Eliza berbalik, menatap kelakuan pria itu yang semakin membuatnya geram. Napasnya tersengal naik turun menahan emosi dan takut secara bersamaan.
"Kemarilah. Percuma jika kau ingin melawan. Semua pegawaiku akan langsung senang ketika aku menawarkannya.""Aku berbeda dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk bekerja disini. Jadi biarkan aku pergi.""Tentu tidak semudah itu. Aku sudah meloloskan interview mu. Jadi kau sudah resmi menjadi karyawan restoran ini. Dan kau juga harus melakukan prosedur sesuai kontrak."Pria itu mengantongi kembali kunci pintu ruangan itu. Lalu ia berjalan ke mejanya percaya diri, meskipun dengan celana dalam yang masih terlihat jelas. Pria itu mengambil sebuah kertas dari laci, lalu melemparkannya ke hadapan Eliza."Baca baik-baik peraturan itu."Eliza bergegas mengambil kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tertera beberapa poin prosedur pekerjaan yang membuatnya tercengang. Poin dua adalah setelah interview dan diterima maka karyawan wanita baru wajib melayani hasrat bosnya sebagai rasa berterima kasih pada Tuhan.Poin ketiga dalam surat itu adalah, melakukan hubungan dengan bos wajib dalam satu minggu minimal tiga kali. Poin keempat, untuk memperpanjang kontrak, karyawan wajib melakukan hubungan three some dengan mengajak satu teman baru wanitanya sebagai imbalan pada bosnya."Ini sangat gila," maki Eliza sambil meremas kertas itu lalu melemparkan kertas tersebut ke lantai.Tindakan Eliza tersebut memicu kemarahan pria itu. Kemudian pria itu menghampiri Eliza lalu menjambak rambutnya dan menyeretnya kembali ke kursi."Lepaskan!" Eliza meronta dan berusaha melepaskan tangan pria itu, namun tenaga pria itu lebih kuat berkali lipat darinya.Pria itu menghempaskan Eliza duduk kembali ke kursi. Eliza meringis kesakitan setelah pria itu melepaskan jambakannya.Segera pria itu membuka kain segitiga yang menutupi bagian vitalnya dan memaksa Eliza melakukan hal tidak senonoh untuk memuaskan nafsunya.Eliza mengatupkan mulutnya dan menggeleng cepat. Menolak permintaan pria gila di depannya.Karena semakin emosi, pria itu berusaha membuka kancing kemeja yang dikenakan oleh Eliza.Eliza langsung menghalanginya dengan kedua tangan yang menutupi dadanya. Lagi-lagi pria itu semakin marah dan semakin memaksa dengan kasar untuk berusaha mencium Eliza.Sontak Eliza langsung memalingkan wajahnya dan berusaha keras berdiri dari kursi lalu lari ke pintu.Eliza berusaha menggedor-gedor pintu itu sambil berteriak meminta tolong."Tolong tolong tolong aku, siapapun di luar sana tolonglah aku."Pria itu berjalan perlahan untuk menghampiri Eliza. "Tidak akan ada orang yang menolongmu."Selain belum ada karyawan yang datang saat Eliza tiba tadi, semua karyawan disana juga tidak akan berani untuk menolong Eliza. Mereka yang bekerja di sana sudah tahu apa yang sedang dilakukan oleh bosnya di dalam.Mereka yang bekerja disitu juga sama, mereka pernah melewati masa itu. Lalu ada yang menerima pekerjaan itu dengan senang hati setelahnya dan bersedia menjadi budak nafsu bosnya. Ada yang juga langsung kabur setelah digagahi oleh bosnya dan tidak kembali lagi. Dan ada yang tetap menerima pekerjaan itu karena demi bertahan hidup.'Aku harus keluar dari sini. Tuhan, tolonglah aku.'Air mata Eliza sudah meluruh membasahi wajahnya. Hatinya tidak berhenti untuk berdoa. Ia hanya ingin selamat dari sini sekarang.Namun pria itu semakin dekat jaraknya, Eliza berbalik badan sehingga mereka berdiri berhadapan.Kurang ajarnya, pria itu sudah menunjukkan alat vitalnya dengan percaya diri. Saat pria itu berusaha menangkap Eliza kembali, sebuah tendangan keras dari Eliza tepat sasaran pada bagian alat vita pria itu.Sontak pria itu meringis, merasakan sakit yang bukan main. Melihat serangannya berhasil, Eliza menambahkan lagi tendangan kedua sebagai hadiah untuk pria itu.Tendangan kedua itu sukses membuat pria mesum itu tergeletak di lantai setengah sadar.Eliza tidak membuang kesempatan. Ia langsung mengambil kunci di dalam saku celana pria yang berserak di lantai dan segera membuka pintu.Diluar sudah tampak ada tiga karyawan perempuan yang terkejut melihatnya keluar. Sama terkejutnya dengan Eliza yang melihat mereka yang mau menyetujui poin-poin perjanjian kerja yang gila itu.Eliza langsung berlari keluar sebelum tertangkap kembali. Sekuat tenaga Eliza berusaha untuk tidak tertangkap meskipun dia tidak tahu apakah pria yang tergolek lemas itu akan mengejarnya atau tidak.Setelah cukup jauh, Eliza berhenti. Nafasnya terengah-engah, dia sangat kelelahan setelah berlari kencang.Eliza merunduk mencoba mengatur nafasnya sebelum kembali berlari. Setelah beberapa saat, napasnya mulai teratur lagi. Eliza berjalan sedikit ke depan sebelum akhirnya berhenti di halte bus.Beberapa orang di halte itu tampak memandang Eliza, namun dia mengabaikannya. Tidak lama kemudian, bus pun datang. Lalu dia segera menaikinya dan duduk dengan lega.Saat ia menghadap kaca jendela, Eliza baru sadar, penampilannya sangat berantakan. Pantas saja dari tadi orang di halte itu melihatnya dengan pandangan tidak biasa.Mungkin mereka mengira dirinya adalah wanita penggoda yang baru melakukan tugasnya dan lari membawa kabur barang berharga milik pelanggan. Seperti kasus-kasus yang sudah sering terjadi di kota mereka."Ah sial," umpatnya dan langsung segera merapikan rambut juga mengancingkan tiga kancing bagian atas kemejanya.****Brak!
Begitu tiba, Eliza membanting pintu rumahnya. Dia merasa sangat kesal atas perlakuan yang didapatnya. Sebenarnya dia juga merasa sangat takut, namun demi bertahan hidup di dunia yang keras ini dia berusaha menepis ketakutannya tadi.
"El, bagaimana wawancaranya?" tanya Susan ketika melihat sahabatnya itu pulang.
Eliza lupa bahwa dirinya sudah memiliki partner tinggal di rumahnya. Tubuh Eliza membeku seketika, lalu dia lari menghamburkan diri dalam pelukan Susan.
Eliza menangis sejadinya, dan sangat kencang. Ternyata dia tidak sekuat yang dia inginkan. Dia tetap lemah, saat mengingat rasa takut atas kejadian yang dialaminya tadi.
Susan yang bingung melihat Eliza tergugu dalam peluknya, hanya bergeming dan memeluknya dengan hangat. Susan membiarkan sahabatnya itu meluapkan perasaannya sampai dia merasa tenang. Dan kemudian Susan baru akan mencoba bertanya apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Eliza mengeratkan pelukannya, Susan juga membalasnya. Hampir setengah jam Eliza terisak dalam pelukan Susan, membuat baju di dada Susan sedikit basah karena air mata juga ingus sahabatnya.
Mereka melepas pelukannya, setelah Eliza merasa mulai tenang. Susan menatap lembut pada sahabatnya itu. "Hei, apa yang terjadi padamu?" tanya Susan lembut.
Dengan dada yang masing sesak, dan kerongkongan yang masih perih tercekat, Eliza berusaha berbicara. Namun dia masih gagu juga.
Susan mengajaknya duduk di kursi makan, agar Eliza menjadi lebih nyaman saat bercerita. Susan mengambil segelas air mineral dan memberikannya pada Eliza.
