"Ya,...ya,.. !" Lalu terdngar tawa mungil... dan tawa Liam yang menggodanya.Keya bangkit, hendak mengambil handpone di atas meja yang tak jauh dari tempat tidur yang kini mereka tempati. Suara nada dering itu kembali terdengar dari handphone Liam.Namun lagi-lagi dia ragu, ragu membangunkan Liam. Juga ragu untuk mengangkat."Kak,..." Keya mencoba menyentuh lengan kokoh Liam. Masih tak bergerak. "Gimana ini?" Keya berguman. Sinar mentari masih menyusup lewat jendela, menerpa wajah mungilnya yang masih bersembunyi dalam kehangatan selimut. Tubuhnya tenggelam dalam dekap Liam, yang masih lelap. Dadanya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai.Rasa lelah kerana ulah Liam membuat matanya tertutup kembali. Namun tak lama, Keya membuka mata pelan. Ia menoleh. Wajah Liam hanya sejengkal dari wajahnya. Lelaki itu tampak tenang, dengan bulu-bulu halus menghiasi rahang tegasnya. Rambutnya yang berombak tertata rapi meski masih tidur. Hidungnya mancung, kulitnya yang bersih putih tamp
"Kamu diem banget," suara Keya pelan, memecah sunyi di dalam mobil yang melaju menuju resort.Liam hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. Jawaban tak juga keluar dari bibirnya.Keya menggigit ujung bibirnya. "Kamu marah?"Liam menarik napas dalam, menahannya sejenak sebelum menjawab. "Enggak.""Kamu cemburu, ya?"Masih diam.Mobil berbelok ke arah jalanan kecil berlapis paving menuju bangunan berarsitektur semi-modern. Udara pantai mulai terasa, menyusup lewat jendela yang sedikit terbuka. Suara debur ombak tak begitu keras, tapi cukup untuk menambah suasana hening di antara mereka.Begitu sampai di halaman resort, Liam mematikan mesin dan membuka pintu. "Kamu masuk aja. Aku mau ke bagian administrasi.""Aku ikut—""Enggak perlu. Kamu istirahat aja di kamar. Pakai kamar yang biasa, ya," potong Liam cepat sebelum berjalan menjauh.Keya tertegun. Ia menarik napas perlahan. Matanya menatap punggung Liam sampai menghilang di tikungan menuju kantor kecil di sisi barat resort
"Aba kangen sama Sheryn. Bisa kamu bawa ke sini hari ini?"Suara H. Darman di ujung telepon membuat dada Keya sedikit menghangat sekaligus gelisah. Pagi itu baru pukul enam, Sheryn belum mandi. Tapi suara H. Darman terdengar begitu berharap. Di belakang sana, samar terdengar suara Ummi memanggil-manggil nama Sheryn. Keya menarik napas.Keya menelan ludah. "Iya, Ba... InsyaAllah nanti aku usahakan."Begitu menutup telepon, Keya hanya bisa memandangi putrinya yang sedang duduk di atas karpet ruang tengah sambil memeluk boneka beruangnya. Dia termenung lama. Ada ragu yang mengambang di hatinya. Bukan karena takut pada H Darman, tapi karena satu nama yang mungkin bertemu dengannya di sana, Nabil."Sayang..." bisiknya sambil memeluk Sheryn dari belakang. "Kita ke rumah Aba, nggak ya?"Sheryn menoleh. "Ku,..kung, U,...ti?"Keya tersenyum kecil. "Ia, Ummi juga kangen kamu."Liam yang dari tadi menyeduh kopi memperhatikan wajah istrinya. "Siapa yang telpon?"Deangan ragu Keya berkata "Emm, Aba
Setelah sholat Maghrib, kakak-kakak Liam bergantian berdatangan dengan keluarga mereka. Ratna dengan kedua anaknya cowok cewek, juga Raihan dengan dua anaknya pula yang cowok dua-duanya.Rosmala, istri Raihan dan Ratna saling merangkul dengan Keya. Lalu membuka kain kafan yang menutupi wajah Ibu, dan menciumnya dengan derai air mata, demikian juga dengan Raihan yang juga menangis, mengingat dia jarang sekali pulang. Bahkan ibunya yang sudah 9 bulan sakit, hanya sekali dijenguknya, itu pun saat pernikahan Liam dan Dania, juga tak lama hanya karena mereka tak sreg dengan Dania yang menurut mereka hanya akan menghancurkan hidup Liam.Kain kafan yang atas kembali dirapikan Pak Hasan selaku modin. Lalu Bu Maryam dibawa ke Masjid desa yang tak jauh dari Rumah Liam.Selesai sholat Isya', Pak Kyai Abdurrahman memimpin sholat jenazah. Masjid yang begitu besar, namun masih tak muat untuk orang yang menshalati jenazah Bu Maryam karena banyaknya. Hinggah sholat dilakukan dua kali.Ditandu Liam da
"Ehem!" Seseorang berdehem, dialah Neina, namun Liam dan Keya masih sibuk saling menatap.Neina tak segera beranjak pergi, masih memperhatikan Keya dan Liam yang melakukan apa-apa setelah itu dengan selalu berdua. Bahkan Liam tak pernah berhenti mencuri pandang pada Keya dengan mesra. Liam memang merasa begitu bahagia di akhir hidup ibunya bisa dirawat dengan tulus oleh Keya. Wanita yang tanpa jijik sekalipun dia harus mengganti pempersnya dan membalurkan bedak bayi tiap selesai membersihkan ibunya. Dia juga tak segan masak apa yang diinginkan ibunya ayng di akhir hayatnya terlihat sangat rewel itu.Tiada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata kebahagiaan Liam di akhir hidup Bu Maryam dia bisa bermanja pada seorang putri seperti yang selama ini diimpikannya dan tidak bisa dia dapatkan karena satu-satunya putrinya jauh darinya."Apa Ibu tak cukup aku ada di sisimu?" tanya Liam suatu hari sebelum ibunya jatuh sakit dan belum ada Keya di rumah itu."Bagaimanapun kamu itu lelaki dan Ibu
Liam dan Keya berlari mendekati Bu Maryam."Ibu..." ucap Keya dan Liam bersamaan. Nafas mereka memburu, langkah mereka terburu-buru seperti ingin menahan waktu yang tak mau diajak kompromi.Bu Maryam yang terbaring di ranjang, menoleh perlahan. Matanya sayu, tapi senyum masih mengembang di bibir pucatnya. Tangannya lemah melambai menyambut dua anak yang paling akhir menemaninya.Sheryn yang digendong Keya menangis, seolah tahu sesuatu sedang berakhir."Ibu bahagia melihat kalian..." suara Bu Maryam seperti desir angin. Lemah, tapi penuh makna. Ia mengangkat tangannya dan menggenggam tangan Liam dan Keya sekaligus, menariknya ke dekat wajahnya."Jangan tinggalkan... Liam... Key... Dia,... sangat mencintaimu,..."Genggaman itu melemah. Mata Bu Maryam menatap ke atas. Bibirnya bergerak pelan, menyebut asma Allah.Lalu, hening.Tarikan nafas terakhir itu adalah pertanda yang tak bisa ditolak."Ibu,.."Keya dan Liam menunduk, menempelkan wajah mereka ke tangan Bu Maryam yang masih hangat.