Share

4. Jatuh Ke lubang yang Sama

Aku menangis. Bukan hanya karena sekujur tubuh terasa sakit. Serta area intim yang seperti terbelah ini. Namun, aku terisak karena menyesal. Merasa amat bodoh yang karena telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama.

"Cup ... cup ... cup ...." Jamie meraih kepalaku. Dia memeluk untuk menenangkan. "Sudah jangan menangis! Gak akan terjadi apa-apa. Percaya deh," bujuknya sambil terus membelai rambut panjangku.

"Aku takut hamil, Jam," isakku sedih.

"Kalo cuma sekali gak bakalan."

"Tapi, kalo iya bagaimana?" tukasku marah sekaligus khawatir.

"Aku pasti tanggung jawab," janji Jamie mantap.

Pemuda itu menyeka air mataku. Bibirnya terus memberikan kalimat yang menenangkan. Serta janji-janji manis.

Ketika terasa sinar matahari menerobos celah ventilasi bilik, Jamie mengajak balik. Pemuda itu mengulurkan tangan. Dengan menahan sakit, aku berjalan menuju motor. Jamie dengan setia memapah.

Seperti biasa dengan pedulinya memakaikan helm. Menatapku seksama. Telapak tangannya menyapu wajahku.

"Nanti kalo di depan Ibu dan ayahmu jalannya yang normal saja, ya! Jangan ngangkang," sarannya lembut.

Aku hanya bisa menurut. Setelah itu motor pun melaju. Di jalan Jamie mulai mengarang cerita. Mencari alasan kenapa bisa pulang terlambat. Dia juga menyuruhku untuk ikut berbohong.

Ketika sampai di rumah, terlihat Ibu sudah menunggu di teras. Ada ayah juga yang duduk lemah di kursi roda. Lelaki itu sudah satu tahun tidak bisa berjalan akibat kecelakaan motor yang menimpa. Di sisi lain ada adikku Salwa yang terlihat sibuk mengotak-atik ponsel. Wajahnya pun sama paniknya seperti Ibu. Pastinya dia tengah menghubungi nomorku atau teman.

"Kira ...." Ibu berseru senang begitu melihat kedatanganku. Wanita itu berserta Shakira langsung bergerak menyongsong. "Ya ... ampun, Nak! Ibu semalaman kelimpungan nyari-nyari kamu," kata Ibu sambil memegang tanganku. "Kenapa tidak pulang?" Matanya menatap selidik.

"Waktu kami ke luar mall, hujan besar menghadang kami, Bu." Jamie yang menjawab karena aku hanya menunduk diam, "makanya kami menunggu di mall lama. Tapi gak berhenti-henti hujannya. Ibu tahu sendiri kan semalam kaya apa hujannya," terang Jamie begitu meyakinkan.

"Iya, semalam banyak jalanan yang tergenang banjir juga." Ibu mengamini omongan Jamie.

"Maka dari itu aku dan Kira memutuskan menginap di rumah teman yang rumahnya dekat dengan mal." Jamie kembali berbohong.

"Oh ... ya sudah gak papa. Yang penting kalian baik-baik saja," sahut Ibu sudah mulai tenang. "Kira, lain kali hapenya dibawa ya! Biar mudah dihubungi," suruh Ibu menatapku serius.

"Iya, Bu," balasku lirih. Di usiaku yang saat itu hampir menginjak angka delapan belas tahun, belum pernah sekalipun aku berbohong pada Ibu dan keluarga. Makanya sedari aku membisu. Tidak menimpali omong kosongnya Jamie.

"Eum ... kalo begitu saya permisi dulu ya, Bu," pamit Jamie sopan.

"Iya. Hati-hati di jalan," balas Ibu tidak kalah lembut, "dan terima kasih banyak ya karena sudah menjaga Kira dengan baik," ucap Ibu tulus. Wanita itu amat percaya pada Jamie. Di dalam sana hatiku berkedut perih.

Maafkan aku telah membohongimu , Ibu.

"Sama-sama." Di sisi lain suara Jamie sedikit sumbang saat membalas ucapan Ibu. Pastinya dia merasa bersalah karena bukannya menjaga, Jamie justru merusakku.

Ibu dan Salwa membimbingku masuk begitu motor Jamie melaju pergi.

*

Semenjak kejadian itu aku sengaja menjauh dari Jamie. Begitu pun sebaliknya. Aku yang sibuk dengan pekerjaan rumah dan belajar. Jamie yang aktif pada hobinya yaitu basket dan balap motor.

Sebulan berlalu, menstruasiku bergulir tepat waktu. Aku bahagia. Ketakutan akan hamil ternyata tidak terbukti.

Aku dan Jamie kembali dekat. Apalagi menjelang ujian, pemuda itu lebih sering menemui. Dia tergolong siswa dengan nilai di bawah standar. Makanya banyak yang bilang jika Jamie hanya memanfaatkan kepintaranku.

Sering kali kami menghabiskan waktu berdua di perpustakaan untuk belajar bersama. Jamie bilang lebih cepat paham, jika aku yang mengajari. Padahal ia mampu membayar guru privat.

*

Satu bulan kemudian, Ibuku jatuh sakit. Dia terlalu bekerja keras demi menjaga agar dapur tetap mengebul. Walau pun masih punya suami, Ibu bagaikan seorang janda yang harus menghidupi keluarga. Itu dikarenakan Ayah yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk manis di kursi roda.

Ketika Ibu sakit, pesanan jahitan baju terbengkalai. Ibu kena typus. Lemah membuat ia hanya bisa tergolek lemah di kasur.

Aku dan Salwa memang bisa membantu pekerjaan rumah. Namun, belum ahli menggarap pesanan baju. Alhasil banyak pelanggan yang membatalkan orderannya. Dan tentu saja itu menggangu stabilitas ekonomi keluarga. Puncaknya pemilik kontrakan memberi peringatan jika kami tidak segera melunasi pembayaran, maka kami harus segera angkat kaki dari situ.

Sebagai anak sulung, aku dituntut untuk tanggap. Namun, aku juga bingung mau mencari pinjaman pada siapa. Ibu dan Ayah adalah seorang perantau. Mereka tidak punya sanak keluarga di sini. Tetangga sekitar pun sama kurang mampunya seperti kami.

Jamie. Akhirnya, hanya pada dia aku meminta pertolongan. Bukannya mau memanfaatkan, tetapi aku memang sangat membutuhkan. Apalagi Ibu juga harus dirawat opname biar lekas pulih.

Maka siang hari itu kuutarakan niat hati pada Jamie. Kuceritakan pula tentang kesusahan yang tengah menimpa. Jamie yang memang berasal dari keluarga berlebih dengan mudah mengiyakan.

"Tetapi, aku mau kamu privat aku di rumah." Dia mengajukan syarat ketika aku meminta bantuan.

"Kenapa gak di sekolah saja, Jam?" tanyaku bingung.

"Di sekolah gak tenang. Berisik banget. Aku mau ilmu yang kamu ajarkan masuk ke pikiran. Itu aja sih," dalihnya meyakinkan.

Karena memang sedang butuh, kuturuti kemauan Jamie. Pulang sekolah dia membawaku main ke rumahnya yang super besar. Di jalan ia menepikan motor di gerai ATM. Semenjak kelas satu SMA dia sudah punya kartu ATM sendiri.

Setelah menarik sejumlah uang sesuai pinjamanku, Jamie kembali mencaci motor. Rumahnya tampak sepi saat kami masuk. Hanya ada seorang pelayan wanita tua yang menyambut. Kedua orang tuanya teramat sibuk. Sering bepergian ke luar kota hingga ke ke luar negeri untuk masalah bisnis. Tak jarang Jamie sering kesepian di rumah.

Jamie menyuruh pelayan itu menyiapkan makanan. Kami berdua makan siang dengan lahapnya. Baru setelah itu belajar berdua di ruang keluarga.

Dengan telaten kuajarkan rumus matematika yang kata Jamie membuat kepalanya pusing. Pemuda itu begitu khusyu menyimak. Dua jam mengajar, Jamie mengaku baru mengaku paham.

Ketika aku pamit undur diri, Jamie menyerahkan sejumlah uang yang kupinjam.

"Makasih banyak ya, Jam. Aku janji aku segera melunasinya," ucapku sambil memberesi semua peralatan sekolah yang bercecer di atas meja.

"Kamu gak perlu menggantinya. Cukup dengan membuatku senang maka, hutangmu akan lunas," jawab Jamie dengan tatapan aneh.

"Mak-maksud kamu?" tanyaku sedikit takut. Pasalnya tatapan Jamie mengingatkan aku kejadian malam lalu. Ketika dia membujukku untuk tidur.

Jamie bergerak mendekat. "Hubungan itu saling memberi dan menerima." Kini ia menarik lenganku hingga jatuh ke dalam dekapannya. "Aku mau tidur lagi denganmu" bisiknya merayu.

"Gak!" Aku menggeleng cepat dan lekas menjauh. "Cukup malam itu saja," tegasku sambil menyangklong tas punggung.

"Ayolah, Kira! Sekali ini aja," rengeknya kembali merapat.

"Kamu dulu juga bilang begitu."

"Buktinya kamu gak hamil kan?" Dia menukas cepat, "aku akan mengeluarkannya di luar. Jadi aman." Jamie berucap lirih sambil menaikkan alis sebelah.

"Enggak!"

"Ya ... udah! Balikin sini duitku!" Jamie mengancam serius.

Aku diam tidak berkutik. Bingung. Aku takut berbuat dosa itu lagi, tapi juga takut jika pulang tidak membawa uang. Kami akan diusir dari rumah serta perawatan Ibu juga yang mesti diprioritaskan.

Mengetahui aku dilanda dilema. Jamie menarikku ke dalam kamarnya. Lalu untuk kedua kalinya kami melakukan hal bodoh itu kembali.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
ooh...emang dr awal udah brengsek si jamie ini ya ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status