Eliza langsung meneguk air mineral itu hingga membuatnya lebih tenang. "Aku tidak ingin pergi wawancara lagi. Aku takut."
Susan mengerutkan keningnya, bingung. Sampai dia curiga tentang serangan pelecehan sexual yang mungkin terjadi pada sahabatnya. Namun dia urung untuk menyebutnya, karena takut membuat Eliza tersinggung. Lebih baik biar Eliza yang langsung mengatakannya.
"Orang itu sangat menjijikkan. Dia memaksaku untuk melayaninya jika aku ingin bekerja padanya. Dia menjebakku. Dia memberikan kontrak yang sangat menjijikkan."
"APA?!"
Susan langsung paham, kemudian menarik kembali tubuh Eliza dalam pelukannya."Katakan padaku, dimana toko itu berada?"Eliza mengangguk sambil kembali terisak dalam dekapan sahabatnya.Dua hari setelah kejadian itu, Eliza sudah dapat mengontrol traumanya berkat bantuan Susan.Susan terus membantu Eliza memberikan doktrin-doktrin yang baik untuk otaknya. Mereka telah membuat sebuah rencana untuk melakukan pembalasan. Mereka akan melakukannya malam ini. Eliza dan Susan menyeringai seram, saat menatap rentetan rencana pembalasan di sebuah papan tulis yang tergantung di dinding kamar mereka."Apa kamu siap, El?" "Yes, girl. I am ready for sure.""Ok. Just kill him then."Jadi di sinilah Susan. Dia sudah melakukan pengintaian selama dua malam sebelum hari eksekusi rencana bersama El.Jadwal pria pemilik restoran itu telah dikantongi dengan rapi. Demikian juga jadwal para pelayan yang dan kunjungan pelanggan ke restoran. Mereka juga telah melakukan riset tentang pria itu melalui media sos
Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal. Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya. "Mana kopi untukku?" tanya Susan "Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil
Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi
Merasa percuma jika dia menegur wanita itu, Vico akhirnya melenggang pergi tanpa mengindahkan perkenalan diri Eliza.Eliza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa dengannya? Aneh." Eliza kembali membuatkan kopi yang atasannya minta. Setelah itu Eliza bergegas membawa kopinya ke dalam ruangan bosnya. Namun saat dia memasuki ruangan Reiz, Eliza sedikit terkejut mengetahui Vico telah duduk di ruangan Reiz, sang atasannya.Eliza tetap masuk dan menyuguhkan kopi milik Reiz. "Silahkan Tuan, ini kopi Anda."Vico melirik tajam ke arah Eliza. "Lihatlah, dia lebih cocok menjadi pelayan cafe daripada bekerja sebagai sekretaris. Kau ini ceroboh sekali."Sakit rasanya ketika Vico berkata dengan menghinanya. Raut wajah Eliza yang semula tersenyum ramah menjadi muram. "Apa kau bilang barusan? Dasar CEO sombong." Brak! Eliza memukulkan baki yang tadi digunakan untuk membawa cup kopi ke kepala Vico. Vico meringis kesakitan sampai berdiri dari kursinya. "Apa yang kau lakukan?""Rasakan akiba
*Tanggal gajian tiba*Pagi ini Eliza berangkat kerja dengan penuh semangat. Dia melempar senyum hampir pada setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Dari karyawan sebanyak itu, ada yang membalas senyumnya ada juga yang mengacuhkannya dan menganggapnya aneh.Setibanya di ruangannya, Eliza langsung menaruh tas dan masuk ke ruangan bosnya. Dengan raut wajah gembira dia merapikan meja Reiz, juga membersihkan debu-debu kecil dengan tisu basah dengan hati-hati. 'Ayah, tunggulah. Nanti malam aku akan pulang.'Rencananya hari ini Eliza akan meminta izin pada Reiz untuk pulang sebentar guna menjenguk sang ayah yang sakit. Dalam hati, Eliza yakin, Reiz yang baik hati akan mengizinkannya untuk cuti esok hari.Klek. Sontak Eliza menatap ke arah pintu. Eliza langsung membungkukkan badannya sedikit dan menyapa atasannya. "Selamat pagi, Tuan Reiz," sapa Eliza dengan senyum ramahnya."Pagi, El. Kau berangkat pagi sekali.""Rumah saya lumayan jauh, Tuan. Saya berusaha untuk tidak terlambat."Reiz
