Share

PERLAKUAN KASAR

Jangan bayangkan malam pertama yang akan Adinda alami adalah malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Meski Adinda sendiri juga tidak bisa membayangkan bagaimana seharausnya malam pertama, tetapi setidaknya ia yakin bukan seperti yang ia alami saat ini. Paling tidak, seharusnya ia tidur bersama laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan seperti saat ini, ia tidur di kamar yang berbeda dengan kamar yang Alvin tempati.

Sebenarnya Adinda tidak terlalu memikirkan itu. Ia merasa baik-baik saja dengan terpisah kamar karena pasti akan sangat canggung jika ia malah harus ssatu kamar dengan Alvin. Walaupun status mereka sudah sah menjadi suami istri di mata hukum dan agama, tetapi mereka tetap saja orang asing yang tidak sengaja dipertemukan takdir untuk menikah. Dan yang harus Adinda lakukan saat ini adalah, menyusun rencana untuk meluluhkan hati seorang Alvin.

Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mata Adinda belum juga bisa terpejam. Ia tipe orang yang akan susah tidur di tempat asing. Dan meski kamar ini begitu nyaman untuk ia tempati, tetapi Adinda perlu beradaptasi dengan semuanya. Belum lagi bayangan Alvaro terus saja mengusiknya. Sudah dua hari ini ia tidak menjenguk kekasihnya itu, hal yang kali ini membuat hati Adinda sungguh merasa resah. Ia telah mengkhianati Alvaro secara diam-diam, dan Adinda sendiri tidak tahu hal ini akan berlangsung sampai kapan. Enggan memikirkan apa yang terjadi nanti, wanita yang sudah mengenakan piyama tidur itu memilih bangkit. Ia lupa menyiapkan botol minum yang biasanya memang ia letakkan di dekat tempat tidurnya.

“Harusnya ngggak begini.” Suara lirih itu membuat langkah Adinda terhenti.

“Harusnya aku nolak.” Lagi, Adinda mencoba menajamkan pendengarannya, dan ia meyakini jika suara itu berasal dari kamar yang tepat berada di sampingnya.

“Gimana aku bisa melalui hari setelah ini, Sayang? Aku nggak bisa kayak gini. Aku melukai kamu.” Adinda mendekat ke pintu kamar Alvin karena itu memang suara yang berasal dari sana, dan Adinda sangat yakin jika itu adalah suara Alvin.

“Seharusnya aku tahu kalau cepat atau lambat kamu pasti akan tahu pengkhianatan yang aku lakukan.” Adinda mengerutkan kening, mencoba membaca situasi yang kini terjadi pada Alvin. Laki-laki itu seperti tengah terisak.

“Aku udah janji untuk nggak nyakitin kamu, tapi aku berbohong. Aku benar-benar nggak berguna sama sekali.” Hening, hanya terdengar bersitan hidung yang menandakan Alvin memang benar-benar tengah menangis.

“Kamu boleh marah, kamu boleh marah sama aku, Yang. Aku memang pantas menerima itu, kok. Kamu wajib marah malah.” Harusnya Adinda pergi saat itu juga sebelum Alvin menyadari ada orang yang sedang menguping di balik pintu kamarnya. Namun, entah mengapa kaki Adinda seolah sulit sekali untuk digerakkan.

“Mungkin akan lebih baik kalau kamu nampar aku, Sayang.” Nada bicara yang Alvin gunakan  benar-benar menyayat hati. Adinda yang mendengarkan langsung seperti ini, ikut merasa sedih. Bahkan ada rasa bersalah yang kini menyusup di dalam hatinya. Alvin begitu mencintai Sofia, dan kini kehadirannya apakah memang menyakiti wanita itu? Apa seharusnya ia tidak pernah berada di sini?

“Ngapain kamu?” Adinda berjengit kaget saat sosok Alvin sudah berdiri menjulang di sampingnya. Sejak kapan pintu terbuka? Dan sejak kapan sosok ini ada di sampingnya? Astaga! Kenapa Adinda sampai tidak menyadari pintu yang terbuka?

“Kamu tahu yang namanya sopan santun?” sengit Alvin pada Adinda yang hanya bisa meringis malu.

“Jangan pikir setelah kita menikah maka kamu bisa bertingkah seenaknya. Ingat satu hal, saya menikahi kamu karena terpaksa, dan saya harap kamu paham situasinya.” Alvin mengatakan itu dengan lirih, tetapi wajah yang laki-laki itu tunjukkan penuh dengan ancaman.

“Dan satu lagi.” Langkah Alvin terhenti, lalu tanpa menoleh laki-laki itu mengimbuhkan, “Jangan berusaha untuk mengambil hati saya karena itu akan menjadi percuma. Jalani saja pernikahan ini apa adanya, sampai ibu saya bosan dan kita bisa segera bercerai,” desis Alvin sembari melanjutkan langkahnya untuk menjauh.

Adinda yang memang berniat untuk mengambil minum pun turun ke dapur, dan ternyata Alvin sedang berada di tempat itu juga.

“Mas Alvin lapar?” tanya Adinda saat menyadari Alvin seperti tengah mencari-cari sesuatu.

“Bukan urusan kamu,” balas laki-laki itu dingin. Memilih untuk menuang air di dalam gelas, lalu menenggaknya. Setelah itu pergi begitu saja.

Adinda yang melihat itu hanya menghela napas, lalu membuka kulkas. Mengeluar masakan yang ia buat sore tadi. Sengaja ia memasak untuk Alvin, dan berakhir tidak tersentuh barang sedikit pun. Wajar saja jika Alvin kelaparan karena memang yang Adinda tahu, laki-laki itu tidak makan sejak siang. Adinda pun memanaskan masakan itu, dan setelahnya menyiapkan di meja.

Setela mengambil air mineral di botol, ia segera menuju kamar Alvin. Tentu saja wanita itu hanya berdiri di depan pintu kamar.

“Mas Alvin kalau mau makan sudah saya siapkan di meja. Maaf, saya ngantuk, jadi ggak bisa nemenin.” Setelah mengatakan itu, Adinda langsung masuk ke dalam kamar. Ia berdiri di depan pintu dengan telinga awas mendengarkan suara dari samping.

Detik demi detik berlalu, dan Adinda mulai menghela napas kecewa saat ternyata Alvin lebih keras kepala dari yang ia bayangkan. Namun, baru saja wanita itu hendak merebahkan tubuhnya, terdengar pintu sebelah, atau tepatnya pintu kamar Alvin terbuka, lalu tertutup.

Adinda tanpa sadar tersenyum, nyatanya Alvin hanya laki-laki biasa yang tidak akan kenyang dengan memakan gengsi.

*

“Wah, wangi sekali, Din, aromanya! Kamu masak apa?” tanya Marlina sembari melangkah ke arah dapur, tempat  di mana Adinda sedang memasak sesuatu di atas kompor.

“Di kulkas cuma ada telur, Bu. Jadi Dinda hanya bisa buat nasi goreng,” jawab wanita itu sembari mematikan kompor, lalu memindahkan nasi goreng sederhananya ke tempat lain.

“Ibu memang jarang masak, Din. Alvin pesen katering setiap harinya,” jelas Marlina yang memang dilarang Alvin untuk melakuan semua pekerjaan rumah. Ada ART yang setiap hari datang untuk bersih-bersih. Namun, untuk  memasak setiap hari, belum ada yang cocok di lidah laki-laki itu.

“Mulai sekarang Dinda aja yang masak ya, Bu. Daripada Dinda nggak ada kerjaan juga, kan?” ujar Adinda yang kini sedang merapikan piring di meja.

“Wah, Ibu malah seneng! Masakan kamu enak banget. Dan yang pasti, cocok buat Alvin. Malem aja dia lahap banget makannya.”

Eh? Adinda segera menoleh dengan raut bingung.

Marlina malah tertawa kecil. “Ibu lihat semuanya tadi malam, termasuk yang dia malam-malam makan karena kelaparan.”

Adinda ikut tersenyum karena ternyata Alvin memang benar-benar menikmati masakannya semalam. Yah, walaupun itu semua mungkin karena terpaksa, tetapi Adinda tetap merasa senang.

“Alvin suka telurnya setengah matang Din,” ujar Marlina saat melihat Adinda kembali berkutat di depan kompor untuk membuat telur ceplok.

“Iya, Bu,” jawab Adinda dengan senyuman lembut. Di mata Marlina, wanita muda ini benar-benar menantu idaman yang selama ini ia idam-idamkan. Dia dan Sofia memiliki banyak kesamaan. Dan seharusnya, Alvin akan lebih mudah untuk belajar mencintai wanita ini.

“Kamu kayaknya yang udah mahir banget ngelakuin ini semua, Din?”

Adinda kembali menunjukkan senyum lembut. “Adinda udah terbiasa hidup sendiri. Bu. Jadi mau nggak mau ya harus bisa melakukan apa pun.” Apa pun yang Adinda maksud itu benar-benar menyangkut banyak hal. Termasuk mengganti gas yang habis, mengganti lampu yang putus, mengecat tembok walau ala kadarnya, dan semua pekerjaan yang katanya tugas laki-laki ia kerjakan sendiri.

