memegang kepalaku. Dia membacakan doa kepadaku. Aku ini hanya pura-pura. Doa itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Aku ikuti saja doa yang dia bacakan. Sontak saja semua orang terkejut dan semakin takut.Arga? Nyalinya menciut. D