"Bagian mana diskusinya?"
Lelaki itu melamatkan pandang, menyisir satu per satu orang yang berperan dalam acara perjodohan. Sudah amat terlambat kalau mereka mencabut berita itu sekarang. Lebih dari 200 perempuan mulai dari gadis hingga janda dari berbagai usia terlanjur mendaftar untuk berpartisipasi sebagai kandidat.
"Memangnya kau setuju kalau kita bicarakan dulu sebelum acara? Sekali-kali coba pikirkan perasaan Nada, dia butuh sosok ibu yang mendampingi tumbuh kembangnya," sahut wanita itu lembut. Ia tak merasa bersalah sedikitpun. Lagipula keputusannya bulat, ia akan membuat Avram menikah.
"Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," Avram menyahut sinis. Tidak peduli sebesar apapun wanita itu berusaha mendekatkan diri, Avram tak akan pernah membuka hati.
Ya, ia tak bisa melupakan pengkhianatan paling menyakitkan yang dilakukan Ayah-nya sebulan setelah sang Bunda meninggal dunia. Bagaimana bisa pria yang mengaku cinta setengah mati pada sang Bunda itu langsung jatuh cinta pada perawan cantik asli Korea Selatan? Dan langsung menikah tanpa pikir panjang!
Saat itu Avram baru menginjak umur lima. Ayahnya yang satu minggu lebih enggan minum dan makan akhirnya memutuskan pergi berlibur guna melipur lara. Namun sepulang dari sana, pria itu malah menggandeng perempuan muda yang terpaut lima belas tahun dari usianya. Lantas mengumumkan pernikahan seolah itulah obat dari segala luka.
Avram marah besar. Bahkan setahun setelahnya lahir bayi laki-laki yang mencuri segala perhatian. Dia resmi terbuang. Jadi jangan harap wanita itu memiliki hak atas mengatur urusan hidupnya sekarang.
"Mau sampai kapan kau egois, Avram? Bagaimanapun kau sudah menjadi seorang ayah. Coba pikirkan baik-baik dengan kepala dingin," geram wanita itu sedikit meninggikan suara.
Biasanya, wanita itu lemah lembut dalam berbicara. Apalagi jika kepada Avram. Nyaris nihil wanita itu meninggikan suara. Ia menyayangi Avram lebih dari putranya, meski lelaki itu bersikeras pada kepercayaan bahwa dia telah diabaikan.
Namun beberapa hari terakhir ia memang sangat lelah, dan berdebat dengan Avram sungguh menguras tenaganya.
"Empat tahun ini Nada baik-baik saja cukup dengan saya, Nyonya Kim. Lupakan soal pernikahan, saya bisa menyewa pembantu baru untuk urusan rumah," tegas Avram menolak mentah-mentah.
"Belum ada satu bulan dan tiga kali ganti pembantu," tukas wanita itu tidak mau kalah. Ia sudah membuat banyak pertimbangan sebelum mengumumkan acara.
"Mau ganti lagi sampai berapa banyak? Nada ikut Sus Tia dari bayi, Avram, dia pasti sangat terpukul dengan kematian Sus-nya. Bagaimana kalau Nada tumbuh sebagai anak yang kekurangan kasih sayang seperti yang kau rasakan? Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Avram, terus terang," sambung wanita itu panjang lebar.
Seketika, Avram kehilangan kata-kata.
Kalau boleh sedikit diceritakan, Nada bukan anak yang diharapkan. Meski Avram selalu siap menikahinya, dan tak ada pertentangan dari dua keluarga, kehamilan itu adalah kutukan bagi sang belahan jiwa. Perempuan itu tidak pernah ingin memiliki anak.
Bukan, bukan karena perempuan itu tidak mencintai Avram. Lebih tepatnya karena ia tak ingin meninggalkan kehidupan modeling yang dicita-citakan sejak belia. Dia benci pada perubahan betuk tubuh dan hormonnya. Apalagi sampai mengabdikan diri sebagai ibu sepanjang usia.
Segala cara dilakukan guna mengugurkan kandungan. Namun sang jabang bayi gigih bertahan. Avram pun memohon agar kekasihnya bersedia melahirkan buah hati mereka.
Mau tidak mau, perempuan itu terpaksa sepakat. Dengan syarat mutlak bahwa ia tidak mau berurusan dengan Avram dan anak itu selamanya. Dia pun menghilang sesaat setelah melahirkan, tak pernah menampakkan diri lagi hingga sekarang.
Lantas setelah tumbuh menginjak masa kanak-kanak, suster kesayangan Nada malah dipanggil sang Maha Kuasa. Anak itu sudah menunjukkan gejala seperti Ayahnya dulu. Tidak mau makan dan minum walau hanya seteguk.
"Well, aku tahu pendapatku tidak sedang diperlukan tapi dari sudut pandangku sebagai orang netral, mungkin Mas Avram bisa bicara dulu dengan Nada. Apa yang dia mau? Apakah selama ini dia baik-baik saja punya Daddy without Mommy? Kalian family, right? Kalian yang lebih tahu apa yang dibutuhkan satu sama lain."
Lelaki yang sejak tadi menyimak dengan khusyuk percakapan sang ibu dan Avram itu mencoba mengambil jalan tengah. Dia paham betul maksud ibunya, pun dengan ego yang mengungkung hati Avram. Dia tidak akan menyudutkan salah satu pihak. Mereka butuh jalan keluar.
"Apapun keputusanmu, Avram, percayalah kami juga menyayangi Nada lebih dari siapapun," imbuh wanita itu.
Pada akhirnya, perdebatan soal perjodohan itu hanya berlabuh pada keheningan. Avram tak menolak ataupun mendeklarasikan penerimaan. Lelaki itu bergelut di kepala. Mengurai satu per satu jawaban dari pertanyaan tentang, 'sebetulnya apa yang ia dan Nada butuhkan?'
***
Tinggal satu sentuhan. Reina sendiri yang membubuhkan rias pada Laisa sembari menyampaikan informasi dasar tentang acara perjodohan. Ia telah menggali banyak informasi dari para calon kandidat yang berambisi lolos dalam pemilihan.
Memangnya siapa yang tidak ingin menjadi istri dari Tuan Muda Salomon?
"Isu yang beredar sih memang bukan anak kandung, tapi masa iya sampai segitunya? Jadi syarat penentuan istri loh, kan berlebihan," omel Reina sambil beralih merapikan rambut Laisa.
"Mungkin saking sayangnya. Seperti kau pada Leon yang rela melakukan apa aja," sahut Laisa sekenanya.
Andai boleh mengaku, hati dan pikiran Laisa sedang tertuju pada si lelaki sapu tangan. Ia tak berhenti memutar adegan ketika lelaki itu memberikan minuman. Suaranya, lekuk senyumnya, tiap inci dari lelaki itu melekat kuat dalam ingatan Laisa.
Apakah itu adalah pertanda dari semesta?
Kalimat terka menerka itu terus menghantui kepalanya. Dia berharap takdir masih sudi mempertemukan mereka. Kapanpun dan bagaimanapun caranya, kali ini Laisa sedikit memaksa.
"Laisa?" panggil Reina membuyarkan lamunan.
"Eh? Ya?"
"Kau tersinggung dengan permintaanku ya? Maksudku, apa aku terlalu semana-mena memaksa kau datang dengan imbalan gajian?" Reina memandang lekat pantulan kaca Laisa, ia seperti merasakan kejanggalan dalam diri Laisa, "Matamu bengkak. Kau menangis semalaman, kan?"
Yang terkadang sering Laisa lupa adalah mereka lebih dekat dari sekadar sahabat. Sudah seperti saudara kembar. Ada ikatan tidak tampak yang menyatukan batin mereka.
