Share

Jangan Asal Bicara

Pagi menjelma di Gunung Kalastra. Terasa dingin sangat luar biasa sampai menusuk tulang. Amira tidur dengan menggunakan baju serba panjang, ditambah dengan kaus kaki dan tutup kepala. Jangan lupakan pengawasan Taksaka di atas batu, tanpa berpaling sama sekali. Manusia harimau itu senantiasa patuh pada perintah Gusti Prabu.

“Kok sepi banget, pada ke mana yang laki-laki?” Amira keluar dari tenda. Ia menoleh ke sekeliling. Tiba-tiba saja dia menoleh ke batu besar itu lagi. Rasanya tadi ada lelaki yang memperhatikannya.

“Perasaan aku aja kali, ya. Tapi kata orang-orang gunung ini, kan, emang keramat. Keramat apaan cobak. Zaman modern gini masih percaya mitos? Banyak siluman gitu. Kalau ganteng nggak apa-apa, sih. Aku pacarin sekalia. Aku putusin Roni sekarang jugak,” ucap Amira takabur lagi.

Taksaka hanya menghela napas saja. Gadis itu seperti mempersilakan Gusti Prabu Abhiseka untuk menjamah dirinya. Tawaran tadi terlalu nyata dan terang benderang. Lelaki yang sedang kedinginan dan baru saja kehilangan pasangan tentu akan menyambutnya dengan suka rela.

“Amira, udah bangun!” Roni datang dari arah berbeda. Ia membawa perlengkapan mandi.

“Udah baru aja. Kalian dari mana? Kok, nggak ngajakin?” tanya gadis cantik itu.

Dia baru bangun saja masih terlihat menawan. Kulit putih dibalik baju tebal. Rambut panjang yang terawat. Serta wajah tanpa satu titik pun dosa. Wajar jika Roni terbuai, Gusti Prabu Abhiseka saja bisa terpikat, bahkan sudah mulai mempersiapkan malam pertama di dalam kamar yang dulu dihuni bersama sang permaisuri.

“Kami habis mandi. Di air terjun sana. Seger banget airnya,” jawab Roni.

Tadi malam aksi mereka gagal. Jadi mereka berempat meredam nafsu dengan berendam seharian. Tentu saja pagi ini bangkit kembali melihat Amira sudah sadar.

“Aku juga mau mandi, donk. Tungguin,” rengek Amira pada Roni. Kesempatan emas bagi para pemuda itu.

“Ya udah ayo, bawa perlengkapan mandi kamu. Aku tungguin sampai selesai,” jawab Roni. Siapa, sih, yang menolak dirayu seperti itu oleh gadis cantik masih perawan ting ting pula di zaman serba bebas.

Taksaka menyadari niat jahat mereka berempat bangkit kembali. Titah sang prabu telah turun. Habisi kalau ada yang berani menyentuh Amira walau hanya seujung kuku. Taksaka menganggguk. Kemudian ia menghilang dari batu besar dan pindah ke air terjun. Menanti beberapa onggok daging segar bisa dibagikan untuk rakyat gusti prabu di sekitar gunung.

Mereka—para manusia harimau jumlahnya ada banyak. Hanya saja tidak pernah menampakkan diri. Pada umumnya tidak suka ikut campur urusan manusia biasa yang gemar membuat onar. Kecuali untuk Amira. Dia mendapatkan perhatian khusus dari sang raja.

“Ayo, Ron, cepet. Duh, air terjunnya cantik banget.” Amira meletakkan perlengkapan mandinya di atas batu kecil. Ia tak menggunakan alasan kaki agar merasakan lebih dalam dinginnya air sungai.

“Hadep sana, Ron. Aku mau ganti baju,” pinta gadis cantik itu.

Roni membalikkan badan. Taksaka memejamkan mata. Beberapa detik kemudian gadis yang telah dipilih oleh Gusti Prabu Abhiseka telah menukar pakaiannya dengan baju renang one piece.

Sekali lagi mereka tidak mengindahkan larangan para penduduk. Wanita tidak boleh ke gunung menggunakan baju di atas lutut. Baju Amira sekarang, bahkan sanggup membuat aliran darah Taksaka memanas. Hanya saja kepatuhannya pada sang prabu jauh lebih besar daripada nafsunya sendiri.

Amira menceburkan diri ke dalam sungai di bawah aliran air terjun yang sedang tidak deras. Gaya renangnya sanggup membuat Roni menelan ludah berat. Tiga teman lelakinya kemudian turun ketika mendapatkan kode darinya.

“Kita mulai sekarang, ya. Gue udah nggak sabaran,” ucap salah satu teman Roni.

Matanya hampir keluar memandang lekuk tubuh Amira yang baru saja naik ke atas batu lagi dan menceburkan diri kemudian.

