"Ayah, kenapa Ayah nangis?"Pertanyaan polos Sheryn menembus keheningan malam itu. Mata bulatnya menatap wajah Nabil yang meneteskan air mata. Lelaki itu buru-buru mengusap pipinya, tapi terlalu terlambat.Nabil menarik napas panjang lalu memeluk anak kecil itu erat-erat. Suaranya bergetar saat membisikkan, "Kamu yang sayang sama Bunda, sayang sama Ayah Liam yang nyayangi kamu lebih dari apapun, ya?"Sheryn mengangguk cepat. "Iya, aku sayang Ayah Liam sama kayak aku sayang Ayah Nabil."Pelukan mereka kian rapat. Bahu Nabil gemetar, tapi ia tersenyum paksa di hadapan Sheryn. "Sekarang bobok ya, Sayang. Biar nanti kalau Ayah Liam datang, kamu bisa pulang.""Tapi Elin malam ini pingin bobok sama Ayah Nabil," rengek gadis itu sambil mengusap mata. "Soalnya tiap hali aku udah bobo sama Ayah Liam sama Bunda. Boleh ya?"Nabil menatap wajah mungil itu lama, hatinya teriris. "Harus pulang, Sayang."Sheryn cemberut, bibirnya maju. "Kalau pulang, aku besok nggak tahu Ayah pelgi. Elin ingin lihat
"Assalamualaikum!" Setelah menajawab salam, Keya akhirnya membuka pintu.“Ayah!”Tangisan Sheryn berubah jadi sorak ketika sosok tinggi tegap muncul di depan pintu dengan plastik putih dan kotak kertas di tangan. Senyum lebar langsung merekah, seakan semua air mata barusan hanya ilusi.“Maaf ya, dari Semarang nggak bawa oleh-oleh. Jadi Ayah belikan ini di pasar sore.” Nabil mengangkat kotak terangbulan manis yang masih hangat, uapnya mengepul tipis.Sheryn berlari menubruk pinggang ayahnya. “Aku tahu! Pasti ada oleh-oleh. Bunda bohong, katanya Ayah istilahat kalna mau pelgi jauh.”Keya berdiri kaku, belum sempat menyusun kata. Di samping Nabil, Surya mengangkat tangan menyapa sambil tergelak kecil. "Bu Keya, tadi Om Nabil bingung mau beliin mainan atau martabak. Aku bilang, pilih yang manis biar bisa dimakan rame-rame.”"Bener kamu, Surya. anak pinter. Mainan Sheryn udah banyak, lihat itu," ucap Keya sambil menunjuk rumah yang berantakan penuh mainan Sheryn.Liam keluar dari kamar, m
"Sepertinya karena hari ini hujan rintik ya, hinggah wajahmu terlihat sumringah, Ey." Suara Liam terdengar setengah bercanda ketika mereka baru saja sampai di rumah. Ia menaruh kunci mobil di meja kecil dekat pintu lalu melirik istrinya."Sumringah bagaimana?"Liam mengerling. "Sheryn, kayaknya ada yang lagi berbunga-bunganih hatinya habis ketemuan."Gadis kecil yang diharap jadi support itu terkekeh.Bi Ira yang melintas ikut menahan senyum juga biingung, takut Liam cemburu dengan Nabil.Keya sedang mengganti sandal rumah, langsung menoleh. "Maksudnya apa nih kok anak sama Ayah ngerjain Bunda?" tanyanya dengan senyum seolah tak tahu."Sheryn kok yang lagi berunga-bunga. Lihat aja bagaimana dia tadi jadi anak heboh sekali pas ketemu Nabil. Nggak mau lepas." Liam nyandar santai di sofa, mengibaskan rambutnya yang sedikit lembap terkena gerimis.Keya menahan senyum, padahal ia paham arah ucapan Liam. "Oh, kirain kamu maksudnya aku yang lagi berbunga-bunga," pancingnya sambil menaruh t
“Pak, Bu… saya pamit duluan. Terima kasih sudah diajak makan bersama,” ucap Nabil sembari sedikit menunduk ke arah Bu Neina dan Pak Chandra."Ngak kita kok yang bayarin makan," ucap Pak Chandra tersenyum."Saya tahu, pasti Kak Liam, Terimakasih."Liam tersenyum. "Emang kamu nggak ke Petissari, Bil?""Iya, Kak. Saya pulang dari kemarin.""Kak Najla nggak bilang-bilang, tahu gitu Kak Nabil bisa bareng kita. Iya kan, Kak?" tanya Keya mengerling pada Liam yang hampir tersedat.“Pulang hati-hati ya, Nabil,” pesan Bu Neina ramah, mencoba mengalihkan tatapan tajam Liam pada Keya.“Jangan ngebut, jalanan rawan habis hujan,” tambah Pak Chandra dengan nada tenang."Tapi kapan balik? Tuh Sheryn masih kangen," celetuk Bi Ira.Nabil tersenyum tipis. “BesokSsubuh saya baru berangkat lagi ke Semarang. Doakan lancar."Sheryn langsung meraih lengan Nabil, wajahnya cemberut. “Aku ikut, Yah… jangan tinggalin aku.”Keya terkekeh kecil sambil mengusap rambut putrinya. “Nak, ayahmu kan cuma pamit. Kapan-k
"Tapi maaf, Arfan. Kayaknya, aku berat menerima semua perhatianmu. "Arfan menatap Najla dengan mata yang buram. Bahkan saat tiba-tiba Najla beranjak dan... "Nabil!" Tiba-tiba saja dia memanggil nama itu. Tangannya dengan cepat meraih jemari Nabil. Spontan, semua pasang mata melebar, tak terkecuali Keya dan Sheryn yang duduk di dekatnya sambil makan buah jeruk yang tadi dikupas Nabil. Nabil kaku. Tubuhnya menegang saat jemari Najla menggenggam, seolah aliran darahnya tertahan. Dia menatap Najla dengan kebingungan yang tak bisa ditutupinya."Aku punya calon," ucap Najla lantang. Matanya lurus menatap Arfan.Sejenak, suasana seperti mengeras. Wajah Arfan menegang, jemarinya yang menggenggam buket bunga terkulai."Apa maksudmu?" suaranya serak.Najla meremas jemari Nabil lebih erat, seakan ingin menunjukkan bahwa dia tidak main-main. "Maksudku jelas, Fan. Aku sudah punya calon, jadi jangan pernah berharap lebih padaku."Nabil menelan ludah. Dia belum sempat bicara, lidahnya kelu. Piki
“Najla!”Suara itu membuat langkah semua orang terhenti. Najla menoleh cepat. Seorang pria berbatik berjalan mendekat dengan tenang."Apa khabar, Om?" sapa Liam mendekat dan mengulurkan tangan."Alhamdulillah, baik, Liam. Kamu sendiri?" tanya pria itu sambil menjabat tangan Liam juga yang lainnya, tak terkecuali Najla yang menatapnya bingung."Alhamdulillah juga kok, Om, baik. Ini sama keluarga besar ini apa." Liam lalu merasa heran dengan pria di depannya "Lalu Om sendiri di sini, apa keperluan,.""Keponakan saya yang tinggal sama kami, wisuda hari ini, makanya kami sekeluarga datang ke sini. Dia seangkatan dengan Najla, mungkin Najla juga kenal?""Siapa, Om?" tanya Najla penasaran"Prisilia."Najla selintas mengingat gadis angkuh yang memakai mobil mewah jika ke kampus."Kamu mengenalnya?" tanya pria itu."Ngak seberapa dekat sih, Om, soalanya anaknya gitu, rada gimana,.. gitu.""Najla,.. kamu yang sopan dong!" tegur Neina."La emang begitu anaknya, Mi, aku harus bilang apa lagi?""