Detik itu juga Laisa membalikkan badan. Membalas tatapan Reina langsung ke sorot matanya, "Aku memang nangis, Rei, sempat tersinggung juga. Tapi serius, aku sangat bersyukur punya kesempatan datang ke acara mewah," jelasnya pelan. Ia tak ingin mendustai Reina.
"Aku jadi bisa mencicipi rasanya dijodohkan oleh seorang ayah, menarik, Rei. Aku suka," imbuh Laisa ditutup senyuman.
Mendengar pernyataan itu, Reina memeluk Laisa erat. "Terima kasih, Laisa," bisiknya kemudian. "Terima kasih sudah jadi saudara terbaik yang selalu jujur dan terbuka. Love you..."
Laisa hanya bisa menepuk-nepuk punggung Reina lembut. Mereka memang selalu sedekat itu.
"Kalau kau ingin mencoba peruntungan, gunakan namamu sendiri, Laisa. Kabarnya mereka akan menyebar banyak anak-anak dan hanya ada satu yang merupakan putri asli Avram. Tidak pernah ada fotonya yang beredar, tapi tak banyak orang yang tahu kalau namanya adalah Nada Kalea."
Penjelasan Reina singkat, padat, dan jelas. Perempuan itu lantas mengantarkan Laisa ke kediaman keluarga Salomon tanpa banyak bicara.
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say
"Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku
Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.
Laju kendaraan Avram bukan menuju rumah utama, melainkan hunian pinggir pantai miliknya. Ia harus memberi Laisa pelajaran. Menunjukkan akibat dari perbuatan kurang ajar yang Laisa lakukan.Dengan kemudi yang ugal-ugalan, Avram tak berhenti mendenguskan murka. Lelaki itu sesekali melirik tajam Laisa lewat spion atas. Tindakan yang membuat Laisa menciut pasrah dengan linang air mata.Pikiran Laisa campur aduk tidak jelas. Sembari merasakan nyeri di sebujur tubuhnya akibat tindak kasar Avram. Pada momen itu, Laisa bahkan tidak peduli jika harus meregang nyawa. Apapun murka Avram telah siap ia terima.Mobil terparkir usai mempersingkat perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Avram membuka pintu belakang lantas menarik kasar lengan Laisa. "Jalan yang benar!" titah Avram tegas, sambil menyeret Laisa serupa tawanan penjahat.Mereka sampai di depan pintu dengan sambutan debur ombak. Sedetik kemudian Avram menekan tombol sandi, dan langsung mendorong Laisa ke sofa begitu pintu terbuka.
"Bu Midah? Mana Laisa?"Kening Avram mengernyit heran. Ia sudah mencari perempuan itu di kamar namun nihil bersua. Tapi jauh lebih mengherankannya lagi adalah kamar Nada, untuk apa Bu Midah berusaha menidurkannya?Dengan berat hati, Bu Midah memberikan isyarat agar Avram tidak menimbulkan kegaduhan. Nada butuh waktu terlelap, dan Avram terpaksa mundur perlahan sambil menahan rasa penasaran.Pesta bakar-bakar sebagai kejutan sudah disiapkan. Oleh-oleh yang ia bawa juga keluar dari bagasi mobil semua. Tapi apa yang terjadi selama Avram tidak ada? Kemana perginya Laisa?Enggan berlama-lama mengadu jawab dan tanya di kepala, Avram berusaha menelpon Laisa. Tetapi belasan kali pun ia mengulang hal yang sama, panggilannya tetap dijawab oleh mesin suara. Avram berdecak sengit, ia menganalisis berbagai skenario yang paling mungkin."Batalkan semuanya," titah Avram datar, rahang bawah langsung mengeras kala melihat sosok Tej berjalan ke arahnya."Mohon maaf, bagaimana, Tuan?" Tej memastikan. Me
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya