Share

Bab 7

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-18 13:33:59

Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan.

Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh.

“Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi.

Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.

Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja.

“Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh.

“Ya, Mas?” tanyaku sambil tersenyum. Aku sedang menggunakan krim malam di depan meja rias.

“Besok bisa temani Mas ‘kan?” tanyanya sambil mengusap pipiku. Dia mendekat dan berdiri di sampingku.

Aku bergeming. Bukan tak mau. Namun, aku ada janji dengan Bi Narti. Dia mau menceritakan detail kejadiannya. Aku butuh itu untuk membuka mata Mas Wisnu. Selama ini keluarga besar Mas Wisnu begitu pandai bermain peran. Di depan Mas Wisnu terlihat begitu sempurna. Padahal nyatanya, mereka hanya memupuk sebuah kebohongan puluhan tahun lamanya. Membuat yang salah menjadi benar, dan menyembunyikan kebenaran itu sendiri.

Andai Mas Wisnu tahu sosok perempuan ringkih itu kini seperti apa. Mungkin dia akan terenyuh hatinya. Namun, sudikah dia mengakui seorang wanita setengah Gila itu sebagai Ibu kandungnya? Kurasa tak mudah. Kecuali doktrin jika ibunya yang dinyatakan meninggal itu sudah sirna.

“Sayang? Gimana?” Suara Mas Winu membuyarkan carut marut pikiranku.

“Ahm, lama gak, Mas? Banyak yang datang?” tanyaku.

“Mungkin seharian Yang datang dari kalangan kolega saja sama kerabat. Acaranya barbeque santai. Kebetulan dia teman lama Papa sama Papanya Bella juga.”

Mas Wisnu seperti tahu, aku tak menyukai Bella. Ketika dia menyebut nama itu. Keputusanku langsung bulat. Aku harus ikut. Pasti dia sibuk pedekate sama Mas Wisnu.

“Oh ya sudah, Mas. Tapi aku gak punya baju yang bagus.”

“Mas sudah pesen di butik langganan keluarga. Besok kita mampir ke sana dulu, terus ke salon.”

“Iya, Mas.”

Mau tak mau, acaraku dengan Bi Narti harus terganggu. Namun, tak apa. Dengan Bi Narti masih ada esok lusa. Yang terpenting adalah, Bi Narti sudah menganggapku teman sekarang. Apapun akan lebih mudah kulakukan.

Malam ini, aku tak sempat lagi menemui Bi Narti. Jika Mas Wisnu sudah pulang. Dia begitu manja. Kadang dia hanya memintaku duduk dan menemaninya. Dia kadang masih sibuk dengan laptopnya.

Malam ini pun sama. Dia membahas lagi keinginanku untuk bekerja.

“Sebaiknya di kantor Mas saja, Sayang. Ada posisi yang kosong.”

Aku tertegun. Mas Wisnu tak tahu alasanku yang sebenarnya. Mencari pekerjaan hanya alibi saja. Aku harus bebas keluar dari rumah ini tanpa ada yang curiga. Jika kerja di kantor dia. Ruang gerakku terbatas.

“Gaklah, Mas. Aku biar kerja di tempat lain saja. Kan Mas setuju yang flexible kerjanya. Nih, aku sudah kirim banyak lamaran juga.”

Aku mengambil gawai dan menunjukkan email-email yang beberapa hari lalu aku kirimkan. Tak hanya pada satu pencari kerja. Tetapi, aku mengirim ke beberapa.

“Wah banyak juga, Sayang. Ya sudah … semoga ada yang keterima.”

“Iya, Mas. Makasih.”

Aku menarik napas lega. Untung lamaran-lamaran ini sudah aku kirimkan. Aku jadi punya bukti pada Mas Wisnu. Dia pun tak memaksa lagi agar aku bekerja sekantor dengannya.

***

Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Kami sarapan bersama seperti biasa. Aku membantu Bi Narti setelah menyiapkan perlengkapan Mas Wisnu.

“Bibi, saya diajak Mas Wisnu pergi. Maaf ya, gak bisa bantu-bantu Bibi siang ini.”

“Gak apa, kok, Non.”

“Bibi mau saya bawain apa?”

“Eh, gak usah. Bibi gak minta apa-apa.”

“Bibi sukanya apa?”

Dia tampak berpikir lalu menggaruk pelipisnya. Aku terkekeh melihat tingkah bingungnya.

“Ya sudah saya beliin Bibi pizza saja, ya!” tawarku.

“Eh, jangan pizza, Non. Bibi gak suka. Kalau memang mau beliin Bibi, beliin martabak manis saja pakai kacang.”

“Nah gitu, dong!”

Aku tersenyum sambil menepuk pundaknya. Lalu, aku pun berpamitan. Aku berangkat dengan Mas Wisnu. Meskipun agak heran ketika melihat Mama Rida dan dua adik ipar masih bersantai.

“Mas, Papa datang sendirian?” tanyaku ketika mobil Mas Wisnu sudah mulai melaju.

“Nanti dia jemput Mama. Acaranya ‘kan mulainya jam sebelas siang.” Mas Wisnu menjawab sambil memutar musik.

“Loh, kok kita pergi sepagi ini?” Aku menautkan alis, heran.

“Kan katanya kamu gak ada baju bagus, gimana sih, Sayang?” kekeh Mas Wisnu sambil menjawil gemas daguku.

“Astaghfirulloh, lupa.” Aku terkekeh. Ingat sekali kalau Mas Wisnu akan mengajakku ke butik dulu terus ke salon.

Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar.

“Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas.

“Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.”

Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 47 - End

    Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 46

    Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 45

    Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 44

    “Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 43

    Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 42

    Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status