Share

Bab 2

Pagi ini Valeri sambut dengan gigil yang merundung diri laksana derai hujan memeluk bumi. Selalu seperti ini setelah darah dalam tubuhnya terkuras habis. Ia meringkuk memeluk diri, di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga seleher. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya biru, nyaris menghitam.

Suara pintu terbuka menginterupsi, Luke datang membawa nampan berisi steak daging sapi yang bisa ditafsir seberat satu kilogram. Juga seteko tinggi susu murni. Valeri menggerakkan hidungnya. Mengendus aroma makanan yang sangat ia butuhkan saat ini.

"Morning." Suara husky menyapa lembut di telinga. Valeri lekas-lekas bangun. Tanpa basa-basi merampas isi nampan. Melahap rakus menu sarapan paginya.

"Pelan-pelan." Luke mengambil tisu, lalu mengusap dagu Valeri yang dikotori saus dan minyak dari steak.

Tangan lentik yang bergetar itu beralih pada teko tinggi yang dipenuhi cairan putih. Menenggaknya cepat-cepat sambil memejam mata. Valeri tidak suka susu murni. Rasanya menjijikkan.

Luke tersenyum puas. Setelah Valeri menghabiskan sarapan paginya, ia menyeka tubuh gadis itu dan mengganti pakaiannya.

Valeri menghela napas lelah. Tatapan nyalangnya menembus dinding kaca.

"Menurutmu, apa aku bisa menemukan mereka?" tanya Valeri pada pria yang kini duduk di sampingnya, mengecup lengan dan jemari lentiknya.

"Siapa?"

"Kau tahu siapa yang kumaksud."

"Aku tahu dimana mereka. Katakan yang kau inginkan."

Valeri menghela napas lagi, lalu menoleh menatap Luke dalam-dalam. "Aku berharap tidak memiliki hati sepertimu. No feeling, no hope, no hurt."

Valeri memejamkan mata, merasakan telapak tangan Luke yang mampir di wajahnya.

"Manusia tidak bisa hidup tanpa hati."

Kekehan Luke terdengar, menertawai Valeri yang merengut. Lalu membawa kepala gadis itu ke dadanya. Valeri memiliki banyak keinginan. Selain membalas dendam, ia yakin Luke bisa  mengabulkannya. Semua kekayaan yang ia miliki saat ini contohnya. Namun mengingat kembali deritanya tadi malam membuatnya gentar. Tidak, biarkan saja itu menjadi sebatas angan saat ini. Valeri hanya belum siap.

***

"INI VALENTINE DAY, LUCI!! AKU MAU COKELAT!!"

Luke memijit pelipisnya yang mendadak pusing. Beberapa jam lagi, pagi akan tiba saat Valeri menerobos ruang pribadi Luke dan menduduki tubuh Luke yang terbaring di tempat tidur. Luke memang seperti itu. Setelah kenyang oleh darah majikannya, ia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur.

"Diamlah, pendek. Ini hari santaiku. Jangan menganggu!" Suaranya parau, matanya enggan terbuka. Sepertinya ia kekenyangan. Memang benar, seharusnya ia hanya cukup meminum darah Valeri beberapa teguk, namun Luke selalu saja menyedotnya hingga nyaris habis. Ia bilang darah Valeri itu manis, dan ia menyukainya.

"Ayolah Luci!!" Valeri mengungcang-guncang tubuh Luke, membuat pria tinggi itu kesal, terutama pada pannggilan yang memuakkan.

Luke menarik selimut hingga menutupi wajah. Berharap Valeri akan menyerah, namun itu benar-benar bukan gaya Valeri. Ia justru meneriaki telinga Luke dengan lantang. "LUCI!!!"

"WHY?!" Luke berteriak tak kalah kerasnya. Ia juga seketika melompat dari tidurnya, sudah terlalu geram. Namun hal itu membuat tubuh Valeri yang duduk di atasnya limbung. Gadis itu sempat menarik pakaian Luke saat hampir terguling dari tempat tidur. Sehingga pria jangkung ikut terjatuh dari tempat tidur dan menimpa tubuh Valeri.

"Tak perlu merona seperti itu," kekeh Luke melihat wajah Valeri menjadi semerah tomat. Lalu mengecup bibir ranum gadis itu dengan singkat.

"Coklat." Valeri merengek seperti anak kecil lucu.

"Ini coklat," tutur Luke lalu mengecup bibirnya lagi.

Valeri geram bukan kepalang. Luke suka sekali mempermainkannya. Membuat Valeri selalu ingin memaki dirinya, namun sayangnya itu justru membuat vampir itu merasa senang.

