Share

BAB III - Penyelamatan Yang Tidak Semestinya

Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini.

Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin.

Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal yang sama denganku, sembuat jingga terlihat sangat menyilaukan seperti cahaya dari surga yang dikirimkan menuju ruang sempit, tanpa penerangan, dan lembab ini.

Saat sinarnya mulai menghilang, aku sudah tak bisa lagi melanjutkan bacaan yang hampir sampai pada penghujung babnya. Bagian yang dicetak tebal pun juga tak bisa nampak pada pengelihtanku. Walaupun seperti itu, aku terus menyipitkan pandanganku agar dapat membaca satu persatu kata dengan jelas.

“Kalau Rigell nggak selesai, Tante nggak akan makan,” ujarnya.

Kini aku semakin berfokus pada deretan huruf yang ada di depanku. Tanpa ada penerangan, aku terus merapalkan huruf-huruf yang kulihat. Bulir-bulir keringat mulai mengucur memenuhi wajah dan leherku, sebagai tanda bahwa aku bekerja sangat keras. Cahaya bulan yang juga masuk lewat angin-angin, sedikit banyak membantuku untuk membaca kata selanjutnya. Di tengah kegelapan ini, aku merasa semakin masuk pada apa yang ada di hadapanku.

Sampai pada akhirnya, aku sampai pada kalimat terakhir yang dicetak tebal. “Aku dikirimkan ke dunia oleh Tuhan sebagai bentuk hadiah dan hukuman bagi orang-orang yang lupa kepada-Nya

***

Setelah aku menyelesaikan tahap kedua dari buku ini, wanita berbaju merah tak mengatakan satu katapun padaku. Sebenarnya aku sangat berharap ia akan memujiku seperti sebelumnya, namun ternyata tidak sama sekali. Ia mulai bergeser dari tempatnya bersandar, dan mengambil mie yang tentu saja sudah sangat-sangat lembek dan tidak berasa itu.

Wanita berbaju merah mulai melahap makananya dengan cepat. Sesekali ia memandangku dengan alasan yang tidak pasti, dan malah membuatku bingung. Melihatnya makan sangat lahap membuat aku yang sebelas tahun merasa sangat bahagia, seakan mendapat hadiah setelah sukses mengerjakan ujian dengan baik.

Cup mie instan yang tadinya penuh sesak, kini telah kosong tak bersisa sedikitpun. Pasti kuahnya pun telah teresap pada mie, dan menjadikannya lembek seperti yang tadi kami makan. Wanita berbaju merah lagi-lagi masih belum membuka suaranya, bahkan kini ia kembali menatap ke arah angin-angin. Beberapa bintang terlihat terang dari celah sempit itu seakan ingin menyemangati, dan menghiburku. Atau bisa juga dikatakan untuk menghibur kita berdua.

Aku tak tahu pasti apa yang dipikirkan oleh wanita berbaju merah, pandangannya sangat sulit diartikan. Bisa juga karena aku masih terlalu muda untuk memahaminya. Salah satu bintang menarik perhatianku, Ia sangat bersinar di antara bintang-bintang lainnya.

“Rigell … tahu arti namamu?” tanya wanita berbaju merah secara tiba-tiba.

“Tidak.” Aku memperbaiki posisi dudukku yang sudah merosot, “Ayah tidak pernah mau memberi tahuku. Ayah hanya bilang itu nama salah satu bintang,” lanjutku.

“Karena dia bodoh, dan tidak tahu semua itu,” jawabnya. Wanita berbaju merah pun juga memperbaiki posisi duduknya, yang tadi melihat ke arahku, kini ia kembali bersandar dan memandang ke arah bintang di luar sana.

“Rigel bukan hanya bintang biasa. Rigel adalah bintang paling terang di malam hari yang diduga akan hidup selama puluhan tahun,” ujarnya. Aku pun ikut memandang ke arah yang sama, dan medengarkan ucapan wanita berbaju merah.

“Dia bintang yang ukurannya lebih besar dari matahari ….”

“HEBAT!” kataku yang memotong penjelasan dari wanita berbaju merah.

“Tapi, walaupun paling terang dan bahkan paling besar, dia bukan Alpha Orionis – bitang paling terang di rasi bintang Orion. Rigel adalah Beta Orionis – bintang paling terang ke-dua di rasi bintang Orion,” jelasnya.

“Hah? Bagaimana bisa?” tanyaku yang masih bingung.

“Karena kesalahan manusia dalam menggolongkannya ia menjadi nomor dua. Sangat menjengkelkan,” kata wanita berbaju merah. Aku memandangnya sesaat, wajahnya memancarkan aura yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tepatnya, ia terlihat sedih.

Aku tak pernah menyangka bahwa itu akan menjadi perbincangan terakhir kami. 

BRAKK … seperdetik dari aku melihat wanita berbaju merah sedih, wajahnya berubah seketika setelah suara itu muncul. Aku tak mengerti apa yang terjadi, wanita itu tak berbicara apapun dan segera bangkit dari duduknya menuju sumber suara.

Beberapa detik kemudian terdengar suara sirine yang kuduga sumbernya adalah mobil polisi. Aungannya semakin lama memenuhi telingaku dan membuatku merasakan sesak nafas. Muncul bayangan dua orang dari pintu menuju ruangan ini, dan tak lama dua orang pria berseragam polisi berlari menuju ke arahku. Mereka melepaskan ikatan kakiku dengan cepat, sementara salah satu diantaranya mengambil tas ku yang tergeletak di tanah.

“Adek luka di mana? Sekarang kita keluar ya,” ujar salah satu polisi yang hendak menggendongku.

Pandanganku berpindah ke arah novel yang tergeletak di sampingku, dan dengan segera mengambilnya.

Entah bagaimana, aku sudah digendong keluar dari ruang yang seharian ini menjadi tempat ternyamanku. Saat aku sampai di depan pun terdapat dua polisi wanita yang mengajakku ke dalam mobil untuk merawat luka-luka tanganku. Sedangkan aku sendiri masih saja bingung dengan kondisi yang secepat kilat ini.

Kerumunan mulai memadati rumah lusuh yang letaknya tak jauh dari rumah warga. Yang aku bingungkan kemana saja semua orang ini sampai tidak sadar ada anak kecil yang terkurung di dalam rumah itu.

Samar-samar aku melihat sosok ayahku di kerumunan, dan menyusup masuk ke rumah lusuh. “Ayah,” kataku sambil menunjuk ke arahnya.

Saat ini otak kecilku memikirkan banyak hal, seperti mengapa Ayah masuk ke dalam? Apakah Ayah tidak tahu aku sudah selamat? dan masih banyak lagi.

“Ayah, ke dalam,” kataku yang panik pada polisi wanita di sebelahku.

“Ayah? Ayahnya Rigel di rumah, hanya ada polisi yang ke sini,” jawabnya.

BOOOMMM … belum selesai aku menyakinkan mereka berdua, rumah lusuh yang tadinya gelap gulita kini telah berubah seperti api unggun raksaksa. Kerumunan yang ada di dekatnya berlarian, dan berteriak sekencang-kencangnya.

Nafasku mulai tak beraturan, bayangan dari kejadian hari ini seakan terputar kembali di pikiran. Mataku perlahan menjadi buram, dan hanya dapat melihat kobaran api yang ada di depanku. Jantungku terasa berat untuk berdetak, dan dalam hitungan detik akupun telah menghilang, yang tanpa aku tahu, semua kejadian ini akan hilang dari ingatanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status