Share

Sepasang Pengantin

Tubuh indah Amira terus terbawa derasnya air sungai. Taksaka mengubah wujudnya menjadi harimau. Ia berlari dan melompat mengikuti deras air sungai. Beberapa kali Amira meminta tolong. Namun, tidak ada yang berani. Dia dalah pilihan sang prabu. Tidak ada lelaki manapun yang boleh menyentuhnya.

Aliran air sungai telah tenang, dan kini terus berjalan memasuki sebuah anak sungai kecil yang menuju istana bagian belakang. Di sana dua orang dayang perempuan telah menunggu Amira. Gadis itu naik dari sungai. Ia tidak pingsan sama sekali hanya syok berat saja.

“Ya ampun airnya dingin banget.” Amira menggigil kedinginan.

Sampai di belakang istana, Taksaka menghilang dan kembali ke sisi Gusti Prabu. Lelaki yang menggunakan kain serba putih itu sedang menunggu permaisurinya tiba.

Amira melihat sekeliling. Tempat yang ia pijak sekarang sangat kolosal. Dan ia bingung harus bagaimana. Gadis cantik itu melihat dua orang dayang, lalu menghampirinya.

“Buk, boleh nanya nggak? Saya di mana ya sekarang?” tanya Amira, tetapi dua orang dayang itu tidak berani menjawab.

“Duh, kok, pada diem aja, sih. Jawab donk!” Amira meninggikan suara. Seketika dua dayang itu duduk bersimpuh. Amarah sang permaisuri berarti sama dengan amarah sang prabu.

“Aneh banget, sih,” ucap Amira. “Coba kalian ngomong, punya mulut, kan?” Gadis itu kedinginan dan kelaparan jadi dia mudah terbawa emosi.

“Hamba berdua hanya dayang, Gusti Ratu. Gusti Prabu sedang menunggumu, tapi ganti dulu baju dengan ini karena baju yang Gusti Ratu gunakan sekarang sangat tidak elok dipandang,” jawab salah satu dayang.

“Gusti Ratu, Gusti Prabu?” Amira merasa keheranan.

“Benar, Gusti Ratu. Gusti Prabu sudah menunggu, silakan diganti kainnya. Ini sutra terbaik dari kekasihmu.”

“Eh, apa aku terperangkap dalam syuting dadakan ya?” Amira garuk-garuk kepala. “Ya, udah, deh, coba. Sutra bok, mehong.” Amira mengganti bajunya di sana, setelah para dayang membalikkan tubuh. Tidak ada kamar mandi kata mereka. Namun, tidak ada juga satu pun yang berani mengintip.

Tanpa sadar Amira melupakan peristiwa kematian Roni dan tiga temannya yang ingin memperkosanya tadi.

“Keren beud, halus banget ini kainnya.” Amira sudah menggunakan kain serba putih yang membuat dirinya cantik berkali-kali lipat.

“Gusti Ratu, maafkan hamba. Izinkan hamba mengatur rambutmu. Agar engkau semakin cantik di depan Gusti Prabu.” Dayang mendekat, Amira mengangguk saja. Kemudian dia dibawa ke dalam sebuah kamar yang sangat megah. Ranjangnya bertaburan bunga-bunga segar.

“Ini syutingnya serius, beud. Apa adaptasi dari novel-novel online gitu, ya?” Amira belum sadar dia ada di mana dan akan dijadikan apa.

Rambut Amira yang memang halus telah dirapikan lurus begitu saja. Sebuah bunga diletakkan di telinganya sebelah kanan. Tandanya dia siap untuk Gusti Prabu saat ini juga. Amira dibawa menghadap sang harimau putih penguasa Gunung Kalastra. Gadis cantik itu menurut saja karena ia merasa bahwa semua ini hanya demi konten saja dan ia terlibat. Padahal dari tadi tidak ada kamera sama sekali.

“Gusti Ratu Amira.” Semua penghuni istana memberi hormat. Gadis itu terus melangkah. Sepanjang jalan ia hanya melihat laki-laki tanpa menggunakan baju bagian atas. Hanya kain berwarna kuning yang dililit dari pinggang sampai ke bawah lutut.

“Ini kayaknya bukan syuting, deh?” ujar Amira lagi.

