Eliza menaiki tangga dan menghampiri wanita pemilik rumah yang sudah melihatnya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.
"Bu Raya, bukankah Anda memberikanku kesempatan hingga besok?""Aku datang karena melihat kau memiliki orang yang bisa diandalkan," jawab wanita itu sambil memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Susan yang baru muncul setelah memastikan dirinya telah memarkir mobil dengan benar.Eliza turut menoleh ke belakangnya, dimana Susan baru muncul. "Maaf Bu. Tapi saya tidak dapat mengandalkan siapa-siapa. Dia hanyalah teman saya.""Aku tidak peduli. Tampaknya dia memiliki banyak uang. Hei kau, apa kau teman gadis ini?"Susan sontak mengangkat kedua alisnya bingung, namun dari wajahnya Susan bisa menebak, sepertinya wanita paruh baya itu memiliki urusan uang dengan Eliza."Ya, aku sahabat baiknya. Ada apa?""Baguslah. Kalau kau memang sahabatnya, bayarkan uang sewa untuknya. Dia sudah telat selama satu minggu!"Eliza mengerjapkan kedua matanya menahan malu. Lalu menoleh ke arah Susan. "Maafkan aku, kamu tidak perlu mendengarkannya," lirih Eliza meminta Susan mengabaikan wanita itu.Namun sayangnya wanita pemilik rumah itu tetap mendesak. Ia tidak ingin Eliza menghambatnya untuk mendapatkan uang dari Susan."Aku akan mengusirnu sekarang juga jika temanmu tidak punya uang untuk membantumu!" bentak wanita itu berusaha memberikan tekanan."Ta-tapi, bukankah Anda tadi bilang akan memberikan kesempatan hingga besok? Saya bahkan belum mengemasi barang-barang." Eliza sangat terkejut mendengar keputusan yang sepihak dari wanita itu."Dobrak pintunya. Buang semua barang gadis ini ke bawah."Kedua bola matanya semakin terbelalak. "Bu Raya, ku mohon, tunggulah sampai besok. Aku akan mencarikan uangnya. Aku janji."Kedua orang gempal yang dari tadi berlagak seolah memamerkan ototnya berusaha membuka paksa daun pintu kamar Eliza.Susan menghela nafas dalam, menyaksikan nasib sahabatnya yang malang."Aku akan membayar," ucap Susan tiba-tiba.Sontak pandangan mereka tertuju pada Susan. Wanita pemilik rumah itu tersenyum miring. Merasa bangga karena berhasil menekan Eliza dan temannya itu. Yang berarti dia akan mendapat uang pemasukan.Sementara itu, Eliza merasa sangat tidak enak hati dengan Susan. Karena kedatangan dirinya untuk bertamu justru memberikan nasib buruk untuknya."Kamu tidak perlu melakukannya, Susan," ucap Eliza dengan suara menahan tangis yang hampir pecah karena malu.Susan hanya tersenyum padanya. Seolah meminta Eliza untuk diam dan tenang."Bagus. Totalnya 900 dolar.""Bu Raya, uang sewanya adalah 500 dollar, bagaimana bisa menjadi 900 dollar tiba-tiba?" tanya Eliza yang terperanjat saat mendengar si pemilik rumah menaikkan harga tanpa konfirmasi lebih dulu."Huh, 500 dolar jika kau membayar tepat waktu. Tapi kau sudah membuatku rugi selama satu minggu. Sebagai gantinya kau harus membayar plus denda 400 dolar jadi total 900 dolar," jelas wanita itu dengan congkak."Baiklah, aku akan membayarnya. Berikan qris rekening Anda sekarang."Susan meletakkan kantong besar belanjaannya ke lantai, lalu mengambil ponsel dari saku jaketnya.Wanita pemilik rumah itu langsung meraih ponsel dari dalam tas mahalnya dan langsung membuka internet banking untuk menunjukkan qrisnya.Thiit.Suara scan qris mereka menandakan transaksi berhasil. Wanita pemilik rumah itu terbelalak saat melihat nominalnya."Aku membayar untuk lima bulan sewa plus 400 dolar dendanya. Dan mulai sekarang akulah yang menyewa rumah ini. Anda tidak perlu menagih uang sewa pada Eliza. Mulai sekarang saya akan tinggal disini."Wanita pemilik rumah itu masih senyum-senyum sendiri, melihat jumlah nominal uang yang masuk ke rekeningnya. "Lakukanlah sesukamu. Lain kali jangan telat," ucap wanita itu sambil memberikan tanda pada kedua pria gempal di belakangnya untuk pergi dari sana, mengikutinya.Setelah mereka tidak terlihat lagi, Eliza pun melayangkan protesnya. "Susan, apa kamu gila? Mengapa kamu buang-buang uang sebanyak itu?"
