Share

Bab 6

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2024-07-03 19:51:01

“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.”

Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan.

Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan.

Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar.

“Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose yang cukup intim dan menampilkan wajah Mas Wisnu dan perempuan itu.

Beberapa lembar jatuh telungkup, beberapa terpampang jelas gambarnya. Aku menatapnya, kedua tangan bersedekap di depan dada, kutatap dia sambil bicara“Ooo … terus?” Aku menautkan alis. Kupandang sepasang mata itu dengan pandangan menantang.

“Dari awal, kamu sudah kalah, Mbak. Mas Wisnu itu sama kamu … cuma cinta sesaat. Lihat saja. Sebentar lagi, dia akan berpaling.”

“Ooo … begitu?”

Aku mengangguk-angguk sambil mengetuk-ngetukkan jemari ke ujung dagu. Wajah dia tampak makin kesal dan aku suka. Dia kira aku bisa dismash hanya dengan foto-foto itu. Aku percaya dan yakin jika itu adalah editan. Semua orang bisa dengan mudah mengedit foto dan video sekarang.

“Habis berapa duit bayar orang buat editin foto, Mbak? Kamu kira, aku anak TK. Terus meraung-raung dan merana?” Aku menyeringai. Dia tampak makin kesal.

“Terserah kamu beranggapan apa. Ini foto asli. Kamu bisa tanya teman-teman kantor Mas Wisnu.” Dia bersedekap, tak mau kalah juga rupanya.

Aku membuang napas kasar, lalu kembali bicara, “Ya, terserah … walaupun itu bukan editan. Itu hanya membuat kamu lebih menyedihkan. Selama ini ternyata, kamu cuma sedang jagain jodoh orang.” Aku bicara pelan. Namun, kulihat dua tangan perempuan itu mengepal. Kalah telak lagi ‘kan?

“Bener yang Sandy bilang. Kamu ndablek. Sok cantik. Sok PD!” Akhirnya dia meluahkan unek-unek di hatinya. Lalu berjalan mendekat ke arahku sambil memicing. Setelah itu dia membisikkan sesuatu, “Kamu boleh merasa menang sekarang … tapi siap-siap, ya … ini baru permulaan. Kamu pasti shock dengan rencana besar yang sudah kami siapkan.”

Lalu dia menepuk bahuku, kuusap bekasnya sambil tersenyum. Otak mulai menerka dan mengatur siasat. Rencana apa saja yang paling mungkin dilakukan oleh perempuan itu. Aku tak sempat menjawab ketika dia langsung mengangkat telepon.

“Ya, Mam … ini sudah di rumah. Sandy sama Maria gak ada juga … iya, gak ada siapa-siapa saja … yang ada cuma … hmmm pembokat.” Dia terkekeh sambil memicing ke arahku. Lalu berjalan meninggalkanku. Sepertinya sedang berbicara dengan Mama Rida.

Aku sendiri bergegas kembali menuju dapur. Lalu membantu Bi Narti lagi. Pelan-pelan aku bertanya lagi. Pas Bi Narti mau cerita. Tiba-tiba suara mobil Mama Rida terdengar.

“Besok saja ya Bibi ceritakannya ya. Intinya gini kalau Non Nika bener-bener penasaran. Waktu dulu keluar dari rumah ini, Bu Ratna masih hidup hanya saja … ah besok saja. Itu suara Nyonya Rida sudah terdengar. Kita juga gak bisa bicara di sini. Bibi takut di sini ada CCTV.” Bi Narti bicara sambil berbisik-bisik. Aku pun mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur. Namun, tak terlihat olehku benda mencurigakkan itu.

“Ya sudah, Bi! Besok kita pasar, ya. Ini bahan-bahan sudah habis.” Aku mengeraskan suara agar terdengar oleh orang lain. Kalau ada yang mungkin sedang mencuri dengar.

“Iya, Non.” Bi Rida mengerti kode yang diberikan.

Aku sendiri bergegas berjalan menuju kamar. Tampak di ruang keluarga Mama Rida tengah berbincang dengan Bella. Mereka memang tampak akrab dan chemistrynya memang terlihat kuat. Mama Rida tak menyapaku, hanya melirik sekilas dan seperti tak menganggapku ada. Hanya saja mereka pun tak berani menyuruh-nyuruhku. Masih untung ada rasa takut pada Papa Hutama dan Mas Wisnu juga. Mereka takut image baiknya luntur di depan Papa Hutama.

Menjelang maghrib, mobil Mas Wisnu terdengar. Aku sudah hapal. Lekas aku turun setelah mengenakan pakaian ganti yang bersih. Kulihat Bella sudah berdiri dan merapikan rok mininya. Senyum pada bibirnya mengembang ketika Mas Wisnu baru saja membuka pintu.

“Hay, Mas! Baru pulang?” sapa Bella.

“Iya, Bell. Sudah lama?” tanya Mas Wisnu dengan senyuman.

“Ya, dari siang. Biasa lagi ada urusan bisnis sama Mama.” Bella tampak begitu percaya diri.

“Oooo ….” Mas Wisnu baru selesai melepas sepatu dan menyimpannya pada rak ketika aku mendekat.

Bella tersenyum dan berjalan mendekat ke arah suamiku. Hanya saja, aku pun susah selesai menuruni anak tangga. Lalu aku berjalan dengan elegan mendekat ke arah mereka yang kini berhadap-hadapan.

“Hay, Sayang! Cantik banget istri Mas!” sapanya. Dia langsung menghampiriku dan melewati Bella begitu saja.

“Ahm, alhamdulilah … kan biasanya juga cantik,” ocehku sambil tersenyum.

“Kangen, ya? Maaf kesorean pulangnya,” kekeh Mas Wisnu yang kusambut dengan pelukan singkat. Dia mencium pipi kanan kiriku dan sekilas pada bibir. Lalu aku membawakan tas kerjanya. Sudut mataku memicing ke arah Bella. Wajahnya tampak merah padam.

“Iya, Mas. Aku tadi sudah masak masakan kesukaan Mas. Ayo sekarang mandi dulu. Airnya sudah aku siapin juga.” Aku sengaja menggandeng lengan Mas Wisnu. Biar Bella tahu, ini adalah adegan mesra yang sesungguhnya bukan hanya rekaan dalam gambar atau video.

“Oalah, jadi gak sabar pengen makan … tapi makan kamu,” canda Mas Wisnu. Dia tampak cuek juga pada Bella. Syukurlah … padahal aku sedikit khawatir juga tadi. Secara, aku tak terlalu tahu sedekat apa Bella dengan Mas Wisnu di masa lalu.

Aku pun melangkah penuh kemenangan dan menggandeng Mas Wisnu menuju kamar.

“Lihat ya, Bella … benar yang kamu bilang, ini baru permulaan. Pas makan malam nanti, aku juga sudah menyiapkan sebuah kejutan buat kamu. Ya, hanya sedikti, sih. Semoga saja berkesan,”gumamku setelah menyelesaikan titian anak tangga. Aku menoleh ke bawah. Tampak Bella duduk kembali sambil menekuk wajah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 47 - End

    Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 46

    Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 45

    Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 44

    “Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 43

    Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 42

    Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status