Share

Tipu Muslihat

Sudah satu bulan Amira menjadi permaisuri di Kerajaan Gunung Kalastra. Ia sangat dimanja dan diperhatikan oleh Gusti Prabu Abhiseka. Satu bulan di dalam dunia gaib milik para siluman. Ternyata sudah satu tahun di dunia manusia biasa.

Amira dinyatakan hilang oleh kedua orang tuanya. Polisi sudah dikerahkan untuk mencari di mana keberadaan putri tunggal mereka. Yang merupakan pewaris kebun teh yang amat luas.

Sampai ke kaki Gunung Kalastra pun dicari. Namun, ketika para polisi mencari ke sana. Pandangan mereka berdua disesatkan oleh Taksaka. Ia sangat patuh pada perintah tuannya. Amira akan terpenjara di sana selamanya.

Kedua orang tua Amira tidak menyerah. Ia pun meminta bantuan orang pintar agar putri mereka kembali. Berbagai macam sesajen telah dihaturkan di kaki Gunung Kalastra, bahan para dukun itu memberanikan diri untuk uji tanding dengan para penghuni asli gunung tersebut. Hasilnya? Yang nekat akan mati di tangan Taksaka.

“Pa, gimana, donk, nasib Amira? Anak kita cuman satu, Pa. Tolong, gimana, kek, caranya biar Amira balik.” Mama Amira semakin kurus sejak putrinya hilang.

Soal Roni dan teman-temannya, bahkan hanya tersisa bagian daging yang tidak ingin disantap para manusia harimau. Semakin bertambah uring-uringan mama Amira jadinya.

Sementara itu, sang putri kesayangan semakin bertambah cantik sejak menjadi permaisuri Gustri Prabu Abhiseka. Amira tak pernah menolak ketika Abhiseka mendatanginya. Sebab ia pun mulai kecanduan dengan sentuhan sang prabu. Panas tubuh penguasa Gunung Kalastra itu membuatnya senantiasa terbuai jauh.

Pagi itu, gunung sedikit berkabut. Amira masih tidur-tidur malas di atas ranjangnya. Ia sedang enggan bangkit dan jalan-jalan di kebun bunga milik Abhiseka yang sangat indah. Tepatnya, milik mendiang istri Gusti Prabu yang mangkat beberapa bulan lalu.

“Papa, Mama, Amira pilih tinggal di sini aja, ya. Lagian di sini enak nggak kayak di kota. Terlalu banyak tuntutan sama Amira harus jadi ini itu seperti keinginan Mama sama Papa,” ucap Amira di atas ranjangnya. Baru tadi malam ia menyudahi percintaan yang sama dengan lelaki yang sama pula.

Ucapan Amira barusan didengar oleh sesosok makhluk. Makhluk yang tinggal di dalam Gunung Kalastra. Ia bukan bagian dari rakyat Abhiseka. Ia ke sana untuk mencari peluang balas dendam. Sebab suaminya mati terbunuh di tangan sang prabu yang keji pada makhluk sebangsanya.

Wanita berpakaian serba hitam itu bernama Astina. Dia siluman kelabang yang sangat beracun. Musuh lama sang prabu dari zaman Abhiseka masih muda sampai kini berusia ribuan tahun. Kematian sang permaisuri juga ada andil dari racun kelabang yang ia miliki.

“Abhiseka. Kau terlalu cepat bahagia setelah ditinggal istri tercintamu. Padahal kau tahu, istrimu begitu hormat dan sayang padamu.” Astina tinggal di dalam gua masih di Gunung Kalastra. Tak ada yang tahu ia di sana. Ilmu kanuragan dan tenaga dalam wanita itu juga tidak main-main.

“Bolehlah aku uji sampai di mana ketahananmu terhadap racunku. Kalau istrimu mati, setidaknya kau akan setengah mati aku buat.”

Astina mengambil sebuah cupu yang terletak di atas batu. Cupu itu berisikan ratusan campuran racun dari makhluk sejenis dirinya. Ada dua cupu, salah satunya telah siluaman kelabang itu berikan pada sang permaisuri lama. Hingga ia tewas dalam tidurnya dengan tenang tanpa menimbulkan jejak apa pun. Racun yang sangat keji. Apabila meninggalkan jejak lebam dan muntah darah maka bisa dicari siapa pembunuhnya.

“Abhiseka, kau keji sekali, memisahkan seorang putri dari orang tuanya. Tidak baik seperti itu. Cukup aku saja yang kau jauhkan dari suamiku,” ucap Astina di depan cermin besar yang memantulkan bayangan asli dirinya.

“Amira, sebagai anak yang baik akan aku bantu kau kembali pada orang tuamu.” Astina berputar tiga kali di depan cermin, dan kini rupa dirinya sudah sama seperti Amira, tanpa perbedaan walau sehelai rambut pun.

Tidak akan ada yang bisa mengenali dirinya sekalipun itu Taksaka atau Cakrabuana. Astina berjalan keluar dari gua membawa sebuah cupu. Tangannya yang putih bersih memegang benda tersebut. Ia mulai mencari sang prabu yang sedang mengawasi kerajaannya di puncak Gunung Kalastra.

Mata Astina menangkap beberapa orang lelaki dari kalangan manusia biasa mencari Amira lagi di Gunung Kalastra. Siluman kelabang itu memejamkan mata. Ia mulai masuk dalam pikiran mereka.

