Share

Chapter 6

"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap.

"Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?"

"Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?"

Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.

----------

Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru.

Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.

Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.

Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun karena suara derap langkah kaki Eliza yang dari tadi mondar mandir masuk ke telinganya.

"Kamu akan pergi kemana sepagi ini?" tanya Susan dengan suara parau.

Eliza menoleh. "Aku akan ada wawancara di restoran," jawabnya lalu kembali menatap cermin.

"Apa kamu tidak akan datang kuliah hari ini?"

"Aku sudah katakan padamu, aku mengambil cuti. Apa kamu lupa ingatan, padahal baru beberapa malam tidur di kasur kerasku."

"Huh, kamu terlalu kasar. Bersantailah sedikit," ujar Susan sambil menarik bantal untuk dipeluknya.

"Bersantai itu tidak diciptakan untukku, mungkin saja hanya untukmu."

Susan sudah melayang lagi, dia sudah kembali ke alam mimpi. Mungkin disana dia sedang bermimpi berpesta bersama para orang kaya.

Karena di sekeliling Susan itu tidak ada orang miskin kecuali dirinya. Eliza juga masih bingung sampai saat ini, mengapa Susan mau repot-repot berteman dengannya.

Eliza berhambur keluar rumah dan setengah berlari untuk mengejar waktu. Dia berhenti di sebuah halte dekat dengan rumahnya untuk menunggu bus yang akan ditumpanginya.

Setelah sepuluh menit menunggu, bus itu pun datang. Eliza turut berbaris mengambil antrian untuk masuk ke dalam bus tersebut. Ia mengetukkan kartu busnya lalu mencari tempat duduk. Eliza mengambil kursi kosong di samping jendela.

"Semoga wawancara kali ini lancar," doa Eliza sebelum bus tersebut kembali melaju.

Sepanjang jalan, pandangan Eliza hanya tertuju ke luar jendela. Ia menatap kosong keluar dan membiarkan angin menyapa kulit wajahnya. Dalam kepalanya, Eliza hanya memikirkan nasib ayahnya di rumah.

Eliza tidak berani menghubungi ibu tirinya lebih dulu, karena dia takut tidak dapat mengatakan apapun ketika dia menanyakan perihal kiriman uang.

Eliza menghela napasnya. Lalu ia berdiri saat mengetahui pemberhentian didepan adalah tempat tujuannya.

Roulette Restaurant, Eliza menatap plang nama restoran itu beberapa saat sebelum melangkahkan kakinya memasuki bangunan itu.

"Kamu pasti bisa," ujarnya menyemangati diri sendiri.

Setelah mengambil dan membuang napasnya dalam, Eliza pun melangkah mantap dan membuka pintu restoran itu.

Seorang pria paruh baya yang sedang berdiri di kasir menatap kedatangan Eliza yang menghampirinya. Pria itu mengernyitkan dahinya, lalu melihat ke arah jam dinding di satu sudut tembok.

"Selamat pagi, Tuan."

"Selamat pagi. Restoran belum buka, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Oh, maaf. Saya bukan pelanggan. Saya melihat lowongan pekerjaan sebagai pelayan dari surat kabar kota. Apakah saya masih bisa melamar?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia justru melihat Eliza dari atas rambut sampai ke ujung kaki. Lalu pria itu menyunggingkan senyum miring.

Pria yang tadinya sibuk dengan mesin kasir pun menyudahi kegiatannya. Lalu menghampiri Eliza.

"Benar, kau bisa ikut interview."

Mendapat jawaban dari pria paruh baya itu, Eliza hampir melompat kegirangan. Ia bahkan berusaha keras untuk menahan senyumannya.

Pria itu juga tampak senang, "Ikuti aku."

Pria itu berjalan lebih dulu ke dalam restoran, dan membuka sebuah ruangan. Dimana ruangan itu tampak seperti kantor. Mungkin itu adalah tempat interview restoran itu.

Eliza turut masuk saat sudah dipersilahkan. Lalu ia juga duduk setelah pria itu juga mempersilahkan.

Pria itu terlihat sangat tegas saat mulai memberikannya pertanyaan demi pertanyaan interview.

Eliza juga menjawab semua pertanyaan itu dengan penuh semangat dan keyakinan.

"Jadi kau membutuhkan uang untuk membayar biaya kuliahmu dan juga biaya perawatan ayahmu?" tanya pria itu yang kemudian beranjak dari kursinya, beralih duduk di sudut mejanya, sehingga posisinya tepat berada di dekat Eliza.

Eliza mengangguk dengan polosnya. Ia sama sekali tidak menutupi setiap hal mengenai dirinya.

Dada Eliza semakin berdegup. Ia sangat gugup, apalagi ketika pria itu menghampirinya. 'Apa mungkin aku menjawab pertanyaan dengan kurang baik?'

Lalu pria itu berdiri dan berjalan menuju ke pintu.

Klek. Pria itu mengunci pintu ruangan itu. Dimana hanya ada dirinya dan Eliza. Kemudian pria itu kembali duduk di sudut meja dekat Eliza.

"Aku akan membantumu mendapatkan uang. Apa kau siap bekerja denganku?"

"Tentu, Tuan. Eliza mengangguk kegirangan."

Namun ... tiba-tiba, pria itu berdiri dan melepaskan kancing celananya---menyisakan celana dalam yang terpampang jelas di mata Eliza.

Sontak kedua bola mata Eliza terbelalak. Tubuhnya seperti membeku saat melihat apa yang dilakukan pria itu barusan.

Eliza menatap wajah pria itu yang sedang tersenyum sinis padanya. "Ini pekerjaan yang mudah. Aku bisa memberimu uang dan langsung menerimamu sebagai karyawan tetap. Aku juga akan memberikan gaji besar untukmu," ucapnya sembari menyeringai.

Eliza menelan salivanya. Dalam otaknya yang membeku, ia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dengan selamat dari sana.

"Saya hanya ingin bekerja di restoran. Jika memang Anda menolak saya, maka saya akan pergi sekarang. Itu tidak masalah."

Pria itu menyeringai lagi. "Aku menerimamu, gadis kecil. Tapi setelah tahap interview, kau harus melewati satu tahap ini. Tahap yang dapat memberikan keuntungan bagi kita berdua. Saat kau bekerja, kau akan mulai terbiasa. Aku sangat bermurah hati pada semua karyawanku."

Eliza sontak berdiri dan berbalik menuju pintu, ingin segera keluar dari sana. Pria itu membiarkannya. Namun Eliza tidak dapat membuka daun pintu itu karena tadi pria itu telah mengambil kuncinya.

Eliza mulai cemas, jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Eliza sadar, dirinya telah ditipu. Ia harus berpikir cepat untuk dapat keluar dari sana.

"Apa kau mencari ini, gadis manis?" tanya pria itu sambil menunjukkan sebuah kunci di tangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status