Kini dua matanya bertatapan dengan Gusti Prabu Abhiseka. Tatapan mata harimau putih itu membuatnya jatuh lemas di lantai. Tak kuat manusia biasa berhadapan. Jangankan dengan Gusti Prabu sendiri dengan dua pengawal bahkan rakyat biasa saja tak ada yang mampu.

“Aku akan ke kamar dengannya. Kalian berjagalah seperti biasa. Gusti Prabu Abhiseka berdiri. Lelaki berapakaian serba putih itu membantu Amira berjalan. Tidak ada bantahan sama sekali dari gadis cantik itu. Ia terpenjara oleh janji sendiri. Bersedia menjadi kekasih siluman di Gunung Kalastra.

“Permaisuriku, apa kau tidak apa-apa? Apa aku terlalu menyeramkan bagimu?” tanya sang prabu ketika sudah sampai di kamar pengantin. Amira menggeleng saja, ingin bicara pun bibirnya terkunci rapat.

“Aku menyelamatkanmu dari para begundal jalanan itu. Dan aku menagih janjimu, kau bersedia menjadi permaisuriku dan tinggal di sini selamanya, bagimana, permaisuriku?” Gusti Prabu membelai rambut halus Amira, terasa menyengat sampai ke lubuk hatinya.

Lagi-lagi gadis itu tak bisa mengelak. Mata manusia biasanya tidak bisa menampik kalau penguasa Gunung Kalastra sangat gagah dan menawan. Justru darah muda Amira menggelegak ingin segera berduaan dengan sang prabu.

“Aku paham maksudmu. Artinya kau siap, bukan?” Sang prabu memastikan sekali lagi. Sebab Amira masih perawan tak tersentuh. Jelas sekali untuk pertama kali akan terasa sakit luar biasa.

Gadis yang terpenjara dalam janjinya sendiri itu hanya mengangguk saja. Bahkan bibirnya sudah mulai terbuka, ia yang mulai tak sabaran. Gusti Prabu menyambutnya. Sang penguasa Gunung Kalastra memberikan pengalaman yang sangat indah dan pertama kali bagi Amira.

Tanpa rasa malu Amira memeluk rajanya. Ia tak takut apalagi canggung, sudah kadung basah ya sudah mandi saja sekalian. Satu demi satu helaian kain sepasang raja dan ratu itu terlepas. Mereka melakukan ritual suami istri di atas ranjang sang prabu.

Amira menjerit ketika dirinya merasa tersakiti. Jeritan itu jelas sekali sampai di telinga Taksaka dan Cabrakbuana. Namun, mereka berdua harus patuh pada sang raja. Keduanya tidak memiliki istri atau hal semacamnya. Kesetiaan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Dua manusia harimau itu hanya menarik napas panjang ketika darah mereka kian panas. Selagi belum ada titah dari sang raja untuk mereka menikah, maka tidak akan mereka lakukan sama sekali.

***

Tubuh Amira lemah tak berdaya usai melayani sang prabu. Ia tertidur lelap dan diselimuti oleh kain sutra halus di dalam kamar Abhiseka. Manusia harimau putih itu sendiri merasa segar bugar usai mendapatkan semuanya dari Amira. Abhiseka melilit pinggang sampai ke lututnya dengan kain putih. Ia keluar kamar dan disambut oleh dua pengawalnya.

“Dia sudah menjadi permaisuriku, dia akan tinggal di sini selamanya. Tidak boleh kembali pada orang tuanya.” Titah lagi yang keluar. Gunung Kalastra akan mejadi penjara abadi bagi Amira.

Gusti Prabu Abhiseka pergi mandi ke sendang pribadi hanya untuknya, dan tentu saja sang permaisuri yang boleh masuk ke sana. Sayangnya, Amira sedang lemas, tubuhnya tak berdaya karena dimanjakan dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Awalnya dia memang kesakitan, tapi akhirnya Amira menikmati semua permainan. Bahkan sampai ke titik puncak kepuasan. Pengalaman pertama yang sangat berkesan bagi gadis itu, dan tak akan ia lupakan sampai kapan pun.

