Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya.
“Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini. “Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.” “Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi. “Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget. Sampai-sampai Nyonya besar datang ke sini.” “J--Jadi, Mama Rida hamil dulu sebelum nikah, Bi? Terus Bu Ratna gimana nasibnya?” Aku memasang wajah kaget. Tepatnya pura-pura kaget. “Duh … jadi ngomongin orang ya, Non.” Bi Narti mulai terlihat takut. Dia celingukkan kanan kiri. “Gak ada orang kok, Bi. Gak usah takut. Bibi cerita saja.” Aku meyakinkan. “Bukan gitu, Non. Setahu Bibi, Bu Rida itu pasang CCTV banyak banget. Dulu pas mau masangnya, Bibi disuruh ke pasar. Jadi gak tahu di mana saja letaknya. Kalau di depan rumah itu kan kelihatan. Nah ini yang di dalam, takutnya ada di tempat-tempat yang gak kelihatan. Bibi takut, Non.” Aku bergeming. Satu hal yang tak kuwaspadai yaitu CCTV. Gi la, apa setiap sudut rumah mereka pasang benda itu. Apa yang sebetulnya mereka takutkan? Hanya saja ini bisa jadi satu point yang melemahkan, tapi bisa jadi juga menguntungkan. Berarti kejadian kemarin waktu Sandy dan Maria menyerang mentalku akan ada rekamannya. Namun, andai di sini ada CCTV, maka aku harus bersiap. Aku harus bisa mempengaruhi Mas Wisnu dengan bukti-bukti seadanya jika terdesak. “Oalah, Bu Rida itu hati-hati sekali ya jadi orang. Semua tempat dipasangin CCTV.” Aku terkekeh. Sebal sebetulnya. Lalu pandanganku mengedar. Namun, aku tak melihat benda mencurigakkan itu di sini. Namun, entah kalau di tempat tersembunyi. Hanya saja sudah kadung nanya-nanya. Sebaiknya kulanjutkan saja. “Saya jadi penasaran wajah Mamanya Mas Wisnu, pasti cantik ya, Bi? Soalnya Mas Wisnu juga tampan.” “Non, boleh jangan bahas Bu Ratna lagi, gak? Bibi takut.” Dia tampak mulai gelisah tak nyaman. Aku menautkan alis dan menatapnya, “Bibi takut kenapa? Apa dia jadi hantu gentayangan setelah meninggal karena kecelakaan itu?” Bi Narti tampak menelan saliva. Dia menatapku sekilas dengan wajah tegang lalu bicara, “S--sebetulnya … Bu Ratna itu ….” “Spadaaa!” Suara seseorang yang memijit bell dan berteriak-teriak di luar membuat Bi Narti tak jadi melanjutkan ucapannya. Dia meninggalkan siung-siung bawang yang sedang dia siangi. Lalu tergopoh ke dalam. Sementara itu, aku segera mematikan tombol rekam pada ponselku. Tak satupun kegiatan yang sekiranya bisa menjadi bukti tak aku rekam. Ini akan menjadi bukti berikutnya untuk memperkuat ceritaku di depan Mas Wisnu nanti. Setelah itu, jemariku sigap membersihkan bawang merah dan bawang putih untuk membuat bumbu sop. Bi Narti sudah menyiapkan bakal bumbu lainnya di atas ulekan. Katanya masak dengan diulek sendiri atau pakai blender itu beda rasanya. Aku sih, manut saja. Yang penting masakannya matang dan enak. “Mbak, buatin minum, dong!” Suara itu membuatku menoleh. Seorang perempuan dengan gaya sebeleas dua belas dengan Sandy berdiri. Tasnya tampak bermerk. Sepatunya hak tinggi. Tampaknya dia memakain stocking hingga ke p*h*, hingga ujung stockingnya saling bersentuhan dengan rok mini yang dikenakannya. “Eh, kamu ini siapa, ya? Tamu?” tanyaku. Kurasa gelagatnya sudah tak sopan. “Eh, pembokat saja banyak tanya. Bi Narti, ajarin tuh anaknya! Disuruh buat minum saja, ngeyel!” ocehnya sambil mendelik ke arah Bi Narti yang baru saja datang. “Maaf, Non Bella. Ini Non Arunika, istrinya Den Wisnu.” Bi Narti mengangguk hormat pada perempuan dengan baju pas-pasan tadi. Lalu dia mengangguk ke arahku. Perempuan yang dipanggil Bella tadi memicing. Dia menatapku dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. Lalu terlihat seringai pada bibirnya yang berwarna merah cerry. “Ooo … maaf, habisnya gak kelihatan tampang majikan. Ya sudah, Bibi tolong buatin minum! Bibi tahu ‘kan minuman kesukaan saya?” Bella mengerling ke arah Bi Narti. “Iya, baik, Non!” Bi Narti mengangguk sopan. Sementara itu, Bella melirik sinis ke arahku. Dia pun berlalu pergi meninggalkan dapur. “Siapa dia, Bi?” tanyaku hanya sekadar memastikan. Aku sudah tahu kemarin dari Sandy dan Maria kalau dia itu siapa. “D--dia … anu, Non.” Bi Narti menggaruk kepala dan tampak bingung. Namun, tanpa kusangka ternyata Bella balik lagi. Dia menjawab dengan lantang dan tak tahu malu. “Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.” Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakkkan? Mau coba-coba menyerang. Dia pikir, aku takut?Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci