Davin mengusap kepalanya kasar, lalu mendesah dengan berat. Pria itu sangat tertekan dengan fakta keguguran Lia, sebab walaupun sudah lama, tapi mimpi itu masih tak terkubur. Sampai sekarang itu masih ada, Davin dan Lia sejak menikah menginginkan momongan.
'Bagaimana sayang?' tanya Davin beberapa tahun lalu saat mereka masih bersama dan hubungan keduanya masih belum merenggang.
'Negatif lagi ....' Lia menundukkan kepalanya, matanya berkaca-kaca dan dia ingin menangis saat itu juga. Perempuan itu sedih dan disaat yang sama dia tak bisa menahannya lagi, sampai tubuhnya sedikit bergetar menahan isak tangisnya yang akhirnya pecah.
Davin menghela nafasnya panjang kemudian tersenyum hangat dan menarik istrinya untuk dipeluk. 'Jangan menangis, kita sudah periksa bukan dan tak ada masalah apapun diantara kita. Artinya kita belum diberi kepercayaan saja untuk memiliki anak, atau mungkin kesempatan untuk pacaran lebih lama lagi!'<
Amel kembali mendatangi perusahaan putranya, bukan untuk melihat Davin, tapi untuk Lia. Benar, dia ke sana untuk mantan menantunya itu. Akan tetapi dia tak menemukan Lia di sana. Sudah tiga kali berturut-turut, hampir setiap harinya ke sana, tapi sampai sekarang Amel masih mendapatkan hasil yang mengecewakan. "Mama kemari untuk menemui Davin?" tanya Liona. Benar, itu adalah Liona bukan Lia. Sejak mengaku hamil anak Davin, wanita itu semakin menekan posisinya. Meski sudah lima tahun terus di status yang sama, masih tunangan Davin, tapi Liona malah bersikap seolah dia adalah nyonyanya Davin. "Apa urusanmu kesini, Liona? Aku ingat kau tidak bekerja di sini ...." Untuk sesaat Liona tak mampu menjawab pertanyaan itu, sampai bayangan Lia yang menjadi sekretaris Davin melayang di kepalanya. Wanita itu jadi punya ide dan bermaksud menjelek-jelekkan Lia dihadapan Amel. "Aku hanya menjaga Davin calon suamiku dari Lia, Ma. Hm, wanita mandul dan tukang selingkuh itu, sekarang sudah bekerja di
"Kamu kemana saja sih, beberapa hari ini? Aku lihat sekretarismu perempuan rendah-an itu juga tak ada di depan?" Liona menemui Davin. Sebenarnya dia sudah berusaha menjumpai tunangannya itu, sama seperti Amel yang berulang kali bertemu dengan Lia, maka Liona pun tak kalah dia menjumpai Davin. Di apartemen, rumah, tempat kerja dan bahkan menghubunginya lewat telepon. Davin tetap saja susah diajak bertemu, meski akhirnya usaha Liona tak sia-sia. "Jangan menggangguku dan pulanglah!" ujar Davin memperingatkan. Dia yang saat ini sibuk dengan setumpuk pekerjaannya, berkutat dengan laptop, sama sekali belum mengalihkan pandangannya untuk melihat Liona. Bagi Davin tunangannya itu sama sekali tak penting. "Aku tidak mau. Kamu tidak bisa mengusirku seperti ini!!" bantah Liona memberanikan diri bersikap tegas. Namun bukannya perduli atau menunjukkan ekspresi lain di wajahnya, setelah mendengar ucapan Liona, pria itu malah mengambil ponselnya lalu menghubungi asisten pribadinya. "Panggilkan
Davin masih tidak tahu siapa Raka yang sebenarnya, tapi dia tak pernah bisa menahan perasaan yang lebih pada anak itu. Dia tak bisa menolak dan bahkan sedih saat melihat anaknya menangis.Pagi ini dia dan Raka bangun cepat. Mereka langsung gosok gigi dan cuci muka. Sementara Lia masih terlelap dalam tidurnya. Tak mau membangun wanita itu, kedua laki-laki yang beda usia itu langsung ke dapur untuk sarapan bersama."Raka mau makan apa, Nak?" tanya Davin perhatian."Nasi goreng ayam goreng, Papa," jawab anak itu apa adanya.Untuk sesaat Davin mengangguk saja, kemudian ke kulkas dan memeriksa bahan yang ada. Namun, kemudian dia tersadar kalau dirinya tak bisa memasak."Kita makan di luar saja, yuk!" ajak Davin dengan tak punya pilihan.Raka mengangguk setuju saja, lalu dengan anehnya dia melanjutkan dengan menggelengkan kepala. "Teyus Mama gimana Papa?"&n
Raka langsung turun dari mobil Papanya Davin, dan bersiap menaiki mobil mainan baru yang baru saja dibeli Davin. Anak itu bersemangat dan Davin tersenyum senang melihatnya.Begitu mobil mainannya yang bisa dinaiki itu tiba, dan dikeluarkan petugas ekspedisi pengiriman, Raka memancarkan kegembiraannya, dan Davin segera membantunya untuk memakainya setelah diarahkan beberapa saat.Brum-brum!Raka bahkan masuk ke rumah dengan menaikinya. Davin mengikuti dari belakang sekaligus mengikutinya."Hati-hati sayang, jangan sampai menabrak atau jatuh!" ujar Davin memperingatkan.Raka segera mengangguk paham dan menurut pada Davin. "Baik Papa!"Tak berselang lama Lia muncul dari arah dapur sambil memakai celemek dan memegang spatula. Lia mendekat dan mencoba menghampiri Raka. Sayangnya karena sedang asik memainkan mainan mobil barunya, anak itu malah mengacuhkan ibunya.Lia menghela nafasnya kecewa dan Davin melihatnya. "Jangan mengganggunya. Apa kau ingin merusak kesenangan Raka lagi, hah?" omel