“Aku ngapain tadi, ya?” tanya Amira ketika sudah bangun. Ia mencoba bangkit tapi sekujur tubuhnya terasa lemas. Mungkin kalau Gusti Prabu Abhiseka tadi tak bisa mengontrol emosi tulang Amira sudah patah saking gadis itu terlihat seperti mangsa yang menyerah di dalam pelukannya.

“Yang tadi mimpi apa nyata sih?” Amira berusaha bangun lagi. “Oh my god, sakit banget badanku. Aku di mana ini?” Amira berusaha mengingat-ingat peristiwa yang baru saja ia lewati.

“Nggak, nggak, nggak mungkin kalau yang tadi nyata. Ini pasti mimpi, kan. Ini cuman prank aja.” Gadis cantik itu berjalan tertatih. Kakinya serasa lemas sampai ke ujung jari. Sisa-sisa sentuhan sang prabu masih menghantuinya.

“Kalau beneran, Mama, Papa, jemput Amira pulang.” Sang permaisuri yang sudah terpenjara menyebut kedua orangtuanya. Sudah tiada guna lagi. Ia akan menjadi pendamping sang prabu sampai tutup usia nanti.

Beberapa dayang kemudian datang. Mereka memapah tubuh lemas Amira. Wanita itu menurut dan diam saja. Ia dibawa ke dalam sendang di mana sang prabu telah menunggu di sana. Abhiseka kemudian menyuruh dua pengawal setianya untuk berjaga dari kejauhan saja.

Para dayang memberikan Amira minum air yang sangat segar. Seketika gadis itu menarik napas panjang. Air itu sangat segar dan langsung memberikannya tenaga tambahan luar biasa. Tubuh Amira tak lagi lemas dan pikirannya mulai bekerja.

“Oh, jadi tadi itu bukan mimpi. Aku beneran hilang keperawanan gara-gara dia,” ucap Amira lalu Abhiseka mendekat ke arahnya. Amira sedikit takut dan ingin naik dari sendang. Namun, tangan sang prabu telah meraihnya lebih dulu, hingga keduanya kini terlihat seperti mandi bersama.

“Kau baik-baik saja. Maaf kalau aku terlalu gegabah, kau terlalu menggoda sebagai wanita. Kau seperti bidadari yang turun dari kahyangan.” Abhiseka membelai rambut Amira yang basah. Lagi wanita itu terlena. Mata adalah bagian yang sangat berbahaya dari manusia harimau, selain cakar dan kuku.

“Baik, tapi kamu siapa sebenarnya?” tanya Amira, ia memang lemas tapi masih bisa mencari tahu siapa lelaki di depannya.

“Aku sudah jadi suamimu sekarang?”

“Bohong, kita nggak ada pesta nikah sama sekali. Kamu siapa?” Amira tidak marah hanya saja butuh kejujuran.

“Tadi itu malam pengantin kita, Permaisuriku. Apa kau masih ingin mengulangnya lagi agar kau percaya sudah menjadi istriku?”

“Emang boleh?” Wanita itu sudah jatuh dalam kedigdayaan sang prabu.

“Untukmu apa yang tidak boleh, Sayangku. Gunung ini milikku juga artinya milikmu. Kau bisa memerintah semua yang ada di dalam sini sama seperti yang aku lakukan. Aku senang kau menepati janjimu. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu, istriku.” Abhiseka mengecup tangan dingin Amira.

Paham kalau istrinya tidak tahan dingin, Abhiseka membawa Amira naik dan lekas ke kamar. Permintaan Amira barusan adalah hal kecil yang bisa dikabulkan oleh seorang raja yang sakti mandraguna seperti dirinya.

“Janji, ya, nggak akan ninggalin aku. Kalau kamu ingkar janji, aku akan benci kamu sampai mati!” Amira meminta penegasan dari suaminya.

“Aku berjanji. Bahkan aku rela mati demi kau.”

Tidak akan bisa diingkari kalau tidak mau mati mengenaskan dengan cara tercabik-cabik oleh para dewa yang murka.

Amira tersenyum lebar, ia yang sudah terbuai dengan Abhiseka kembali menyerahkan dirinya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Amira akan benar-benar tinggal di Gunung Kalastra atau Abhiseka akan memenuhi janjinya?

bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status