Hampir seminggu kakak-kakak Liam berada di rumah orangtuanya. Kadang hanya ngobrol bersama atau sekedar berjalan-jalan ke belakang rumah yang kini ditanami padi yang mulai menguning. Kadang juga ke resort sekalian melihat wisata pantai di dekat situ. Resort lama yang masih berdiri adalah milik keluarga mereka. Sebulan sekali Liam menghitung pengeluaran dan pemasukan resort lalu membagikan ke kakak-kakaknya sesuai prosentase yang pernah mereka sepakati. Sementara setengah bagian lainnya adalah milik Liam sendiri, yang dibangunnya hampir bersamaan dengan pernikahannya dengan Keya, yang membuat Liam memiliki ide mengusung konsep pengantin saat awal pernikahan mereka. Sebagai bentuk kerinduan Liam untuk mendapatkan Keya. Walau sampai kini, satu resort yang tidak pernah disewakan karena Liam pikir itu spesial untuk dia dan Keya, baru terpakai kapan hari.Selama itu, rumah terasa hangat dan ramai. Sheryn bahkan hanya kapan hari dibawa ke H Darman karena Rosmala dan Ratna berebut mengasuhny
Suara langkah terdengar tergesa menyusuri lorong berubin putih yang mengilap. Dinding beton tinggi menjulang, dihiasi bendera merah putih dan semboyan-semboyan berani. Pagi masih basah oleh embun saat mobil travel berhenti tepat di gerbang Akademi Kepolisian Semarang. Udara terasa berat, dan rasa rindu yang masih melekat pada tubuh Nabil belum juga luruh."Nabil!"Suara itu datang dari arah taman kecil dekat asrama perwira muda. Rere berdiri sambil memeluk map. Senyum kecil menghias wajahnya yang sedikit berkeringat."Kamu baru nyampe?"Nabil mengangguk, wajahnya lelah. "Baru aja."Rere mendekat, langkahnya ringan. "Aku kira kamu nggak jadi masuk. Banyak yang nunggu kabar kamu.""Maksud kamu apa?" Nabil menghentikan langkahnya, dia menatap tajam Rere.."Barangkali kamu berubah pikiran untuk tidak kembali ke AKPOL ini."Nabil menjittak Rere pelan. "Kamu udah gila apa ngira aku seperti itu. Aku udah pergi dari arsitek dan mengecewakan banyak orang, apa aku harus pergi juga dari tempat y
"Ya,...ya,.. !" Lalu terdngar tawa mungil... dan tawa Liam yang menggodanya.Keya bangkit, hendak mengambil handpone di atas meja yang tak jauh dari tempat tidur yang kini mereka tempati. Suara nada dering itu kembali terdengar dari handphone Liam.Namun lagi-lagi dia ragu, ragu membangunkan Liam. Juga ragu untuk mengangkat."Kak,..." Keya mencoba menyentuh lengan kokoh Liam. Masih tak bergerak. "Gimana ini?" Keya berguman. Sinar mentari masih menyusup lewat jendela, menerpa wajah mungilnya yang masih bersembunyi dalam kehangatan selimut. Tubuhnya tenggelam dalam dekap Liam, yang masih lelap. Dadanya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai.Rasa lelah kerana ulah Liam membuat matanya tertutup kembali. Namun tak lama, Keya membuka mata pelan. Ia menoleh. Wajah Liam hanya sejengkal dari wajahnya. Lelaki itu tampak tenang, dengan bulu-bulu halus menghiasi rahang tegasnya. Rambutnya yang berombak tertata rapi meski masih tidur. Hidungnya mancung, kulitnya yang bersih putih tamp
"Kamu diem banget," suara Keya pelan, memecah sunyi di dalam mobil yang melaju menuju resort.Liam hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. Jawaban tak juga keluar dari bibirnya.Keya menggigit ujung bibirnya. "Kamu marah?"Liam menarik napas dalam, menahannya sejenak sebelum menjawab. "Enggak.""Kamu cemburu, ya?"Masih diam.Mobil berbelok ke arah jalanan kecil berlapis paving menuju bangunan berarsitektur semi-modern. Udara pantai mulai terasa, menyusup lewat jendela yang sedikit terbuka. Suara debur ombak tak begitu keras, tapi cukup untuk menambah suasana hening di antara mereka.Begitu sampai di halaman resort, Liam mematikan mesin dan membuka pintu. "Kamu masuk aja. Aku mau ke bagian administrasi.""Aku ikut—""Enggak perlu. Kamu istirahat aja di kamar. Pakai kamar yang biasa, ya," potong Liam cepat sebelum berjalan menjauh.Keya tertegun. Ia menarik napas perlahan. Matanya menatap punggung Liam sampai menghilang di tikungan menuju kantor kecil di sisi barat resort
"Aba kangen sama Sheryn. Bisa kamu bawa ke sini hari ini?"Suara H. Darman di ujung telepon membuat dada Keya sedikit menghangat sekaligus gelisah. Pagi itu baru pukul enam, Sheryn belum mandi. Tapi suara H. Darman terdengar begitu berharap. Di belakang sana, samar terdengar suara Ummi memanggil-manggil nama Sheryn. Keya menarik napas.Keya menelan ludah. "Iya, Ba... InsyaAllah nanti aku usahakan."Begitu menutup telepon, Keya hanya bisa memandangi putrinya yang sedang duduk di atas karpet ruang tengah sambil memeluk boneka beruangnya. Dia termenung lama. Ada ragu yang mengambang di hatinya. Bukan karena takut pada H Darman, tapi karena satu nama yang mungkin bertemu dengannya di sana, Nabil."Sayang..." bisiknya sambil memeluk Sheryn dari belakang. "Kita ke rumah Aba, nggak ya?"Sheryn menoleh. "Ku,..kung, U,...ti?"Keya tersenyum kecil. "Ia, Ummi juga kangen kamu."Liam yang dari tadi menyeduh kopi memperhatikan wajah istrinya. "Siapa yang telpon?"Deangan ragu Keya berkata "Emm, Aba
Setelah sholat Maghrib, kakak-kakak Liam bergantian berdatangan dengan keluarga mereka. Ratna dengan kedua anaknya cowok cewek, juga Raihan dengan dua anaknya pula yang cowok dua-duanya.Rosmala, istri Raihan dan Ratna saling merangkul dengan Keya. Lalu membuka kain kafan yang menutupi wajah Ibu, dan menciumnya dengan derai air mata, demikian juga dengan Raihan yang juga menangis, mengingat dia jarang sekali pulang. Bahkan ibunya yang sudah 9 bulan sakit, hanya sekali dijenguknya, itu pun saat pernikahan Liam dan Dania, juga tak lama hanya karena mereka tak sreg dengan Dania yang menurut mereka hanya akan menghancurkan hidup Liam.Kain kafan yang atas kembali dirapikan Pak Hasan selaku modin. Lalu Bu Maryam dibawa ke Masjid desa yang tak jauh dari Rumah Liam.Selesai sholat Isya', Pak Kyai Abdurrahman memimpin sholat jenazah. Masjid yang begitu besar, namun masih tak muat untuk orang yang menshalati jenazah Bu Maryam karena banyaknya. Hinggah sholat dilakukan dua kali.Ditandu Liam da