"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap.
"Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?""Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?"Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.----------Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru.Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun karena suara derap langkah kaki Eliza yang dari tadi mondar mandir masuk ke telinganya."Kamu akan pergi kemana sepagi ini?" tanya Susan dengan suara parau.Eliza menoleh. "Aku akan ada wawancara di restoran," jawabnya lalu kembali menatap cermin."Apa kamu tidak akan datang kuliah hari ini?""Aku sudah katakan padamu, aku mengambil cuti. Apa kamu lupa ingatan, padahal baru beberapa malam tidur di kasur kerasku.""Huh, kamu terlalu kasar. Bersantailah sedikit," ujar Susan sambil menarik bantal untuk dipeluknya."Bersantai itu tidak diciptakan untukku, mungkin saja hanya untukmu."Susan sudah melayang lagi, dia sudah kembali ke alam mimpi. Mungkin disana dia sedang bermimpi berpesta bersama para orang kaya.Karena di sekeliling Susan itu tidak ada orang miskin kecuali dirinya. Eliza juga masih bingung sampai saat ini, mengapa Susan mau repot-repot berteman dengannya.Eliza berhambur keluar rumah dan setengah berlari untuk mengejar waktu. Dia berhenti di sebuah halte dekat dengan rumahnya untuk menunggu bus yang akan ditumpanginya.Setelah sepuluh menit menunggu, bus itu pun datang. Eliza turut berbaris mengambil antrian untuk masuk ke dalam bus tersebut. Ia mengetukkan kartu busnya lalu mencari tempat duduk. Eliza mengambil kursi kosong di samping jendela."Semoga wawancara kali ini lancar," doa Eliza sebelum bus tersebut kembali melaju.Sepanjang jalan, pandangan Eliza hanya tertuju ke luar jendela. Ia menatap kosong keluar dan membiarkan angin menyapa kulit wajahnya. Dalam kepalanya, Eliza hanya memikirkan nasib ayahnya di rumah.Eliza tidak berani menghubungi ibu tirinya lebih dulu, karena dia takut tidak dapat mengatakan apapun ketika dia menanyakan perihal kiriman uang.Eliza menghela napasnya. Lalu ia berdiri saat mengetahui pemberhentian didepan adalah tempat tujuannya.Roulette Restaurant, Eliza menatap plang nama restoran itu beberapa saat sebelum melangkahkan kakinya memasuki bangunan itu."Kamu pasti bisa," ujarnya menyemangati diri sendiri.Setelah mengambil dan membuang napasnya dalam, Eliza pun melangkah mantap dan membuka pintu restoran itu.Seorang pria paruh baya yang sedang berdiri di kasir menatap kedatangan Eliza yang menghampirinya. Pria itu mengernyitkan dahinya, lalu melihat ke arah jam dinding di satu sudut tembok."Selamat pagi, Tuan.""Selamat pagi. Restoran belum buka, apa ada yang bisa saya bantu?""Oh, maaf. Saya bukan pelanggan. Saya melihat lowongan pekerjaan sebagai pelayan dari surat kabar kota. Apakah saya masih bisa melamar?"Pria itu tidak langsung menjawab. Ia justru melihat Eliza dari atas rambut sampai ke ujung kaki. Lalu pria itu menyunggingkan senyum miring.Pria yang tadinya sibuk dengan mesin kasir pun menyudahi kegiatannya. Lalu menghampiri Eliza."Benar, kau bisa ikut interview."Mendapat jawaban dari pria paruh baya itu, Eliza hampir melompat kegirangan. Ia bahkan berusaha keras untuk menahan senyumannya.Pria itu juga tampak senang, "Ikuti aku."Pria itu berjalan lebih dulu ke dalam restoran, dan membuka sebuah ruangan. Dimana ruangan itu tampak seperti kantor. Mungkin itu adalah tempat interview restoran itu.Eliza turut masuk saat sudah dipersilahkan. Lalu ia juga duduk setelah pria itu juga mempersilahkan.Pria itu terlihat sangat tegas saat mulai memberikannya pertanyaan demi pertanyaan interview.Eliza juga menjawab semua pertanyaan itu dengan penuh semangat dan keyakinan."Jadi kau membutuhkan uang untuk membayar biaya kuliahmu dan juga biaya perawatan ayahmu?" tanya pria itu yang kemudian beranjak dari kursinya, beralih duduk di sudut mejanya, sehingga posisinya tepat berada di dekat Eliza.Eliza mengangguk dengan polosnya. Ia sama sekali tidak menutupi setiap hal mengenai dirinya.Dada Eliza semakin berdegup. Ia sangat gugup, apalagi ketika pria itu menghampirinya. 'Apa mungkin aku menjawab pertanyaan dengan kurang baik?'Lalu pria itu berdiri dan berjalan menuju ke pintu.Klek. Pria itu mengunci pintu ruangan itu. Dimana hanya ada dirinya dan Eliza. Kemudian pria itu kembali duduk di sudut meja dekat Eliza."Aku akan membantumu mendapatkan uang. Apa kau siap bekerja denganku?""Tentu, Tuan. Eliza mengangguk kegirangan."Namun ... tiba-tiba, pria itu berdiri dan melepaskan kancing celananya---menyisakan celana dalam yang terpampang jelas di mata Eliza.Sontak kedua bola mata Eliza terbelalak. Tubuhnya seperti membeku saat melihat apa yang dilakukan pria itu barusan.
Eliza menatap wajah pria itu yang sedang tersenyum sinis padanya. "Ini pekerjaan yang mudah. Aku bisa memberimu uang dan langsung menerimamu sebagai karyawan tetap. Aku juga akan memberikan gaji besar untukmu," ucapnya sembari menyeringai.
Eliza menelan salivanya. Dalam otaknya yang membeku, ia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dengan selamat dari sana.
"Saya hanya ingin bekerja di restoran. Jika memang Anda menolak saya, maka saya akan pergi sekarang. Itu tidak masalah."
Pria itu menyeringai lagi. "Aku menerimamu, gadis kecil. Tapi setelah tahap interview, kau harus melewati satu tahap ini. Tahap yang dapat memberikan keuntungan bagi kita berdua. Saat kau bekerja, kau akan mulai terbiasa. Aku sangat bermurah hati pada semua karyawanku."
Eliza sontak berdiri dan berbalik menuju pintu, ingin segera keluar dari sana. Pria itu membiarkannya. Namun Eliza tidak dapat membuka daun pintu itu karena tadi pria itu telah mengambil kuncinya.
Eliza mulai cemas, jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Eliza sadar, dirinya telah ditipu. Ia harus berpikir cepat untuk dapat keluar dari sana.
"Apa kau mencari ini, gadis manis?" tanya pria itu sambil menunjukkan sebuah kunci di tangannya.
Disisi lain, Liliana tampak sedang serius memandangi perhiasan berlian-berlian yang dijejer di hadapannya. Sofa putih yang sangat nyaman itu berada di toko perhiasan berlian miliknya. Ia sedang memilih beberapa model untuk di display sebagai item keluaran terbaru, dan akan meminta pihak pengrajin untuk modifikasi jika ada yang kurang sesuai dengan harapannya."Yang tengah itu, letakkan di tempat yang paling eksklusif," perintah Liliana pada seorang pegawainya yang berdiri di dekatnya. Pegawai itu segera mengambil perhiasan yang ditunjuk dan meletakkan sesuai instruksi sang atasan. Liliana memandangi pegawainya itu dari sofa tempatnya duduk. Tiba-tiba seorang pria berusia 30 an berjalan mendekati Liliana. Pria itu sedikit membungkuk seolah membisikkan sesuatu di dekat daun telinga Liliana. Dia adalah Richard, orang kepercayaan Liliana yang ditugaskan untuk sebuah misi."Dia tinggal di rumah yang disewa bersama Nona Susan.""Rupanya mereka bersahabat baik," gumam Liliana merespon bisi
"Tadi kami ada sedikit urusan, dan kami mampir ke kafe ini untuk istirahat sebentar." "Be-benar, Bos," timpal Eliza dengan senyuman yang sedikit bergetar. "Urusan apa, kalau aku boleh tahu?" cecar Vico dengan tatapan menyelidik. Sepengetahuan dirinya, hari ini Reiz tidak memiliki jadwal meeting di luar, jadi tentu dirinya penasaran urusan apakah sebenarnya yang mereka miliki sampai harus hangout berdua di kafe untuk istirahat sebentar. Lirikan Vico menjelajah keluar kafe, dimana tepat di depan bangunan kafe itu ada sebuah hotel mewah. Kedua netranya terlihat menyeramkan kala melihat hotel itu. Sebelum Vico berperang dengan pikiran kotornya, Eliza langsung menginterupsi keadaan."Kami baru saja berkunjung ke makam ayah saya, Bos. Dan, Tuan Reiz telah berbaik hati mengantarkan saya berkunjung kesana."Vico terlihat terkejut, lalu melirik adiknya untuk memastikan ucapan kekasihnya itu. Reiz terkekeh kecil karena melihat sang kakak yang mudah curiga itu. "Benar apa yang kekasihmu kata