“Kalian semua tunggu di gunung ini. Sebentar lagi Amira akan muncul,” ucap Astina dan akhirnya para pencari itu mematung di tempatnya berdiri.

Astina melihat Amira yang asli mulai berjalan kaki mencari sang prabu. Sejak tinggal di Gunung Kalastra, Amira jadi kuat mendaki tanpa rasa lelah. Astina bergerak lebih cepat. Agar sandiwara yang ia buat disaksikan oleh Amira.

“Kanda Prabu,” panggil Astina dalam wujud Amira.

Manusia harimau putih itu menoleh. Dua penjaganya kemudian disuruh menyingkir sebentar. Kalau sampai Amira mencari dirinya, artinya sang permaisuri sedang rindu dengannya.

“Kemarilah, Permaisuriku. Ada apa, apa kau ingin sesuatu?” tanya Abhiseka. Dua tangannya terbuka, lalu Amira palsu berlari dan duduk di atas pangkuan sang prabu. Dua sejoli itu sedang dimabuk asmara.

“Kanda Prabu, minumlah. Aku mengambilnya dari tetesan embun di setiap ujung dedaunan. Aku yakin ini bisa membuatku semakin kuat, bukan?” Astina menyodokan cupu pada kanda prabunya.

Amira palsu mengedipkan sebelah mata. Abhiseka hanya tertawa saja melihat perangai permaisurinya. Aslinya Amira memang ganas saat di ranjang bersamanya, karena itu Abhiseka tidak menaruh kecurigaan pada wanita berusia dua puluh tahun lewat sedikit itu.

Tanpa rasa curiga sama sekali, Abhiseka menenggak racun tersebut yang ada di dalam cupu sampai habis. Manusia harimau putih mulai merasa sedikit pusing. Ilmu kanuragan dalam tubuhnya menuntun racun kelabang untuk keluar. Namun, Amira palsu bergerak lebih cepat. Ia mencium Abhiseka sangat dalam hingga racun itu tertelan kembali. Tentu saja sang prabu tak bisa menolak ajakan dari permaisurinya.

***

Mata Taksaka mengerjap beberapa kali ketika ia melihat Amira yang asli sedang berjalan ke puncak gunung. Pengawal itu jarang berbicara dan ia pun langsung curiga ketika melihat Amira yang asli. Segera ia bergerak, tetapi panggilan dari sang permaisuri membuatnya berhenti.

“Taksa, tunggu. Tolong, donk, ini rantingnya sakit banget.” Amira meminta sang pengawal untuk mematahkan ranting pohon yang merobek kain sutra putihnya. Taksaka datang menolong.

“Tunggu di sini, ya, jangan ke atas. Aku lagi kangen sama suamiku.” Perintah sang permaisuri tak ada bedanya dengan sang prabu. Pengawal itu diam saja jadinya. Bahkan Cakrabuana membantunya sampai ke puncak gunung dengan cepat.

“Haai, Kanda pra—” Tercekat langkah kaki Amira ketika melihat suaminya tengah berciuman dengan perempuan lain. Ia pun langsung memutuskan pergi. Amira seorang pencemburu berat, tapi ia juga masih waras. Kalau pasangannya tertangkap basah dengan perempuan lain, silakan ambil.

Amira tak melihat kalau wajah wanita itu sama persis dengannya. Sang prabu sadar apa yang sedang terjadi. Ia mendorong Amira palsu. Namun, saat itu juga dadanya terasak sakit luar biasa.

Racun Astina telah menyebar luas. Tinggal tunggu bagaimana sang prabu jatuh sakit saja. Siluman kelabang itu kemudian berubah wujud menjadi ribuan kelabang kecil-kecil. Ia masuk ke dalam tanah, pohon, batu, lalu menghilang tanpa jejak.

“Gusti Ratu, engkau mau ke mana?” tanya Cakrabuana.

“Diam kalian! Lakik di mana-mana sama aja bangsatnya!” umpat sang ratu. Hingga membuat Taksa dan Cakra saling memandang satu sama lain. Taksaka yang lebih peka akhirnya mencari rajanya terlebih dahulu.

“Gusti Ratu, kau tak boleh pergi dari sini!” Cakra berusaha menahan sang permaisuri.

“Ah, aku nggak peduli. Raja kalian nggak bisa dipegang ucapannya. Aku bukan istrinya, kami nggak pernah menikah. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku. Jangan ikuti aku. Anggap aja satu bulan ini aku jadi orang bodoh mau aja dirayu sama dia. Abhiseka, dengar kamu, ya. Jangan pernah cari aku. Kita nggak saling kenal!” Amira membuka semua perhiasan yang diberikan oleh sang prabu padanya. Ia buang begitu saja di atas tanah. Cakra ingin menyusul sang permaisuri. Namun, panggilan dari Taksaka membuatnya tertunda.

“Gusti Prabu tubuhnya kaku, napasnya satu-satu, cepat kita bawa dia ke istana.” Taksaka akhirnya bicara juga.

Racun kelabang itu sudah tertanam terlalu dalam. Abhiseka tak sadarkan diri dan Amira sedang berlari sambil menangis. Ia menyebut kedua orang tuanya. Amira ingin pulang, dan tak mau lagi kembali ke Gunung Kalastra, apapun yang terjadi. Janji sang permaisuri seumur hidup yang ia ucapkan tanpa pikir panjang.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status