"Duduklah."Vico menarik Eliza perlahan untuk kembali ke kursinya. Eliza menurut dan tetap diam. Dia tidak ingin memperburuk keadaan dengan mengucapkan kata yang dapat memantik api dalam situasi ini.Liliana merasa percuma jika terus berdebat dengan Vico. Targetnya beralih untuk mencecar dan membuat mental Eliza jatuh, tentu agar gadis itu merasa kapok dan berhenti menjalin hubungan dengan putranya."Dari keluarga mana kamu berasal?"Eliza sontak menatap Liliana, tatapannya seperti awan yang mendung. Namun Liliana masih menatapnya nanar menunggu jawaban. "Di Universitas apa kamu belajar?"Eliza semakin bingung saja, sungguh ini lebih merepotkan dan menegangkan daripada interview kerja dengan Vico saat itu. "Dan…apa pekerjaan ayahmu?"Deg. "Cukup!" Vico langsung memotong pembicaraan sang ibu sebelum muncul pertanyaan lainnya. Liliana yang merasa tidak terima langsung melotot menatap tajam putranya. "Ibu sedang bicara dengan gadis itu. Tunjukkan sikap sopan santun kepada ibumu.""Hu
Matahari pagi mulai mengintip dan perlahan terbit. Bias cahayanya berebut menyelinap ke celah jendela kamar Eliza. Sentuhan hangat sinarnya membuat Eliza membuka matanya. Eliza menatap langit-langit kamar untuk beberapa detik. Dadanya langsung berdegup kala ia mengingat bahwa dia sedang tidak sendirian di ranjang. Eliza sontak menoleh ke samping kirinya. Bibir lembut Vico menjadi sorotan pertama yang membuat Eliza membulatkan mata.Setelah sepersekian detik Eliza puas memandang wajah tampan itu, bibirnya perlahan mengulas senyum. Dia merasa ini seperti mimpi, bahwa dirinya tengah menjalin hubungan yang nyata dengan sang presdir, yang diidamkan banyak wanita.Eliza tidak ingin membangunkan Vico. Dia beranjak perlahan ingin membersihkan diri. Namun, tiba-tiba tangan Eliza tertarik dan sontak membuat tubuhnya kembali rubuh diatas ranjang. "Apa kau ingin pergi begitu saja?" ujar Vico yang masih memejamkan mata. Dia masih ingin lebih lama disana bersama Eliza. Memeluk wanitanya selama mu
Eliza meletakkan dua buket bunga yang dibelinya dalam perjalanan tadi. Dia duduk disamping nisan ayahnya sambil beberapa kali mengusap. "Ayah, aku datang."Reiz yang mengenakan kacamata hitam itu berdiri tidak jauh dari Eliza. Eliza menoleh ke arah Reiz, lalu kembali menatap nama yang tertulis di makan itu. "Dia adalah bosku yang sangat baik, Ayah. Dia bahkan mengingat janjinya untuk membawaku menjenguk ayah."Di pusara sang ayah, Eliza mengirimkan doa-doa terbaiknya. Eliza juga sempat bercerita tentang isi hatinya dengan suara lirih agar Reiz tidak mendengarnya. Namun pendengaran tajam Reiz mampu menangkapnya, dan membuat pria itu tersenyum lembut.Tiba-tiba Reiz turut duduk berjongkok di samping Eliza. "Bos, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu lama bicara, sampai Anda kelelahan berdiri.""Tidak. Aku juga ingin bicara pada ayahmu."Eliza mengangkat kedua alisnya. Ingin dia bertanya apa maksudnya, tapi dia merasa lebih baik melihat saja. "Tuan, namaku adalah Reiz Barbarossa. Aku a
"Tadi kami ada sedikit urusan, dan kami mampir ke kafe ini untuk istirahat sebentar." "Be-benar, Bos," timpal Eliza dengan senyuman yang sedikit bergetar. "Urusan apa, kalau aku boleh tahu?" cecar Vico dengan tatapan menyelidik. Sepengetahuan dirinya, hari ini Reiz tidak memiliki jadwal meeting di luar, jadi tentu dirinya penasaran urusan apakah sebenarnya yang mereka miliki sampai harus hangout berdua di kafe untuk istirahat sebentar. Lirikan Vico menjelajah keluar kafe, dimana tepat di depan bangunan kafe itu ada sebuah hotel mewah. Kedua netranya terlihat menyeramkan kala melihat hotel itu. Sebelum Vico berperang dengan pikiran kotornya, Eliza langsung menginterupsi keadaan."Kami baru saja berkunjung ke makam ayah saya, Bos. Dan, Tuan Reiz telah berbaik hati mengantarkan saya berkunjung kesana."Vico terlihat terkejut, lalu melirik adiknya untuk memastikan ucapan kekasihnya itu. Reiz terkekeh kecil karena melihat sang kakak yang mudah curiga itu. "Benar apa yang kekasihmu kata