Eliza meletakkan dua buket bunga yang dibelinya dalam perjalanan tadi. Dia duduk disamping nisan ayahnya sambil beberapa kali mengusap. "Ayah, aku datang."Reiz yang mengenakan kacamata hitam itu berdiri tidak jauh dari Eliza. Eliza menoleh ke arah Reiz, lalu kembali menatap nama yang tertulis di makan itu. "Dia adalah bosku yang sangat baik, Ayah. Dia bahkan mengingat janjinya untuk membawaku menjenguk ayah."Di pusara sang ayah, Eliza mengirimkan doa-doa terbaiknya. Eliza juga sempat bercerita tentang isi hatinya dengan suara lirih agar Reiz tidak mendengarnya. Namun pendengaran tajam Reiz mampu menangkapnya, dan membuat pria itu tersenyum lembut.Tiba-tiba Reiz turut duduk berjongkok di samping Eliza. "Bos, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu lama bicara, sampai Anda kelelahan berdiri.""Tidak. Aku juga ingin bicara pada ayahmu."Eliza mengangkat kedua alisnya. Ingin dia bertanya apa maksudnya, tapi dia merasa lebih baik melihat saja. "Tuan, namaku adalah Reiz Barbarossa. Aku a
Matahari pagi mulai mengintip dan perlahan terbit. Bias cahayanya berebut menyelinap ke celah jendela kamar Eliza. Sentuhan hangat sinarnya membuat Eliza membuka matanya. Eliza menatap langit-langit kamar untuk beberapa detik. Dadanya langsung berdegup kala ia mengingat bahwa dia sedang tidak sendirian di ranjang. Eliza sontak menoleh ke samping kirinya. Bibir lembut Vico menjadi sorotan pertama yang membuat Eliza membulatkan mata.Setelah sepersekian detik Eliza puas memandang wajah tampan itu, bibirnya perlahan mengulas senyum. Dia merasa ini seperti mimpi, bahwa dirinya tengah menjalin hubungan yang nyata dengan sang presdir, yang diidamkan banyak wanita.Eliza tidak ingin membangunkan Vico. Dia beranjak perlahan ingin membersihkan diri. Namun, tiba-tiba tangan Eliza tertarik dan sontak membuat tubuhnya kembali rubuh diatas ranjang. "Apa kau ingin pergi begitu saja?" ujar Vico yang masih memejamkan mata. Dia masih ingin lebih lama disana bersama Eliza. Memeluk wanitanya selama mu
"Duduklah."Vico menarik Eliza perlahan untuk kembali ke kursinya. Eliza menurut dan tetap diam. Dia tidak ingin memperburuk keadaan dengan mengucapkan kata yang dapat memantik api dalam situasi ini.Liliana merasa percuma jika terus berdebat dengan Vico. Targetnya beralih untuk mencecar dan membuat mental Eliza jatuh, tentu agar gadis itu merasa kapok dan berhenti menjalin hubungan dengan putranya."Dari keluarga mana kamu berasal?"Eliza sontak menatap Liliana, tatapannya seperti awan yang mendung. Namun Liliana masih menatapnya nanar menunggu jawaban. "Di Universitas apa kamu belajar?"Eliza semakin bingung saja, sungguh ini lebih merepotkan dan menegangkan daripada interview kerja dengan Vico saat itu. "Dan…apa pekerjaan ayahmu?"Deg. "Cukup!" Vico langsung memotong pembicaraan sang ibu sebelum muncul pertanyaan lainnya. Liliana yang merasa tidak terima langsung melotot menatap tajam putranya. "Ibu sedang bicara dengan gadis itu. Tunjukkan sikap sopan santun kepada ibumu.""Hu
"Tunangan?" Eliza yang terkejut sontak menoleh ke arah Vico. Sementara Vico terlihat menatap sang ibu dengan tenang. Sebenarnya Liliana juga tidak kalah terkejutnya dengan Eliza dan yang hadir disana. Namun dia berusaha tetap terlihat tenang dan mengendalikan emosinya agar tidak salah dalam mengambil tindakan.Meskipun begitu, tampak jelas bahwa Liliana sedang berusaha mengontrol napasnya yang naik turun menahan emosi. Liliana tersenyum kecut. Bersama Vico, keduanya masih beradu tatap dengan intens dan tajam. "Mengapa kamu lakukan ini?" "Bukankah ibu ingin aku cepat menikah? Aku membawakan calonku untuk memenuhi keinginan Ibu.""Dengan membuat malu keluarga kita dan mempermalukan gadis anak dari seorang menteri yang dihormati?""Yang mengundangnya adalah Ibu. Bukan aku. Aku tidak perlu merasa malu atau bersalah."Eliza seperti berada di antartika tanpa jaket penghangat. Tubuhnya tiba-tiba terasa membeku dan tidak dapat bergerak. Entah kenapa dia harus selalu sial dan selalu hadir d
