Share

Bab 4

Valeri tengah duduk di counter dapur, mengamati Joshua yang sedang memotong daging dengan sangat terampil lalu memasakknya di atas penggorengan bersama beberapa siung bawang putih dan rosemary, saat ia bertanya;

"Josh, apakah vampir juga jatuh cinta?"

Pria itu menengadah, berpikir sejenak sebelum menjawab, "ya, aku juga memiliki kekasih. Kami bisa jatuh cinta pada siapa saja. Pada sesama jenis sekalipun."

"Benarkah?"

Joshua mengangguk, memindah potongan daging yang telah matang ke atas piring lalu meletakkan itu di meja untuk Valeri santap.

"Tapi aku tidak mengerti dengan Lord Luke," tuturnya kemudian.

"Memangnya ada apa dengannya?"

"Kontrak darah itu seharusnya tidak sampai dengan janji untuk menikahimu. Seharusnya dengan menghisap darahmu saja sudah cukup."

"Huh?" Kedua mata sabit Valeri membola. Jadi, semua itu tidak perlu? Lalu, jika demikian, untuk apa selama ini Luke mengumbar janji akan menjadikan Valeri sebagai pengantinnya?

"Vampir memang diperbolehkan berhubungan intim dengan manusia sesekali, tetapi vampir dilarang jatuh cinta kepada manusia."

Seketika itu, Valeri urung memakan potongan daging yang sudah berada di depan mulutnya. Ia meletakkannya kembali ke piring. Rasanya, ada sesuatu yang menohok ulu hatinya. Fakta bahwa Luke tidak mungkin jatuh cinta kepadanya telah menyakiti relung hatinya. Valeri memang selalu dibuat marah saat melihat wajah Luke yang memiliki ketampanan tidak rasional, tetapi ia tetaplah gadis berhati rapuh. Setelah diperhatikan sebanyak itu, bagaimana mungkin Valeri tidak jatuh hati padanya?

Pada vampir yang telah membeli jiwanya.

"Untukmu saja. Aku tidak berselera." Valeri mendorong kembali piringnya, membuat Joshua mengernyit heran. Namun sebagai bawahan Luke, ia memilih tidak ikut campur dengan bertanya lebih kepada Valeri. 

Ia hanya berdiri mematung, mengamati Valeri yang beranjak pergi dari dapur.

***

Sudah dua hari Valeri mengabaikan Joshua. Dua hari pula ia tidak pergi ke sekolah dan memilih mengurung diri di kamar. Joshua sudah berulang kali membujuknya dari balik pintu, tetapi Valeri justru menyuruhnya pergi. Jadi untuk kesekian kalinya, Joshua kembali menuruni tangga dengan raut kecewa.

"Apa yang terjadi?"

Luke datang melewati portal teleportasi berupa bercikan bara api. Langkahnya langsung tertuju pada Joshua yang membawa turun nampan dengan sajian utuh tak tersentuh.

"Sejak kepergian Lord, Nona mengunci diri di kamar dan menyuruh saya berhenti menyajikan makanan," jawab Joshua apa adanya.

"Ck! Pergilah. Aku akan mengurusnya." Luke berdecak kesal. 

Setelah memerintah Joshua agar pergi, ia buru-buru menuju kamar Valeri. Menembus pintunya dalam sekali langkah.

"Ada apa denganmu?"

Valeri tak berkutik meski suara husky itu membuat hatinya bergetar. Ia sedih, sangat. Dari seluruh makhluk di dunia, hanya Luke yang dia miliki. Satu-satunya sosok yang ia percayai dan yang tak mungkin mengkhianati dirinya, dan yang membuatnya hidup bahagia tanpa penderitaan selama setahun ini. Yah, walau saat fase bulan mati ia tetap menderita, sih.

Luke naik ke atas ranjang, mengusap lengan atas Valeri lalu mengecup lembut pipinya. "Apakah istriku sedang merajuk?"

Valeri berdecak. Ingin rasanya ia tarik gigi taring Luke hingga terputus. Biar dia tahu rasa. Valeri kesal. Sebutan istri kini terdengar semakin menjengkelkan di telinganya.

"Pergi." Ia berujar parau. Semalaman menangis membuat suaranya nyaris habis. 

Tetapi Luke tidak pergi, ia justru menggelitiki tubuh Valeri hingga gadis itu menggelinjang kegelian. Dalam tawa ia masih merasa sangat kesal. Itu juga yang membuatnya mendorong tubuh Luke sekuat tenaga lalu menduduki perutnya. Memukuli dada bidangnya penuh dendam yang membara.

"Pergi! Pergi! Pergi! Aku membencimu! Luci jelek!!"

Luke tertawa keras. Yang paling lucu dari Valeri adalah eyeliner yang meleleh mengotori wajahnya. Menjadikan pipi putihnya menghitam. Astaga! Perut Luke bisa kram jika terus tertawa seperti ini.

"Berhenti menertawaiku, brengsek!!" Valeri mendengkus sebal. Heran saja, dari sekian banyak vampir di dunia, kenapa harus Luke yang terpanggil olehnya?

"Ah, sudahlah. Ini hari minggu. Apa kau tidak ingin keluar jalan-jalan?" Luke terengah-engah dalam kalimatnya. Tapi kata jalan-jalan itu sepertinya memang cukup menggoda untuk Valeri.

Buktinya, meskipun masih dengan bibir mengerucut seperti bebek, Valeri sudah tidak memukuli dada Luke lagi. Kini, dua tangannya terlipat di dada.

"Dengan syarat."

Bibir cemberut Valeri dicubit oleh Luke, membuat gadis itu reflek memukul tangan besarnya. Namun kemudian tersenyum misterius saat Luke bertanya, "syarat apa?"

"Kau harus menuruti semua kemauanku."

Yah, tidak sulit. Luke bisa melakukan banyak hal. Ia hanya perlu menjetikkan jari beberapa kali dan semua akan beres. Sebagai gantinya, Valeri harus siap disedot habis darahnya -lagi. Menarik.

Luke menawarkan jemari kelingkingnya. "Setuju." 

***

Atau mungkin tidak. Luke rasa ia harus menyesali persetujuannya sendiri. Kini harga dirinya sebagai vampir tidak lagi direndahkan oleh Valeri, namun juga di ludahi, diremas, dan dibuang ke tong sampah.

Bagaimana tidak? Memakaikan bando bertelinga kucing dan membelikan Luke gula-gula besar di taman hiburan rupanya tak cukup untuk Valeri. Kini, Luke dihadapkan dengan sesuatu yang membuatnya menelan ludah susah payah.

Roler Coaster.

"Aku pulang saja." Luke berbalik, hendak kabur secepat mungkin namun Valeri menarik celananya hingga nyaris melorot, membuatnya berdecak kesal.

"Jangan katakan calon raja vampir takut pada Roler Coaster," tutur Valeri merendahkan.

"What? Aku takut menaikinya? Haha! Jangan bercanda, Val." Luke bertolak pinggang. Tidak terima jika harus mengorbankan harga dirinya sekali lagi.

Valeri menatapnya lekat, kedua tangannya terlipat di dada, dan satu kakinya mengetuk-ketuk tanah. Seakan tidak sabar, atau tengah menikmati pemandangan dimana Luke sedang bergelut dengan harga dirinya.

"Ok! Ayo naik! Akan kubuktikan bahwa aku tidak takut!" Detik selanjutnya, gadis yang tampak santai dan trendi dengan sepasang celana dan jaket jeans serta kombinasi kaos dan sepatu putih di tarik tangannya oleh Luke. Diarahkan ke wahana yang bagi Luke mengerikan itu.

"AAAAARRRGGGHHHH!!! IBUUU!!! AKU MATIIII!!! AAAAARRRGGGHHH!!!"

"HAHAHAHA!!" Valeri tak henti-hentinya tertawa hingga kerongkongannya mengering. Sedari tadi ia mengamati Luke yang memejamkan mata dan berteriak heboh karena ketakutan.

Sementara Valeri sendiri tak memiliki ketakutan sedikitpun pada wahana ini. Dulu, keluarganya adalah pemilik taman hiburan terbesar di New York. Jika tengah sedih atau marah, Valeri akan menaiki Roler Coaster dan berteriak sekencang-kencangnya. Dengan begitu, paling tidak sedikit bebannya akan terangkat.

Selepas bermain Roler Coaster, Luke tidak dapat menahan diri untuk tidak muntah-muntah. Valeri bahkan harus memijat tengkuknya.

"Vampir payah." Valeri menggumam.

"Diamlah, pendek."

"Aku tidak pendek!"

Luke menoleh sengit, mengusap permukaan bibirnya dengan lengan jaket jeans serupa milik Valeri lalu menegakkan tubuh yang sempat membungkuk. Ah, mereka tampak serasi dengan pakaian senada. Seakan sepasang kekasih yang sesungguhnya.

"Lalu jika bukan pendek, apa? Kerdil?" Luke memperpendek jaraknya dengan Valeri, membuat gadis berukuran 160 cm itu mendengus karena harus mendongak. Hey, Luke itu hampir dua meter, by the way.

"Ingat janjimu? Kau harus menuruti semua keinginanku."

Luke berdecak kesal. Ia paling lemah jika soal keinginan Valeri. "Kali ini kau mau apa lagi?"

Dalam satu lompatan, Valeri naik ke punggung Luke. Nyaris saja pria jangkung itu oleng karena tidak siap. Namun saat Valeri memeluk lehernya, Luke tersenyum hangat.

"Gendong aku sampai rumah," titah Valeri, dan Luke mengabulkannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status