Sesampainya di halaman pesantren yang luas, riuh rendah guru dan warga desa sudah berkumpul. Spanduk besar bertuliskan "Pengesahan Pesantren Ilmu dan Teknologi Al-Falah" terpampang di depan aula utama. Liam menatap sekeliling: para guru, ustadz dan ustadzah, pengurus pesantren, dan tokoh masyarakat duduk tertib. Di deretan depan tampak rombongan pejabat dari Dinas Pendidikan dan pejabat lokal. Panggung utama dihiasi backdrop cat biru tua, foto Kyai Najih dan logo pemerintah yang menunjukkan dukungan resmi.Ketika arak-arakan Menteri Brian Yuliarto tiba, Liam berdiri hormat. Menteri mengenakan setelan resmi hitam rapi, wajahnya tenang tapi berwibawa. Ia disambut oleh kyai dan ketua pengurus pesantren lalu duduk di kursi utama. Namun ada satu hal yang msaih mengganjal hati Liam. Dia menacari sosok yang dia rindukan. Namun ternyata sosok itu baru datang bersama dengan rombongan guru dari TK saat Liam telah duduk di deteran tamu terhormat."Keya,..?" Jantungnya berdegup kencang. Wanita b
Pagi itu, Keya masih seperti biasanya, sibuk mempersiapkan perlengkapan Sheryn lalu pergi mengajar dan bergabung dengan ibu-ibu guru lainnya di sekolah. Bu Mar menghampirinya dengan senyum ramah seperti biasa."Bu Keya, nanti ikut ke Pesantren ya, kita diundang makan-makan oleh Pak Kyai. Ada acara peresmian besar.""Peresmian?" tanya Keya, mengernyit penasaran."Iya, Bu. Pesantren ini akan diresmikan sebagai pesantren berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi oleh Menteri Pendidikan langsung. Katanya akan jadi percontohan nasional," jawab bu Mar."Kita ngajar anak-anak duluh, istirahat baru ke sana, ramai-ramai berangkatnya," timpal Bu Siti.Keya mengangguk sambil mengeluarkan kepala Sheryn dari kerudung. Bayi kecil itu baru saja tertidur usai menyusu. Ia mencium pipinya lembut. Sejenak, pikirannya melayang pada Ummi Aisyah yang selama ini selalu membantunya mengasuh Sheryn. Sekarang, saat ia harus membawa anaknya ke mana pun, ia menyadari betapa berat perjuangan ibunya Nabil itu."Di
"Kamu mencari seseorang?" tanya Keya melihat raut wajah Nabil yang tampak tegang."E, enggak." kata Nabil tergagap.Sepanjang perjalanan mereka terdiam. Yang ada hanya celotehan Sheryn yang membuat suasana menjadi tidak tegang. Bahkan mereka bisa bercanda karena Sheryn.Mereka lalu terdiam kembali, sampai tiba di rumah sakit."Cucuku, sini." H Darman melambai."Abamu keinget Sheryn terus," kata Bu Aisyah lalu meraih Sheryn dari gendongan Nabil untuk didekatkan ke H Darman. Gadis itu pun mengoceh dengan mencari cari apa yang bisa dia ambil.H Darman mengciumknya dengan penuh sayang."Ummi, ayo makan," ajak Keya sambil mengeluarkan rantang yang dia bawa.Nabil yang justru mendekat melihat opor ayam kesukaannya. "Sepertinya sedap sekali." Nabil mencicipi. "Kamu sekarang jadi pandai memasak," pujinya yang membuat Keya tersenyum."Nunggu Ummi dulu kenapa sih?" Keya mencegat tangan Nabil yang sudah membawa piring yang dibawa Keya. Nabil terkekeh.Bu Aisyah dan H Darman tertawa melihat tingk
"Sama ayah ya?""Ya ya,..ya,.. ya,.. Buu,.aat."Keya segera lari ke kamar begitu melihat siapa yang datang. Dia mengambil kerudung instan yang biasa dia pakai di sekitar rumah."Bunda nggak jahat Sayang. Kamu yang nggak nurut Bunda."Seolah mengerti dimarahi, balita itu malah mengeraskan tangisnya sampai Bi Ira yang menyelesaikan masakannya keluar."Eh, ada Ayah ya?"Sheryn seolah mengerti dia mengeluarkan kata-kata pada Bi Ira."Kalau gitu jangan nangis lagi, dong, anak cantik! Habisnya kamu sih, rewel.""Assalamualaikum, Bi, apa khabar?""Alhamdulillah, Le. Kamu,.kelihatan beda banget. Bi Ira pangling.""Bedanya tambah item ya, Bi?""Bukan gitu, Le. Kamu terlihat makin dewasa.""Biasa saja. Bi," ucapnya tersenyumSheryn jadi tersenyum dengan tangan yang mengayun menyambut tangan Nabil yang hendak menganggkatnya.Cepat-cepat Keya menyingkirkan baju tidur begitu Nabil lewat. Lalu dia mengambil baju Sheryn dan peralatan bayi lain dari kamar untuk dibawa ke depan.Namun Nabil yang tadi
Nabil terlenguh. Ternyata jilbab Keya bukanlah hanya jilbab yang menutup kepalanya saja. Dia telah memakaikan jilbab itu dalam ke dasar hatinya, hingga menjaga citra jilbabnya agar tak ternoda. Diingatnya saat dulu, Keya yang suka mengagetkannya, lalu memeluknya dari belakang dengan mengacak rambutnya."Cinta itu sudah mati untukmu, Nabil!" ucap Keya dengan kaki yang sudah luntruh ke lantai. "Keke yang mencintaimu sudah tiada."Nabil terhentak. Dia tidak mengira akan mendengar kata-kata itu dari mulut Keya. Langkahnya sampai mundur ke belakang. Dia masih mengira, tatapan Keya masih sama untuknya."Tidak, Ke.. kamu bohong," bantahnya. Bagaimanapun juga rasa di hatinya tak pernah padam. Dia selalu berharap pandangan Keya tetap sama hanya untuknya walau dia milik orang lain.Keya beranjak, mendekat ke Sheryn. Dibujuknya kembali anak itu untuk ikut dengannya. "Ke,.. jangan kamu luapkan amarahmu padanya. Di masih tidur, Ke." Ditariknya tangan Keya dengan paksa, lalu direngkuhnya. Namun d
"Astaghfirullah, Nabil!"Keya buru-buru memalingkan wajah, pipinya bersemu merah. Ia tak menyangka pintu terbuka begitu saja, menampilkan sosok lelaki itu dengan hanya handuk melilit pinggang.Nabil berdiri membelakangi sinar pagi dari jendela kamar, membuat siluet tubuhnya semakin terlihat jelas. Bahunya lebar, otot lengannya menggurat, dan dada bidangnya masih basah. Sisa sabun mengalir pelan, turun mengikuti alur otot perutnya yang mengeras. Bahkan masih ada sabun di dadanyaKeya menelan ludah. Jantungnya berdebar. Pandangannya meluncur cepat ke lantai."Aku kira siapa," kata Nabil. Suaranya serak, sedikit tertahan, seolah baru sadar apa yang terjadi."Maaf..." bisik Keya, langkahnya berbalik cepat ke arah dapur, hendak mencari Bu Aisyah untuk menutupi rasa malu. Namun belum sempat ia melangkah jauh—"Ya, ya, ya, ya!"Suara Sheryn melengking di ruangan itu. Tangannya terjulur ke arah Nabil. Anak itu menangis, suaranya pecah, dan tubuhnya memberontak dari gendongan Keya."Sshh... She