“Ibu benar-benar bangga punya menantu seperti kamu,. Nak,” ujar Marlina sungguh-sungguh. Ia semakin merasa Tuhan tidak salah mempertemukan mereka hari itu. Tentu saja tidak ada yang kebetulan, semuanya berjalan sesuai jalan yang sudah Tuhan rencanakan.

“Ibu, jangan terlalu memuji seperti itu.” Adinda paling tidak nyaman mendengar pujian terhadap dirinya. Kadang, ia takut jika seseorang menyukainya, maka nantinya akan kecewa dan berbalik membencinya saat ia melakukan kesalahan kecil.

“Ibu nggak berlebihan. Kamu itu memang wanita baik yang sudah sangat langka jumlahnya.”

Adinda malah tertawa mendengar kata langka yang Marlina katakan.

“Eh, kok langka, ya, jadi kayak apa aja kamu ini.” Marlina terkekeh saat menyadari kalimat kurang pas yang ia ucapkan sendiri. Adinda hanya tersenyum sembari menyeduh teh hangat untuk mereka bertiga.

“Kamu itu pokoknya menantu idaman lah.”

Adinda kembali hanya tersenyum, sudah dikatakan bukan, kalau dia terlalu takut saat harus mendengar pujian seperti ini.

Obrolan itu terus berlangsung seru tanpa seorang pun menyadari keberadaan laki-laki yang sejak tadi tengah menguping di balik tembok. Tangannya mengepal kesal setiap kali ibunya memuji sosok wanita yang kini sedang meletakkan cangkir berisi teh ke atas meja.

“Alvin! Sini Nak, kita makan bareng!” Laki-laki itu tersentak saat sadar ternyata keberadaannya sudah diketahui.

“Alvin harus berangkat sekarang, Bu!” elak Alvin berniat untuk pergi.

“Alvin.” Teguran itu menghentikan langkah Alvin, dan dengan sangat berat kaki itu melangkah ke arah meja makan.

“Duduk sini! Kamu harus cobain nasi goreng buatan Dinda. Ini enak banget,” puji Marlina sembari mengisyaratkan Adinda untuk melayani Alvin. Namun, baru gadis itu hendak bangkit untuk menyendokkan nasi goreng ke piring Alvin, laki-laki itu sudah mengambil sendiri dengan porsi yang sangat sedikit.

“Enak, kan?”

Alvin tidak menjawab, hanya menyuapnya sekali, lalu bangkit dari duduknya. Nafsu makannya menghilang sejak ibunya terus menyanjung wanita ini. Dan lihat saja! Wanita munafik itu sangat suka saat dipuji-puji. Alvin bisa melihat wajah Adinda yang terus merona setiap kali Marlina memujinya.

“Loh, nggak dimakan? Adinda udah capek-capek buat. loh, Vin.”

“Maaf Bu, Alvin sedang tidak berselara dengan nasi goreng.” Mulai saat ini bahkan mungkin ia akan membenci makanan itu.

“Jangan begitu, Vin, Seenggaknhya kamu hargai niat baik Dinda,” ujar Marlina berusaha sabar, sesekali melirik ke arah Adinda yang masih tampak tenang seperti biasa. Wanita itu sungguh pintar menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Alvin mendengus malas, lalu tersenyum dengan wajah mencemooh ke arah Adinda. “Apa yang harus dihargai dari wanita semacam dia?” Alvin melirik sengit ke arah Adinda yang masih saja diam.

“Alvin! Jaga bicara kamu!” Marlina tampak geram dengan perkataan putranya, sementara Adinda masih saja tidak memberikan reaksi berarti. Sebenarnya Adinda hanya sedang merasa dejavu dengan semua perlakuan ini. Ia pernah mendapat perlakuan yang lebih kasar dari ini saat Alvaro mengajaknya bertemu dengan orang tua laki-laki itu.

“Bu! Jangan paksa Alvin untuk menghargai orang munafik yang Ibu bayar untuk hal yang sia-sia!” Setelah mengatakan itu Alvin segera pergi meningalkan Marlina yang tampak syok.

“Ibu nggak apa-apa?” tanya Adinda cemas.

“Bukannya seharusnya Ibu yang tanya itu ke kamu?”

Adinda tersenyum lembut, lesung pipi di sebelah kanannya membuat wajah wanita ini tampak begitu manis. “Dinda nggak apa-apa. Dinda sudah menyiapkan hati untuk perlakuan semacam ini, Jadi Dinda biasa aja.” Yang ia katakan itu memang benar adanya. Dan mulai sekarang, ia akan menambah kadar tebal muka untuk bisa menghadapi sikap kasar dan dingin yang Alvin tunjukkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status