“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan.
“Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.” “Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.” “Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.” “Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.” Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya. “Jadi, mau nyari kerja sendiri?” “Iya, Mas. Boleh?” Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya. “Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjanya flexibel. Jadi, selalu sudah ada di rumah sebelum Mas pulang. Bisa?” “Oke, Mas. Aku paling mau coba gabung di konsultant & training. Ya, setidaknya keluar rumahnya pas ada project saja.” “Nah ide bagus. Ya sudah, atur saja selama kamu nyaman.” *** Keesokan harinya, setelah Mas Wisnu pergi ngantor. Aku sibuk berkutat dengan ponsel. Sekarang ini, laptop sudah tak terlalu diperlukan bagiku. Semua sudah bisa diakses di ponsel pintar. Lagipula surat lamaran kerjaku sudah ada draftnya hanya tinggal menyesuaikan sedikit-sedikit. Jadi, tak terlalu sulit. Aku duduk di tepi kolam ikan. Rumah Mas Wisnu ini luas, halamannya juga. Di samping kanan ada kolam ikan yang langsung tersambung pada dinding batu alam setinggi tiga meter. Pohon-pohon anggrek dalam pot tampak menghias indah, menempel pada tembok-tembok dari batu alam tersebut. Beberapa perusahaan sudah kukirimi lamaran. Namun pada saat tengah asik mengirim CV ke sana sini, tiba-tiba kudengar suara tertawa sumbang. “Eh lihat tuh ada OKB, Mbak.” “OKB sih apa, Mar?” “Orang Kaya Babu.” "Bukannya Orang Kaya Baru, ya?" "Orang Kaya Baru yang kaya babu." Keduanya lalu tergelak. Aku tak menggubrisnya. Masih asik menyaksikan riak-riak air dan kecipak ikan di kolam sana. “Eh, tu li, ya! Sini kamu!” Suara Sandy terdengar lantang. “Hey! Beneran tu li, ya?” Kali ini Maria menyahuti. Aku pura-pura gak paham. “Eh, Mbak Arunika. Kamu gak denger dipanggil-panggil dari tadi?! Be go, lo!” Aku yakin itu suara Sandy. Cempreng dan kasar. Aku masih bergeming, hingga akhirnya kudengar suara dua orang itu sudah tiba di samping. Prang! Aku menoleh ketika dia menendang gelas berisi teh hangat yang kubawa tadi. Belingnya berhamburan. Gelasnya pecah berserakan. “Kamu itu dablek banget, ya, jadi orang! Kamu itu jangan mimpi akan selamanya jadi istri Mas Wisnu, ya! Asal kamu tahu, Mama itu gak pernah setuju sama pernikahan kalian.” Sandy bicara sambil terkekeh. “Kenapa memangnya, San? Bukannya kemarin Mama bilang ikut bahagia, ya?” tanyaku sambil menatap wajah Sandy. Wajah pura-pura sedih kupasang biar mereka senang. “Itu cuma acting. Jangan ngarep lo gadis udik bakal jadi bagian dari keluarga kami. Asal lo tahu, Arunika. Yang cocok buat Mas Wisnu itu cuma Mbak Bella.” “Kenapa kalian seperti itu? Memangnya apa salah, Mbak?” tanyaku dengan suara sedih. Lagi-lagi ini hanya pura-pura. “Eh, pake nanya salahnya apa? Mar coba lo kasih kaca. Suruh dia ngaca biar dia tahu diri. Sosok udik kayak gitu gak cocok menjadi bagian dari keluarga Hutama.” Aku hanya mengulum senyum ketika keduanya tertawa terbahak-bahak. Lalu aku mendongak dan memasang mimik penuh kesedihan. “Ya ampuuun, Mbak gak nyangka kalian serendah itu mandang Mbak.” Keduanya tergelak lalu saling senggol dan memainkan mata. “Ya emang lo rendahan, Mbak. Berasa oke gegara Mas Wisnu lamar, ya! Lo siap-siap saja … asal lo tahu, Mbak Bella sedang di kantor bareng Mas Wisnu. Paling bentar lagi dia lemparin lo jauh-jauh.” Sandy tergelak. Tampak sekali wajahnya riang dan suaranya nyaring. “Apa karena kalian bukan suadara kandung Mas Wisnu, makanya kalian begitu sama Mbak, ya?” “Hmmm … gak perlu lo tahu alasannya kenapa. Kita gak suka saja ada kelas rendahan kayak lo, tiba-tiba datang dan mengacaukan rencana kita.” “Andai Mama kandung Mas Wisnu masih ada, mungkin dia akan membela Mbak di rumah ini,” tukasku sambil menunduk, pura-pura sedih. “Kamu pikir dia masih dianggap. Mama bilang, dia itu cuma pecundang. Dia sudah diusir secara tidak hormat dari keluarga Hutama. Jadi, walaupun dia masih hidup, jangan ha-rap. Jangan harap dia bisa bantu lo.” Bagus … ikan mulai memakan pancingan. “Dia masih hidup? Mami Mas Wisnu masih hidup?” Aku berpura-pura heran. “Ck, sudah … gak usah banyak bac*tlah. Hidup maupun Gak hidup. Maminya Mas Wisnu gak mungkin bisa bela lo.” “Kita saranin, lo mundur jadi istri Mas Wisnu … sebelum nanti lebih sakit hati lagi, tahu-tahu Mas Wisnu nikah sama Mbak Bella. Nangis darah tar yang ada.” Lalu keduanya tertawa bersama. Setelah itu berjalan melewatiku sambil menyenggol bahuku. Lalu dia duduk di tepi kolam dan mengambil alih tempatku. Sepertinya cukup dulu untuk kali ini. Kalau terlalu kelihatan, mereka akan waspada. Aku mematikan tombol rekam yang sejak tadi kunyalakan. Perlan-pelan aku akan membuat mereka mengakui apa yang mereka lakukan pada Maminya Mas Wisnu. Akan kukumpulkan semua bukti dan membuat Mas Wisnu percaya. Semua yang terlihat baik di depannya, tak sebaik yang terlihat sebenarnya. Hmmm … tapi apa tadi dia bilang, Bella? Siapa perempuan itu? Sepertinya aku harus segera mencari tahu dan menggagalkan rencana jahatnya.Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci