Semua terdiam. Liam menoleh cepat ke arah Nabil, lalu ke Keya. Najla menahan napas, sementara Bu Aisyah menutup mulut dengan tangan.Dan saat semua menanti jawaban, Nabil menatap anaknya lekat, lalu pandangannya berpindah sebentar ke wajah Keya."Pasti, Nak.""Cuma aku helan, semua anak punya satu ayah," suara Sheryn lirih, bibirnya sedikit gemetar, "kenapa aku punya dua Ayah?"Suasana langsung hening. Bahkan kilat forografer yang tadi besautan dari pemotretan wisuda yang tadi terdengar riuh, seolah mendadak hilang.Nabil mendekap Sheryn erat, menempelkan dagunya ke rambut anak itu. "Karena kamu istimewa," bisiknya lembut. "Bukan semua anak bisa punya dua sosok Ayah yang sayang banget sama dia. Tapi kamu punya."Sheryn terdiam sebentar, lalu mendongak dengan mata basah. "Istimewa itu apa, Yah?"Nabil mengusap pipinya yang masih merah karena tangis. "Itu artinya kamu punya lebih banyak pelukan, lebih banyak doa, lebih banyak cinta. Dan itu hadiah buat kamu."Keya menutup mulutnya ra
"Kak Liam, terima kasih ya..." Keya menoleh pada suaminya yang masih berdiri di sisinya, wajahnya belum reda dari senyum bangga. "Aku cuma pengin kamu tahu, kamu selalu jadi alasan terbesar aku sampai ke sini."Liam menatapnya lama, kemudian menunduk pelan, menyembunyikan mata yang basah. "Aku yang harusnya bilang begitu, Ey. Kamu yang berjuang, aku cuma nemenin. Tapi... terima kasih buat kejutan ini."Mereka berdua masih saling pandang, hingga sorak dari keluarga membuat suasana mencair.Di halaman kampus, kamera ponsel berkilat-kilat. Bunga tangan berpindah, ucapan selamat berderet. Sheryn, dengan gaun ungu kecilnya,sama dengan yang dipakai Keya, meloncat-loncat setiap kali ada kamera menghadap."Bunda, aku mau lagi!" serunya sambil menarik tangan Keya.Keya tertawa. "Capek, Sayang. Tadi udah berkali-kali.""Tapi aku suka, Bun. Aku cantik, kan?" Sheryn memutar rok mungilnya.Liam mengacak rambut anaknya. "Cantik banget. Semua kamera tadi ngeliatnya ke kamu, bukan ke Bunda," canda Li
"Ya Allah, Key, Kenapa wisuda Sabtu begini? Aku masih harus izin.”Najla merapikan rambutnya sambil melihat jam tangan. Di sebelahnya, Bu Neina sudah siap dengan tas kecil, sedangkan Pak Chandra sibuk memarkir mobil di halaman kampus.“Setengah hari saja kan. Toh ini buat wisuda adikmu,” kata Bu Neina menenangkan.Najla mendesah. “Iya, Mi. Tapi tetep aja… kerjaan jadi numpuk.”Pak Chandra mendekat, tersenyum lebar. “Santai, Nak. Momen kayak gini nggak tiap hari. Lagian siapa tahu ini jadi rezeki baru buatmu.”Najla mengangguk setengah hati, lalu melangkah masuk bersama mereka. Aula besar sudah penuh warna: toga hitam, selendang ungu, dan senyum bahagia dari para wisudawan.“Oma,..Tanteee!”Suara cempreng Sheryn terdengar dari arah kursi keluarga. Anak kecil itu melambai-lambai, wajahnya cerah.Najla tersenyum dan bergegas menghampiri. “Sheryn! Kamu cantik banget hari ini.”Gadis kecil itu langsung memeluk pinggangnya. “Aku nunggu Tante. Kok lama banget?”Najla terkekeh, mengusap ramb
Lima bulan kemudian. Langkah Najla terdengar ragu saat menaiki tangga kantor bercat krem itu. Plang nama “AFFANDI & PARTNERS – ADVOCATES & COUNSELORS” terpasang mencolok di depan pintu kaca. Hatinya berdebar. Sudah hampir setengah tahun ia mencoba melamar pekerjaan, tapi selalu mentok. Bayangan tawaran Pak Affandi, yang dulu sempat ia tolak mentah-mentah, kini seperti jadi jalan terakhir.“Assalamualaikum,” ucapnya pelan ketika pintu terbuka.Seorang resepsionis muda berdiri, tersenyum ramah. “Waalaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”Najla meremas ujung tasnya. “Saya... ingin bertemu dengan Pak Affandi. Apa beliau ada?”“Silakan tunggu sebentar.” Gadis itu menekan interkom, berbisik sebentar, lalu mengangguk. “Silakan masuk, ruangannya di ujung.”Langkah Najla terasa berat. Setiap meter ia lewati seakan menambah beban di pundaknya. Ketika pintu itu terbuka, aroma kopi hitam langsung menyergap.“Silakan duduk, Najla.” Suara berat Pak Affandi menyapanya dari balik meja besar
"Nak, masuk duluh, sholat di rumah," ajak Bu Asiyah pada Najla pelan, setelah mobil travel yang membawa Nabil lenyap di balik tikungan.Najla tersenyum canggung. "Ngak usah, Bu. Saya,..""Biar Najla ikut aku ke rumah aku saja, Mi. Beberapa menit udah sampai kok," ucap Liam.Sheryn sudah lebih dulu menggandeng tangan Tante-nya itu. "Ayo, Tante, ke rumahku! Bunda pasti kaget lihat Tante datang."Najla menoleh ke arah H Darman dan Bu Aisyah "Saya pamit dulu ya, Pak, Bu. Kapan-kapan balik lagi."H Darman tersenyum. "Iya, Nak. Terimakasih banyak sudah pagi-pagi datang kemari."Bu Aisyah mendekat, menepuk pundak Najla menatapnya dengan sorot mata dalam. "Kalau bisa, bantu runtuhkan pikiran Nabil. Jangan biarkan dia terus keingat Keya. Sudah cukup yang lalu."Najla mengangguk, wajahnya menegang sejenak. "InsyaAllah, Mi."Najla menaiki motornya, Sheryn melompat kecil ke motor ayahnya, wajahnya berseri. Dua motor itu meluncur perlahan meninggalkan halaman rumah.Begitu suara mesin lenyap, H
" Ayah... bangun, sudah azan Subuh!"Suara nyaring Sheryn membuat Nabil tersentak.Dengan mata masih berat, Nabil menoleh. "Azan Subuh? Serius, Sheryn?"Anak itu mengangguk penuh semangat, tapi senyum jahilnya tak bisa disembunyikan. "Iya, aku dengar azan, Ayah."Nabil duduk, mengusap wajah. Suara azan samar terdengar dari masjid, tapi bukan subuh. Itu azan pertama, pertanda masih ada waktu sebelum fajar benar-benar menyingsing. Ia terkekeh kecil. "Itu azan pertama, Sayang. Belum Subuh."Sheryn manyun. "Tapi Elin kila sudah Subuh benelan."Nabil menarik tubuh mungil itu ke pelukannya. "Nggak apa-apa. Bangunin Ayah sebelum waktunya juga nggak bikin Ayah marah. Malah Ayah seneng, bisa Tahajut duluh, Ayah juga bisa lihat senyum Sheryn lebih cepat."Sheryn tersipu, lalu menempelkan pipinya ke dada Nabil. "Aku kangen Ayah Nabil telus, takut nanti Ayah pelgi lagi aku nggak tahu."Kata-kata polos itu menusuk. Nabil terdiam sejenak sebelum mengusap rambut Sheryn lembut. "Ayah memang harus pe