"Tapi, Bos. Saya tidak berani," tolak Eliza terbata. "Aku yang menyuruhmu. Jadi jangan merasa takut dan lakukan saja. Aku benar-benar sedang lelah."Reiz memahami keseganan Eliza, namun dia sengaja membiarkan Eliza untuk duduk disana. Reiz tersenyum tipis sambil kembali menutup matanya.Eliza merasa canggung, namun dia juga bingung, jika sampai laporannya tidak selesai hanya karena takut duduk di kursi bosnya, itu pasti akan menjadi nilai minus untuknya. Perlahan, Eliza duduk di kursi kebesaran Reiz. Eliza sempat melirik bosnya, memastikan apakah dia sudah tidur atau sedang memperhatikannya dari sana. Mengetahui Reiz sepertinya sudah tidur, Eliza mulai merasa lega. Dia mengatur posisi nyamannya dan mulai mengetik.Namun tanpa Eliza ketahui, Reiz diam-diam memperhatikannya dari sana. Reiz sempat menyungging senyum sebelum akhirnya benar-benar lelap.Eliza mengerjakan pekerjaannya dengan cekatan. Fokusnya tidak terpecah dengan suatu apapun. Hanya sesekali dia melirik pria berwajah ta
Saat jam pulang kerja dan semua tugas telah selesai, Reiz menghampiri Eliza. Dia meminta Eliza ikut dengannya dengan alasan lembur untuk urusan pekerjaan diluar kantor. "Tapi Tuan. Apa saya harus benar-benar ikut?""Kenapa? Apa kamu memiliki rencana lain?""Ya, tapi…" Eliza melihat arlojinya. "Aku rasa waktunya masih cukup. Baiklah, aku akan ikut bersama Tuan."Eliza menurut. Reiz berjalan ke luar ruangan dan meminta Eliza mengikutinya. Eliza yang sudah siap pulang, bergegas mengekor di belakang Reiz dengan langkah cepat menuju ke halaman parkir. Kali ini Reiz membawa mobil Audi keluaran terbaru. Reiz sudah duduk di kursi kemudi. Eliza berjalan ragu-ragu ke arah pintu mobil sisi lainnya. Baru kali ini Eliza akan mengendarai mobil berdua dengan seorang bos, kaya dan tampan. Vibesnya bahkan sudah seperti kisah di cerita fiksi drama korea di dalam bayangannya.Glek. Otomatis pintu mobil terbuka, membuat Eliza sedikit terjengat kaget. "Masuklah," pinta Reiz lembut. Namun bukan hanya pi
"Apa kau baik-baik saja? Aku bisa memberikanmu izin berduka, El."Eliza menatap kosong di luar kaca jendela mobilnya. Dirinya enggan membuka bibirnya untuk bicara. Reiz terpaksa diam, dan menunggu Eliza bersedia bicara. Saat ini keduanya berada di dalam mobil, tepat di depan rumah mendiang ayahnya. Eliza merasa khawatir meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Namun Eliza juga tidak mungkin membawanya ke kota."Maukah Tuan menemaniku berkunjung seminggu sekali menemui ibuku?" tanya Eliza mulai mau membuka suara."Tentu saja." Jawaban Reiz yang cepat membuat hati Eliza lega seketika. Saat itu Eliza hanya ingin ditenangkan hatinya. Meskipun Reiz memberikan jawaban yang tidak jujur pun tidak mengapa. Namun tidak bagi Reiz. Jawaban itu merupakan janji yang akan dia pegang hingga waktu yang panjang. "Baiklah. Kita bisa kembali, Bos."Reiz segera tancap gas setelah Eliza memintanya. Sialnya, di pertengahan jalan tiba-tiba huja