Share

5. Benih Cinta

Ujian sudah di depan mata. Jamie semakin intens mendekat. Dia butuh aku untuk mengajari. Dan aku butuh dia untuk berbagi resah.

Mungkin karena imanku yang lemah atau justru sudah menikmati, dosa-dosa itu terjadi berulang. Bagaikan asupan gizi usai belajar bersama, Jamie akan mengajakku tidur.

Rumahnya yang memang selalu sepi menjadi tempat teraman kami memadu kasih. Walau pun setelah itu aku akan menangis dan menyesali. Seperti biasa dengan janji-janji manis Jamie selalu bisa menenangkan.

Lalu hari menegangkan itu tiba. Kami para siswa akhir bertempur menghadapi ujian. Seminggu lebih otak kami benar-benar diperas. Beruntung sedari kecil Allah menganugerahi aku otak yang lumayan encer. Sehingga ujian ini dapat kulalui sebaik mungkin.

Ujian yang sudah berakhir membuat aku dan Jamie jarang bertemu kembali. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas dua belas sudah tidak ada lagi. Kami hanya sesekali masuk sekolah.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Membantu pekerjaan Ibu, serta merawat Ayah yang dari ke hari kondisinya kian menurun.

Pagi ini usai sholat subuh, aku memutuskan untuk tidur kembali. Sudah beberapa malam aku bergadang. Menemani Ibu menyelesaikan orderan.

Ketika tengah terlelap tidur, Salwa mengguncang tubuh.

"Mbak, bangun! Tumben pagi-pagi tidur lagi," kata Salwa sambil menepuki lenganku.

"Apa sih, W*?" Aku menggeliat malas, "kepala aku pusing nih ... semalam tidur larut. Kamu tuh malas bantuin Ibu," tuturku dengan mata tertutup.

"Bagi pembalut dong, Mbak!" pinta Salwa yang sudah duduk di tepi ranjang, "bocor nih. Stok aku sudah habis," lanjut remaja kelas delapan itu.

Aku menggeliat panjang. Tangan ini merentang ke atas. Tiba-tiba aroma minyak wangi yang Salwa pakai menusuk hidungku.

"Aduuuh ... W*! Kamu pakai minyak wangi apa sih? Baunya gak enak banget deh," tegurku sambil menutup hidung rapat-rapat. Benar-benar parfum Salwa membuat kepala ini kian pening.

"Idiiih! Ini kan parfum yang Mbak Kira pilihkan," balas Salwa sambil menatapku bingung. "Kamu aneh deh, Mbak!" oloknya sambil memiringkan bibir karena melihatku terus menutup hidung. Mana pembalutnya?"  Tangan Salwa tengadah.

"Ambil tuh di laci!"  suruhku sambil menunjuk meja belajar yang menempel ke tembok. Sementara tangan kiri terus menutup hidung.

Salwa langsung bangkit berdiri. Gadis yang sudah segar mewangi sehabis mandi pagi itu, gegas menuju laci yang kumaksud. Gadis itu mengambil satu pack pembalut berwarna oranye milikku.

"Kok punya Mbak Kira masih utuh?" tanya Salwa dengan tatapan heran.

"Ya kan aku memang suka telat," jawabku santai dan masih menutup hidung. "Memang sekarang tanggal berapa?" Kini aku sudah duduk di tepi ranjang.

"Satu April," balas Salwa sambil melangkah ke luar.

Aku sendiri terkesiap mendengarnya. Otak ini berputar. Terakhir kali aku dapat menstruasi adalah awal bulan Februari.

Bibir ini kugigit keras. Jamie tidak pernah pakai pengaman setiap kali kami berhubungan. Dan kami pernah melakukan saat aku tengah masa subur.

Aku harus ketemu Jamie!

Kebetulan hari ini kami berangkat sekolah untuk penyuluhan. Jam di tembok menunjukkan pukul enam pagi. Tanpa berpikir lagi kusambar handuk dan bersiap membersihkan badan. Di dapur kujumpai Ibu yang sedang berkutat dengan kompor dan wajan.

"Hari ini masuk sekolah, Ki?" tanya Ibu menoleh sekilas. Lalu kembali mengaduk bumbu yang ia tumis.

"Iya." Aku menjawab pelan. "Huekkkk!"

Perutku mual mencium bau bumbu digoreng. Isi perut berupa cairan ke luar. Bahkan cairan warna kuning yang terasa begitu pahit di tenggorokan juga ikut ke luar.

"Kamu kenapa, Ki? Masuk angin?" tanya Ibu dari luar.

"Sepertinya iya, Bu," jawabku lemah. Tangan ini mengelap bibir yang penuh cairan.

"Beli obat, Ki, biar gak terlanjur sakit."

"Iya."

Dengan perasaan galau, kusiram tubuh ini dengan air dari dalam bak. Dingin. Hatiku terus saja dipenuhi tanya, apakah aku hamil?

Selain telat, aku juga jadi gampang mudah sakit. Tiba-tiba aku juga ingat, beberapa hari terakhir ini setiap hari aku selalu minta dibelikan kedondong jika Ibu pergi ke pasar.

Benarkah aku hamil?

Mandi kubuat singkat. Nasi goreng yang Ibu siapkan sama sekali tidak menggugah selera. Aku ingin segera bertemu dengan Jamie.

Di dalam angkot, kepalaku benar-benar pening. Aroma minyak angin dari seorang Ibu-ibu penumpang membuat perutku serasa diaduk-aduk. Begitu turun dari angkot, aku muntah kembali.

Lemah aku berjalan memasuki sekolah. Hari ini ada pengambilan cap tiga jari dan juga penyuluhan. Beberapa teman menegurku.

"Kok pucat gitu? Lagi sakit?" tanya teman sebangku.

"Iya nih masuk angin," balasku mencoba tersenyum.

Usai pengambilan cap tiga jari dan tanda tangan, aku ke luar kelas. Langkahku tertuju pada kelasnya Jamie. Nihil. Kata temannya, pemuda itu sedang asyik di lapangan basket.

Kakiku melangkah cepat ke lapangan basket. Benar adanya, Jamie tengah asyik bermain bola keranjang itu. Wajahnya tampak ceria. Apalagi seperti biasa cewek-cewek berteriak histeris saat dia mampu memasukkan bola itu ke keranjang.

Begitu melihat kedatanganku, Jamie menyudahi permainan. Ketika dia mengajak ke kantin sekolah, aku menolak. Tangannya kutarik ke taman sekolah yang lumayan sepi.

"Ada apa?" Jamie melepaskan pegangan ketika kami tiba di bangku. Pemuda itu langsung duduk santai di bangku. Matanya menatapku lama. "Kamu kelihatan pucat, tapi ...." Dia tidak melanjutkan ucapan. Hanya menarik lenganku hingga duduk berdampingan. "Tapi ... dadamu terlihat lebih besar," bisiknya.

"Apa sih?!" Aku mendepaknya kesal.

"Iya! Beneran ... sumpah deh!" Jamie menyakinkan omongannya dengan mengacungkan dua jari. "Besok-besok kalo ke sekolah pake jaket. Aku gak mau tubuh atasmu jadi incaran mata nakal teman-teman," sarannya terdengar begitu perhatian. Aku sendiri hanya diam mendengarkan. Bingung mau memulai cerita.

"Oh ya ... kamu ngapain nyari aku? Kangen ya?" goda Jamie setelah beberapa menit kami terdiam.

"Ee ... eum ... aku telat, Jam," ungkapku takut.

"Telat apa? Telat masuk sekolah?" Jamie menanggapi dengan cengiran.

"Aku telat datang bulan, Jam."

Jamie membeku. Namun, detik berikutnya dia menggeleng. "Kamu biasa telat kan, Ki. Dan itu wajar karena kamu masih remaja," ujarnya menenangkan.

"Kalo aku hamil beneran gimana, Jam?" selaku kian panik. Jamie sendiri juga menunduk. "Jam, jawab! Kalo aku hamil gimana? Kamu janji akan bertanggung jawab kan?"

"Tentu." Jamie menyahut pasti, "tapi kamu pastikan dulu kamu beneran hamil atau cuma telat biasa," sarannya sambil bangkit berdiri.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku mencekal lengannya.

"Aku mau menemui guru olahraga. Ada yang harus dibicarakan-"

"Jam!"

"Aku gak akan ninggalin kamu. Percaya deh," janjinya sambil mengelus pipiku. "Sudah ya? Aku pergi dulu."

Tanpa menunggu persetujuan dariku, Jamie berlalu. Dia melangkah terus tanpa mau menoleh. Meninggalkan aku dalam kebimbangan.

Galau antara hamil dan tidak membuatku mengambil keputusan. Selepas pulang sekolah, sebuah apotek aku tuju. Sedikit ragu saat membeli barang itu.

"Tes pack?" Pelayan itu memincing mendengar aku menyebut benda itu. Matanya tajam seragamku.

"Eum ... iya. Itu titipan punya Tante saya," jawabku bohong.

"Oh ... sebentar!" Wajah curiga pelayan itu berubah ramah setelah mendengar jawaban bohongku.

Ada beberapa jenis tes pack yang ditawarkan. Karena memang tidak begitu paham, kupilih yang harganya sesuai uang di kantong. Ketika memasukkan benda tersebut ke tas, hatiku berdebar takut.

Kaki ini melangkah cepat menuju rumah yang sudah lumayan dekat. Begitu tiba di rumah, tanpa mengucap salam, aku gegas masuk kamar mandi. Kubaca secara seksama aturan penggunaan.

Setelah paham, kupraktekan aturan tersebut. Hatiku ketar-ketir menunggu hasil tes. Berulang kali mulut ini merapal doa. Berharap hasilnya adalah negatif. Namun, doaku tidak terkabul. Dua garis merah itu membuat tubuh luruh ke lantai. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status