“Gue duluan.” Roni membuka baju kaus tebalnya.

Dia berjalan mendekati Amira yang kembali naik ke atas batu dan sudah mulai menggigil kedinginan. Pemuda beringasan itu memeluk pacarnya tiba-tiba saja. Amira terkejut, biasanya Roni selalu jaga sikap dengannya.

“Kenapa, Ron, tumben?” Masih saja Amira tak sadar dengan perbuatan Roni.

“Amira. Lepas keperawanan kamu di sini. Kalau kamu memang sayang sama aku,” ucap Roni berbisik di telinga pacarnya.

“Maksud kamu?” Gadis itu berpikir sejenak. Lalu ia sadar apa yang diinginkan pacarnya. Amira mendorong Roni. “Gila kamu, nggak mungkin! Bisa marah papa sama mama aku. Oke, mendaki dibatalin. Aku mau pulang!” Amira meninggalkan Roni dan mencari baju panjangnya. Sayangnya sudah diamankan duluan oleh teman-temannya yang bejat.

“Jangan gitu, donk, Amira. Emang kamu nggak ngerasain dingin di air terjun. Ayolah, aku bisa, kok, kasih kamu kehangatan. Nanti kamu pasti nagih. Malah cari-cari aku buat ngulang lagi.” Roni terus berjalan maju mendekati Amira. Gadis cantik itu mulai ketakutan dan mencoba melarikan diri. Namun, tiga teman lelaki Roni justru telah menghadangnya.

“Jangan ngelawan, Cantik. Nanti sakit, kalau mau sama mau nggak akan kerasa, malah kamu jadi keenakan.”

“Bajingan, bangsat kalian! Cuih!” Amira meludahi salah satu wajah lelaki itu. Justru air liurnya dihirup. Seperti psikopat.

Napas Amira naik turun karena kini ia sudah terdesak di sebuah batu. Roni datang dan meraih tangannya. Namun, pada saat yang sama tangan pemuda itu telah telah terlepas dari tubuhnya. Taksaka memotong tangan Roni dengan belati kesayangannya. Mulut Amira menganga begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Darah segar Roni mengotori wajah putih bersih Amira.

“Hantu,” bisik Amira perlahan.

Roni menjerit sekuat tenaga, dan seketika itu ia diam. Mampus, adalah satu kata yang layak mewakili tubuh Roni sekarang. Tidak hanya itu saja, jasad Roni menghilang dan masuk ke dalam tanah di antara bebatuan. Ulah siapa lagi kalau bukan rakyat Gusti Prabu Abhiseka yang dijanjikan daging segar oleh tuannya.

“Setaaan! Lariii!” Teman-teman Roni ketakutan.

Mereka kabur sambil kocar-kacir bahkan kencing di celana saking takutnya. Namun, mereka sudah ditandai oleh Taksaka. Pengawal setia Gusti Prabu itu, menyerang mereka dengan gerakan secepat kilat. Tak sampai satu menit waktu yang dibutuhkan, tubuh mereka semua telah teriris belati tajam. Darah membasahi Gunung Kalastra, sampai air sungai berubah menjadi merah. Mereka mati tanpa pesan.

“Oh My God, oh my god. Apaan ini?” Amira semakin ketakutan. Ia takut akan jadi korban berikutnya. Yang laki-laki saja mati tanpa perlawanan apalagi dirinya yang perempuan.

Tak lama setelah itu suara auman harimau yang sangat ganas terdengar sampai ke telinga gadis cantik itu. Hal demikian merupakan titah lanjutan dari sang prabu agar membawa Amira ke singgasananya. Akan disiapkan sambutan untuk gadis yang akan menjadi permaisuri sang prabu.

Gadis cantik tersebut sudah telanjur berujar akan bersedia tinggal di Gunung Kalastra selamanya bahkan menjadi kekasih siluman penunggu gunung. Tak hanya kekasih saja. Sang Prabu akan menjadikannya permaisuri pula.

Amira terduduk di batu besar, tanpa tahu harus melakukan apa. Gadis itu bingung. Pulang nanti pasti ia akan ditanya di mana teman-temannya yang lain. Sedangkan kalau jujur apa ada yang akan percaya padanya. Dari dulu manusia harimau di Gunung Kalastra hanyalah dongeng dan mitos di kalangan anak muda milenial seperti dirinya.

“Oh my god, help?” Amira menangis.

Seketika itu juga air sungai meluap karena air terjunnya semakin besar. Tubuh Amira hanyut di dalamnya. Ke mana ia akan dibawa oleh Taksaka—sang pengawal yang jangan ditanyakan lagi kesetiannya pada Gusti Prabu Abhiseka.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status