Vico memegang kendali dalam ciuman itu. Tampaknya pria dingin itu sangat ahli dalam berciuman. Padahal belum pernah diketahui bahwa dia sempat memiliki kekasih selama hidupnya. Vico melepas ciumannya perlahan, Eliza juga mulai membuka kedua matanya. Terlukis senyum di wajah Vico, yang membuat Eliza merasa malu dan langsung memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Vico kembali dengan kemudinya. Dia tidak ingin mengatakan apapun yang dapat merusak sisa keindahan ciuman tadi. Vico melajukan mobilnya sedikit lebih cepat, jalanan tampaknya sudah mulai ramai lancar, dan waktu juga sudah hampir pukul delapan. Membuat orang lain menunggu bukanlah kebiasaan baik yang harus dilestarikan bagi Vico."Hati-hati," Vico mengulurkan tangannya untuk membantu Eliza keluar dari dalam mobil. Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, Vico menyerahkan kunci mobilnya pada petugas parkir valet. Keduanya berjalan memasuki gedung hotel bintang enam tersebut, dimana terdapat sebuah restoran yang direse
Rasa malu karena menerima pujian dari Vico membuat Kedua pipi Eliza merona seketika. Eliza tidak ingin mengatakan apapun, selain tidak tahu bagaimana harus menanggapi, Eliza juga tidak mau terjebak di situasi canggung itu lebih lama lagi. Eliza meraih handle pintu mobil namun Vico juga langsung meraih handle pintu tersebut membuat kedua tangan mereka saling bertumpuan. Eliza mengalah dan menarik kembali tangannya, mengijinkan Vico yang melakukannya untuknya. Keduanya sudah siap dengan seat belt yang terpasang rekat. "Baiklah. Kita pergi sekarang," ucap Vico sembari menarik tuas mobil dan mulai melesat.Jalanan malam sangat indah. Lampu gedung-gedung perkantoran yang warna warni, juga lampu kendaraan mobil yang berderet seperti bintang di dataran bumi menambah keindahan malam perjalanan mereka. Vico memutar musik dengan volume lirih yang hampir tidak terdengar, itu bagus untuk membuat suasana tidak terlalu kaku. Eliza masih bergeming sejak tadi. Dia hanya bertanya pada diri sendir
"Dia.....Ah maksud saya, Tuan Vico tidak mengatakan apapun pada saya."Eliza merasa bersalah telah berkata bohong pada sang atasan. Tapi mana mungkin dia dapat berkata jujur, ini masalah yang sangat rumit bagi Eliza. Hal ini bisa saja menjadi salah paham semua orang jika kabar hubungannya dengan Vico sampai terekspos. Reiz mengangguk-angguk pelan lalu berangsur beranjak dari meja Eliza. "Baiklah. Teruskan pekerjaanmu," ujar Reiz sambil berlalu dengan meninggalkan sepotong senyum yang membuat Eliza terpana, seolah daya batre tubuhnya yang semula hampir habis kini terisi penuh kembali. Namun dirinya kembali lemas kala mengingat wajah Vico yang menghantuinya dan selalu muncul dalam pikirannya. "Apa dia tidak lelah bolak-balik di kepalaku? Ahh, Sial! Itu memang hanya pikiranku, bagaimana bisa dia merasa capek?" gerutu Eliza sambil mengoyak-ngoyak dan sedikit menjambak kedua sisi rambutnya.Drrtt. Eliza meraih ponselnya yang tergeletak di meja dengan posisi terbalik. Dari tadi Eliza bel