"BERHENTI MENCIUMKU VAMPIR MESUM!! SEKARANG BELIKAN AKU COKLAT DI SUPERMARKET!!" teriaknya murka sampai-sampai Luke menutup rapat kedua bola mata. 

"Kenapa harus ke supermarket jika aku bisa menyihirnya?"

"KARENA AKU TIDAK MAU MAKAN COKELAT HANTU! AKU MAU COKELAT SUNGGUHAN!!"

***

Luke mendengkus sebal. Ditatapnya lagi kantong plastik besar berisi beberapa cokelat, es krim, camilan, bahkan dengan tega Valeri memasukkan pembalut dan alat kontrasepsi dalam daftar belanjaan ala manusia Luke malam ini. Ia tengah berpikir keras, untuk pembalut, Luke masih bisa maklum. Tapi alat kontrasepsi? Gadis itu benar-benar mengerjainya. Maksud Luke, mereka bahkan belum pernah melakukan hubungan intim. Jadi untuk apa membeli benda seperti itu?

Sebenarnya, Luke memang berkeinginan melakukannya. Bagaimanapun ia adalah seorang monster yang tidak mengenal Tuhan, kandidat utama raja vampir. Ia jelas menyukai hal-hal tercela seperti zina, membunuh, dan sebagainya. Namun sesuai perjanjian, Valeri melarang Luke melakukan itu kepadanya sebelum mereka menikah. Luke sempat memprotes pada awalnya, tapi karena Valeri menjadikannya daftar keinginan maka Luke tidak bisa menolaknya.

Dalam perjalanan pulang, Luke melihat sekelebat bayangan hitam menyeberangi jalan. Ia tahu ia sedang diincar. Namun saat ia tengah bersiap menanti beberapa orang yang mengintainya menampakkan diri, Valeri tiba-tiba menelepon.

Luke menggumam setelah menggeser tombol hijau di poponselnya lalu menempelkan benda pipih itu di telinga. Sementara mata phoenixnya begitu awas melirik sekeliling.

"Kau dimana?"

"Di jalan."

"Berlarilah."

"What?" Luke menghentikan langkah. Paling tidak ada enam orang berpakaian serba hitam tengah mengepungnya.

"Supaya kau lebih cepat sampai. Aku sudah tidak sabar," ucap Valeri di seberang telepon.

Luke memutar tubuh, menghadiahkan tendangan di rahang, dada dan betis mereka secara bergantian.

"Sepertinya aku akan terlambat."

"Hey! Tidak bisa seperti itu. Kau akan membiarkan es krimku meleleh?"

Kali ini, Luke harus berkelit kesana kemari, menghindari panah hitam beracun yang berusaha menghujani dirinya.

"Aku tidak punya pilihan lain." Luke menyeringai. Ia tahu siapa yang tengah mengincarnya. Seseorang yang berhati dingin yang sayangnya adalah adik termuda. Salah satu dari 11 saudara vampir ambisius lainnya yang mendamba kedudukan Luke.

"Tidak bisa! Pulang sekarang atau kubunuh kau!"

"Astaga, istriku. Kenapa kau manis sekali. Kau merindukanku, ya?"

Luke menjatuhkan kantong belanjanya ke tanah. Tangan Luke menghitam, kuku-kukunya pun memanjang. Secepat embus angin ia melesat, merobek dada enam pria yang tak juga mau menyerah secara bergantian. Mereka tidak mati, namun luka di dada mereka cukup serius sehingga lutut mereka jatuh ke tanah. Mengerang kesakitan.

Lalu dengan ringan, Luke melanjutkan percakapannya di telepon. "Kau tahu, sayang? Kurasa alat kontrasepsi saja tidak cukup. Jadi kurasa aku harus membeli pelumas juga." ia menggoda Valeri. Membalas kejahilan gadis itu. 

"Brengsek kau!"

Luke tertawa kecil mendengar umpatan terakhir Valeri sebelum mengakhiri panggilan. Lalu wajah tampan itu berubah diktator saat beralih menatap enam pria bergantian. Ia melangkah lebih dekat, tatapannya syarat akan ancaman yang tak main-main.

"Katakan pada Sean. Jika dia benar-benar pria, temui aku sendiri. Jangan menjadi pengecut dengan bersembunyi dibalik vampir kelas rendah seperti kalian."

Keenam pria itu gemetar ketakutan. Berhadapan dengan Luke memang lebih baik mati kalah daripada diampuni namun dihantui oleh tatapan pembunuhnya.

Selesai mengatakan itu, Luke beralih pada kantong plastik yang sempat ia lupakan sejenak.

"Ck! Valeri pasti mengomeliku lagi." Ia menggerutu sembari mengecek beberapa es krim yang sudah mulai meleleh.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status