Disisi lain, Liliana tampak sedang serius memandangi perhiasan berlian-berlian yang dijejer di hadapannya. Sofa putih yang sangat nyaman itu berada di toko perhiasan berlian miliknya. Ia sedang memilih beberapa model untuk di display sebagai item keluaran terbaru, dan akan meminta pihak pengrajin untuk modifikasi jika ada yang kurang sesuai dengan harapannya."Yang tengah itu, letakkan di tempat yang paling eksklusif," perintah Liliana pada seorang pegawainya yang berdiri di dekatnya. Pegawai itu segera mengambil perhiasan yang ditunjuk dan meletakkan sesuai instruksi sang atasan. Liliana memandangi pegawainya itu dari sofa tempatnya duduk. Tiba-tiba seorang pria berusia 30 an berjalan mendekati Liliana. Pria itu sedikit membungkuk seolah membisikkan sesuatu di dekat daun telinga Liliana. Dia adalah Richard, orang kepercayaan Liliana yang ditugaskan untuk sebuah misi."Dia tinggal di rumah yang disewa bersama Nona Susan.""Rupanya mereka bersahabat baik," gumam Liliana merespon bisi
"Ta-tapi Pak, kenapa beasiswa saya diputus?" tanya Eliza panik."Semua ini sudah keputusan Universitas, jadi saya tidak bisa membantu," ucap seorang kepala administrasi yang lalu pergi tanpa menghiraukannya lagi.Eliza adalah seorang gadis miskin. Kini, ia terancam putus kuliah karena tidak mampu membayar biaya kuliahnya. Selama ini, dirinya mengandalkan uang beasiswa untuk membiayai kuliah serta biaya hidupnya sehari-hari. Dengan beasiswa itu juga, Eliza dapat membantu sedikit biaya perawatan ayahnya yang sudah sakit parah dan hanya menjadi bunga ranjang selama ini.Namun, kabar ini meruntuhkan impiannya. "Sayang sekali kalau kamu harus cuti," ujar seorang petugas administrasi kemahasiswaan yang sedang menginput data dan permohonan cuti Eliza."Seandainya Universitas mau berbelas kasih padaku selama satu tahun saja, pasti aku tidak akan cuti," lirih Eliza penuh sesal. "Di zaman sekarang, yang beruang lah yang berkuasa. Kau harus punya kekuatan dari dalam untuk mendapat yang kau in
Namun, alih-alih mengatakannya, Reiz justru berdeham, "Ekhem. Bukankah kau akan mengikuti interview?""Benar, tapi izinkan saya membantu Anda lebih dulu sebagai ucapan terima kasihku."Melihat ketulusan dari mata Eliza, Reiz pun mengangguk. Ia langsung menjelaskan apa sebenarnya yang membuatnya kebingunan saat ini."Dokumen yang berisi penawaran harga dari Royal Gold Company. Tolong carikan itu untukku."Tidak membuang waktu, Eliza langsung bergegas mencarikan dokumen itu dalam lemari besar tersebut.Tumpukan dokumen di dalamnya memang cukup banyak. Bahkan Eliza juga merasa kebingungan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat sudah lebih dari sepuluh menit tidak menemukan dokumen yang dicarinya. Namun karena ia sudah berkata ingin membantu, Eliza harus mencarinya hingga ketemu."Baiklah. Jika hanya mencari tidak ketemu. Lebih baik sambil merapikan saja dokumen-dokumen ini. Pasti akan lebih mudah menemukannya."Eliza mulai merapikan dokumen yang berantakan itu, ia menyesuaikan dengan t
Reiz sudah mengerti sikap kakaknya itu, hanya bisa menghela napas."Ayo kita keluar," ajaknya pada Eliza yang mengikutinya dari belakang.Reiz tidak tahu sebelumnya, jika Eliza adalah masih berstatus sebagai mahasiswa. Jika ia tahu, dia juga tidak akan repot-repot membantunya untuk bertemu Vico. Karena Reiz saja sudah dapat memberikan jawabannya.Wajah Eliza sangat terlihat putus asa. Namun Reiz tidak bisa membantunya meskipun ia adalah adik dari Vico sendiri.Pria itu mengantar Eliza hingga ke lantai satu. "Saya akan pergi sendiri. Terima kasih Anda telah membantuku," ucap Eliza lalu membungkuk sebelum keluar dari lift."Maafkan aku," ucap Reiz."Anda tidak bersalah. Saya lah yang bersalah karena saya hanyalah seorang mahasiswa yang hampir putus kuliah."Sekali lagi Eliza membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan pria itu.------Lima hari sudah berlalu, Eliza yang sudah hampir putus asa dengan hidupnya masih terlelap di kasur empuknya. Alarm ponsel dari tadi sudah be