Susan menghela napasnya. Lalu kembali mengambil kantong belanja yang ia letakkan tadi. "Mulai sekarang aku akan tinggal denganmu. Jadi aku tidak sedang buang-buang uang seperti yang kamu katakan," jawab Susan dengan mencebik lalu mengedikkan bahunya.
"Apa kamu sungguh akan tinggal denganku?"
Susan mengangguk. "Tentu saja. Pasti akan seru setiap hari bisa tidur bersamamu. Cepatlah, buka pintunya, tanganku sudah sakit menggendong kantong belanja yang hampir sama beratnya dengan mu," ledek Susan yang menyamakan berat badan Eliza dengan sekantong belanjaannya yang lumayan berat.
"Haisssh," desis Eliza kesal. Ia lalu membuka kunci pintu rumahnya. Biar bagaimanapun, Eliza sangat berterima kasih pada Susan. Berkatnya, Eliza tidak akan menjadi gelandangan besok.
Seandainya wanita pemilik rumah itupun memberinya waktu sampai besok, dia yakin tidak akan sanggup untuk membayarnya.
Mereka meletakkan kantong belanja di atas meja makan. Lalu Eliza mulai menatanya ke dalam kulkas.
"Bagaimana aturannya untuk membayar kembali uangmu?"
"Kamu dapat mulai mencicilnya setelah mendapatkan gaji kedua nanti. Jadi, ku harap kamu semangat mencari pekerjaan."
"Terima kasih, aku pasti akan membayarnya. Tapi, aku akan bertanya sekali lagi, apa benar kamu ingin tinggal disini? Apa orang tuamu tidak akan marah?"
"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap."Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?" "Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?" Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.----------Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru. Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun kare
Eliza berbalik, menatap kelakuan pria itu yang semakin membuatnya geram. Napasnya tersengal naik turun menahan emosi dan takut secara bersamaan."Kemarilah. Percuma jika kau ingin melawan. Semua pegawaiku akan langsung senang ketika aku menawarkannya.""Aku berbeda dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk bekerja disini. Jadi biarkan aku pergi." "Tentu tidak semudah itu. Aku sudah meloloskan interview mu. Jadi kau sudah resmi menjadi karyawan restoran ini. Dan kau juga harus melakukan prosedur sesuai kontrak."Pria itu mengantongi kembali kunci pintu ruangan itu. Lalu ia berjalan ke mejanya percaya diri, meskipun dengan celana dalam yang masih terlihat jelas. Pria itu mengambil sebuah kertas dari laci, lalu melemparkannya ke hadapan Eliza."Baca baik-baik peraturan itu."Eliza bergegas mengambil kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tertera beberapa poin prosedur pekerjaan yang membuatnya tercengang. Poin dua adalah setelah interview dan diterima maka karyawan
Susan langsung paham, kemudian menarik kembali tubuh Eliza dalam pelukannya."Katakan padaku, dimana toko itu berada?"Eliza mengangguk sambil kembali terisak dalam dekapan sahabatnya.Dua hari setelah kejadian itu, Eliza sudah dapat mengontrol traumanya berkat bantuan Susan.Susan terus membantu Eliza memberikan doktrin-doktrin yang baik untuk otaknya. Mereka telah membuat sebuah rencana untuk melakukan pembalasan. Mereka akan melakukannya malam ini. Eliza dan Susan menyeringai seram, saat menatap rentetan rencana pembalasan di sebuah papan tulis yang tergantung di dinding kamar mereka."Apa kamu siap, El?" "Yes, girl. I am ready for sure.""Ok. Just kill him then."Jadi di sinilah Susan. Dia sudah melakukan pengintaian selama dua malam sebelum hari eksekusi rencana bersama El.Jadwal pria pemilik restoran itu telah dikantongi dengan rapi. Demikian juga jadwal para pelayan yang dan kunjungan pelanggan ke restoran. Mereka juga telah melakukan riset tentang pria itu melalui media sos
Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal. Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya. "Mana kopi untukku?" tanya Susan "Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil
Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi
Merasa percuma jika dia menegur wanita itu, Vico akhirnya melenggang pergi tanpa mengindahkan perkenalan diri Eliza.Eliza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa dengannya? Aneh." Eliza kembali membuatkan kopi yang atasannya minta. Setelah itu Eliza bergegas membawa kopinya ke dalam ruangan bosnya. Namun saat dia memasuki ruangan Reiz, Eliza sedikit terkejut mengetahui Vico telah duduk di ruangan Reiz, sang atasannya.Eliza tetap masuk dan menyuguhkan kopi milik Reiz. "Silahkan Tuan, ini kopi Anda."Vico melirik tajam ke arah Eliza. "Lihatlah, dia lebih cocok menjadi pelayan cafe daripada bekerja sebagai sekretaris. Kau ini ceroboh sekali."Sakit rasanya ketika Vico berkata dengan menghinanya. Raut wajah Eliza yang semula tersenyum ramah menjadi muram. "Apa kau bilang barusan? Dasar CEO sombong." Brak! Eliza memukulkan baki yang tadi digunakan untuk membawa cup kopi ke kepala Vico. Vico meringis kesakitan sampai berdiri dari kursinya. "Apa yang kau lakukan?""Rasakan akiba
*Tanggal gajian tiba*Pagi ini Eliza berangkat kerja dengan penuh semangat. Dia melempar senyum hampir pada setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Dari karyawan sebanyak itu, ada yang membalas senyumnya ada juga yang mengacuhkannya dan menganggapnya aneh.Setibanya di ruangannya, Eliza langsung menaruh tas dan masuk ke ruangan bosnya. Dengan raut wajah gembira dia merapikan meja Reiz, juga membersihkan debu-debu kecil dengan tisu basah dengan hati-hati. 'Ayah, tunggulah. Nanti malam aku akan pulang.'Rencananya hari ini Eliza akan meminta izin pada Reiz untuk pulang sebentar guna menjenguk sang ayah yang sakit. Dalam hati, Eliza yakin, Reiz yang baik hati akan mengizinkannya untuk cuti esok hari.Klek. Sontak Eliza menatap ke arah pintu. Eliza langsung membungkukkan badannya sedikit dan menyapa atasannya. "Selamat pagi, Tuan Reiz," sapa Eliza dengan senyum ramahnya."Pagi, El. Kau berangkat pagi sekali.""Rumah saya lumayan jauh, Tuan. Saya berusaha untuk tidak terlambat."Reiz
"Tapi, Bos. Saya tidak berani," tolak Eliza terbata. "Aku yang menyuruhmu. Jadi jangan merasa takut dan lakukan saja. Aku benar-benar sedang lelah."Reiz memahami keseganan Eliza, namun dia sengaja membiarkan Eliza untuk duduk disana. Reiz tersenyum tipis sambil kembali menutup matanya.Eliza merasa canggung, namun dia juga bingung, jika sampai laporannya tidak selesai hanya karena takut duduk di kursi bosnya, itu pasti akan menjadi nilai minus untuknya. Perlahan, Eliza duduk di kursi kebesaran Reiz. Eliza sempat melirik bosnya, memastikan apakah dia sudah tidur atau sedang memperhatikannya dari sana. Mengetahui Reiz sepertinya sudah tidur, Eliza mulai merasa lega. Dia mengatur posisi nyamannya dan mulai mengetik.Namun tanpa Eliza ketahui, Reiz diam-diam memperhatikannya dari sana. Reiz sempat menyungging senyum sebelum akhirnya benar-benar lelap.Eliza mengerjakan pekerjaannya dengan cekatan. Fokusnya tidak terpecah dengan suatu apapun. Hanya sesekali dia melirik pria berwajah ta