Share

03. Keluarga Salomon

"Bagian mana diskusinya?"

Lelaki itu melamatkan pandang, menyisir satu per satu orang yang berperan dalam acara perjodohan. Sudah amat terlambat kalau mereka mencabut berita itu sekarang. Lebih dari 200 perempuan mulai dari gadis hingga janda dari berbagai usia terlanjur mendaftar untuk berpartisipasi sebagai kandidat.

"Memangnya kau setuju kalau kita bicarakan dulu sebelum acara? Sekali-kali coba pikirkan perasaan Nada, dia butuh sosok ibu yang mendampingi tumbuh kembangnya," sahut wanita itu lembut. Ia tak merasa bersalah sedikitpun. Lagipula keputusannya bulat, ia akan membuat Avram menikah.

"Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," Avram menyahut sinis. Tidak peduli sebesar apapun wanita itu berusaha mendekatkan diri, Avram tak akan pernah membuka hati. 

Ya, ia tak bisa melupakan pengkhianatan paling menyakitkan yang dilakukan Ayah-nya sebulan setelah sang Bunda meninggal dunia. Bagaimana bisa pria yang mengaku cinta setengah mati pada sang Bunda itu langsung jatuh cinta pada perawan cantik asli Korea Selatan? Dan langsung menikah tanpa pikir panjang!

Saat itu Avram baru menginjak umur lima. Ayahnya yang satu minggu lebih enggan minum dan makan akhirnya memutuskan pergi berlibur guna melipur lara. Namun sepulang dari sana, pria itu malah menggandeng perempuan muda yang terpaut lima belas tahun dari usianya. Lantas mengumumkan pernikahan seolah itulah obat dari segala luka.

Avram marah besar. Bahkan setahun setelahnya lahir bayi laki-laki yang mencuri segala perhatian. Dia resmi terbuang. Jadi jangan harap wanita itu memiliki hak atas mengatur urusan hidupnya sekarang.

"Mau sampai kapan kau egois, Avram? Bagaimanapun kau sudah menjadi seorang ayah. Coba pikirkan baik-baik dengan kepala dingin," geram wanita itu sedikit meninggikan suara. 

Biasanya, wanita itu lemah lembut dalam berbicara. Apalagi jika kepada Avram. Nyaris nihil wanita itu meninggikan suara. Ia menyayangi Avram lebih dari putranya, meski lelaki itu bersikeras pada kepercayaan bahwa dia telah diabaikan.

Namun beberapa hari terakhir ia memang sangat lelah, dan berdebat dengan Avram sungguh menguras tenaganya. 

"Empat tahun ini Nada baik-baik saja cukup dengan saya, Nyonya Kim. Lupakan soal pernikahan, saya bisa menyewa pembantu baru untuk urusan rumah," tegas Avram menolak mentah-mentah.

"Belum ada satu bulan dan tiga kali ganti pembantu," tukas wanita itu tidak mau kalah. Ia sudah membuat banyak pertimbangan sebelum mengumumkan acara. 

"Mau ganti lagi sampai berapa banyak? Nada ikut Sus Tia dari bayi, Avram, dia pasti sangat terpukul dengan kematian Sus-nya. Bagaimana kalau Nada tumbuh sebagai anak yang kekurangan kasih sayang seperti yang kau rasakan? Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Avram, terus terang," sambung wanita itu panjang lebar.

Seketika, Avram kehilangan kata-kata.

Kalau boleh sedikit diceritakan, Nada bukan anak yang diharapkan. Meski Avram selalu siap menikahinya, dan tak ada pertentangan dari dua keluarga, kehamilan itu adalah kutukan bagi sang belahan jiwa. Perempuan itu tidak pernah ingin memiliki anak.

Bukan, bukan karena perempuan itu tidak mencintai Avram. Lebih tepatnya karena ia tak ingin meninggalkan kehidupan modeling yang dicita-citakan sejak belia. Dia benci pada perubahan betuk tubuh dan hormonnya. Apalagi sampai mengabdikan diri sebagai ibu sepanjang usia.

Segala cara dilakukan guna mengugurkan kandungan. Namun sang jabang bayi gigih bertahan. Avram pun memohon agar kekasihnya bersedia melahirkan buah hati mereka. 

Mau tidak mau, perempuan itu terpaksa sepakat. Dengan syarat mutlak bahwa ia tidak mau berurusan dengan Avram dan anak itu selamanya. Dia pun menghilang sesaat setelah melahirkan, tak pernah menampakkan diri lagi hingga sekarang.

Lantas setelah tumbuh menginjak masa kanak-kanak, suster kesayangan Nada malah dipanggil sang Maha Kuasa. Anak itu sudah menunjukkan gejala seperti Ayahnya dulu. Tidak mau makan dan minum walau hanya seteguk. 

"Well, aku tahu pendapatku tidak sedang diperlukan tapi dari sudut pandangku sebagai orang netral, mungkin Mas Avram bisa bicara dulu dengan Nada. Apa yang dia mau? Apakah selama ini dia baik-baik saja punya Daddy without Mommy? Kalian family, right? Kalian yang lebih tahu apa yang dibutuhkan satu sama lain."

Lelaki yang sejak tadi menyimak dengan khusyuk percakapan sang ibu dan Avram itu mencoba mengambil jalan tengah. Dia paham betul maksud ibunya, pun dengan ego yang mengungkung hati Avram. Dia tidak akan menyudutkan salah satu pihak. Mereka butuh jalan keluar.

"Apapun keputusanmu, Avram, percayalah kami juga menyayangi Nada lebih dari siapapun," imbuh wanita itu.

Pada akhirnya, perdebatan soal perjodohan itu hanya berlabuh pada keheningan. Avram tak menolak ataupun mendeklarasikan penerimaan. Lelaki itu bergelut di kepala. Mengurai satu per satu jawaban dari pertanyaan tentang, 'sebetulnya apa yang ia dan Nada butuhkan?'

***

Tinggal satu sentuhan. Reina sendiri yang membubuhkan rias pada Laisa sembari menyampaikan informasi dasar tentang acara perjodohan. Ia telah menggali banyak informasi dari para calon kandidat yang berambisi lolos dalam pemilihan.

Memangnya siapa yang tidak ingin menjadi istri dari Tuan Muda Salomon?

"Isu yang beredar sih memang bukan anak kandung, tapi masa iya sampai segitunya? Jadi syarat penentuan istri loh, kan berlebihan," omel Reina sambil beralih merapikan rambut Laisa.

"Mungkin saking sayangnya. Seperti kau pada Leon yang rela melakukan apa aja," sahut Laisa sekenanya. 

Andai boleh mengaku, hati dan pikiran Laisa sedang tertuju pada si lelaki sapu tangan. Ia tak berhenti memutar adegan ketika lelaki itu memberikan minuman. Suaranya, lekuk senyumnya, tiap inci dari lelaki itu melekat kuat dalam ingatan Laisa. 

Apakah itu adalah pertanda dari semesta?

Kalimat terka menerka itu terus menghantui kepalanya. Dia berharap takdir masih sudi mempertemukan mereka. Kapanpun dan bagaimanapun caranya, kali ini Laisa sedikit memaksa. 

"Laisa?" panggil Reina membuyarkan lamunan.

"Eh? Ya?"

"Kau tersinggung dengan permintaanku ya? Maksudku, apa aku terlalu semana-mena memaksa kau datang dengan imbalan gajian?" Reina memandang lekat pantulan kaca Laisa, ia seperti merasakan kejanggalan dalam diri Laisa, "Matamu bengkak. Kau menangis semalaman, kan?"

Yang terkadang sering Laisa lupa adalah mereka lebih dekat dari sekadar sahabat. Sudah seperti saudara kembar. Ada ikatan tidak tampak yang menyatukan batin mereka. 

Detik itu juga Laisa membalikkan badan. Membalas tatapan Reina langsung ke sorot matanya, "Aku memang nangis, Rei, sempat tersinggung juga. Tapi serius, aku sangat bersyukur punya kesempatan datang ke acara mewah," jelasnya pelan. Ia tak ingin mendustai Reina.

"Aku jadi bisa mencicipi rasanya dijodohkan oleh seorang ayah, menarik, Rei. Aku suka," imbuh Laisa ditutup senyuman.

Mendengar pernyataan itu, Reina memeluk Laisa erat. "Terima kasih, Laisa," bisiknya kemudian. "Terima kasih sudah jadi saudara terbaik yang selalu jujur dan terbuka. Love you..."

Laisa hanya bisa menepuk-nepuk punggung Reina lembut. Mereka memang selalu sedekat itu. 

"Kalau kau ingin mencoba peruntungan, gunakan namamu sendiri, Laisa. Kabarnya mereka akan menyebar banyak anak-anak dan hanya ada satu yang merupakan putri asli Avram. Tidak pernah ada fotonya yang beredar, tapi tak banyak orang yang tahu kalau namanya adalah Nada Kalea."

Penjelasan Reina singkat, padat, dan jelas. Perempuan itu lantas mengantarkan Laisa ke kediaman keluarga Salomon tanpa banyak bicara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status