Davin baru saja tiba di gedung perusahaannya, ketika Liona tiba-tiba datang dan menghadangnya. Wanita itu terlihat sedikit pucat dan juga acak-acakan. "Menyingkir! Jangan menghadang jalanku!" ujar Davin sambil menatap tajam. Wanita satu ini sangat merepotkan dan suka sekali mengganggu hidupnya. Davin sudah muak dan ingin menyingkirkan Liona supaya berhenti mengganggunya. "Tolong dengarkan aku, sekali ini saja. Anak kita Ares sedang sakit dan dia sangat membutuhkanmu," kata Liona memohon. Davin terdiam untuk sesaat. Lalu terlihat berpikir keras. Anehnya meski tampilan Liona sangat menyakinkan atas apa yang baru saja di ucapkan Davin merasa tak percaya atau bahkan menunjukkan keresahannya sendiri. "Aku bilang, menyingkir dari jalanku!" ujar Davin dengan dingin. Pria itu bahkan dengan kasar mendorong Liona dari jalannya. Seandainya wanita itu tak segera sigap menyeimbangkan diri mungkin dia sudah terjatuh. "Dia anakmu Davin, ada apa denganmu?! Ares darah dagingmu!" tegas Liona sedi
Kebutuhan dapur sudah menipis, membuat Lia yang menyadari hal itu memutuskan untuk pergi belanja. Karena masih cuty kerja, Raka tidak dititip ke penitipan anak dan Lia membawanya untuk belanja."Mama sebenarnya kapok bawa kamu kemari lagi, Nak. Soalnya anak kesayangan Mama yang lumayan menguras dompet. Melihat apa saja yang menarik kamu langsung memaksa Mama beli itu," jelas Lia sembari membawa Raka menjauh dari rak perbelanjaan yang berpotensi membuatnya gagal membeli kebutuhan dapur."Tapi papa bilang Raka anak terbaiknya, bukan anak nakal, Ma," jawab Raka sambil mengingat ucapan Davin padanya saat mereka bersama. Beda dengan Lia yang lumayan galak, Davin sangat lembut dan baik hati. Bagi Raka yang tak tahu apa-apa itu, papanya adalah malaikat untuknya."Papa juga suka beliin banyak mainan sama Raka. Kata papa kalau Raka dah gede, papa mau belikan pesawat terbang biar Raka bisa ke langit jalan-jalan ke mana aja asal sama papa," lanjut Raka terlihat antusias membicarakan ayahnya.Juj
"Mama siapa nenek tadi?" tanya Raka penasaran.Saat ini Lia yang mood belanja karena bertemu Amel. Memutuskan untuk menyudahinya dan mengajak Raka untuk menikmati sesuatu. Mereka makan es krim untuk memulihkan perasaannya.Akan tetapi itu tak berjalan mulus sesuai harapan Lia, sebab anaknya Raka terus saja bertanya dan membuatnya semakin teringat saja dengan kenangan sulitnya beberapa tahun silam."Nenek tadi siapa, katakan Mama?" tanya Raka lagi lebih menuntut membuat Lia sedikit jengkel."Makan saja es krimnya atau kalau masih banyak bertanya lagi, sini es krimnya Mama habiskan saja supaya kamu tidak bisa menikmatinya?!" ancam Lia akhirnya menjawab.Namun bukannya takut, Raka malah menyerahkan es krimnya pada Lia. Aneh sekali dan membuat Lia heran karena biasanya Raka tak begitu. Kalau diancam biasanya anaknya pasti takut dan menurutinya."Mama makan saja, nanti Raka tinggal minta Papa belikan yang banyak. Papa itu baik, tidak sepelti Mama yang galak!" ujar Raka membuat Lia melotot
Davin sungguh menuruti Raka, membawa anak itu keluar dan membelikannya es krim sebanyak yang dia mau. Anak itu tampak senang dan kesenangan itu menular pada Davin."Raka suka?" tanya Davin sambil mengusap puncak kepala anaknya.Raka menganggukkan kepalanya sambil tersenyum menatap Davin. "Suka sekali. Raka juga senang karena Papa sekalian membeli kulkas es krimnya."Ah, ya. Tidak tanggung, Davin memang membeli isi sepaket dengan kulkas es krim tersebut. Membawanya pulang dan menaruhnya di bagian rumah yang mudah di jangkau semua orang.Lia yang baru saja selesai menyiapkan makan malam, terkejut dengan suara berisik dari ruang depan. Lalu cukup syok saat melihat saat memeriksanya."Apa yang kalian lakukan?!" tanya Lia dengan nada tak habis pikir. Berjalan menghampiri ayah dan anak itu lalu berkacak pinggang dan menatap tajam keduanya secara bergantian.Raka segera menunduk takut, sementara Davin malah tersenyum tanpa dosa."Kamu tidak seharusnya melakukan ini. Es krim sebanyak itu, apa