"Pi, ayo kita bawa pulang sebelum dia makin sesak oleh pertanyaan wartawan. Saya dan Keya akan menyusul," ujar Liam sambil mengangkat tubuh Najla ke arah mobil Chandra.Langkah Liam cepat, seolah tak memberi ruang orang lain membantu. Najla terkulai di pelukannya, wajahnya pucat dan basah oleh sisa air mata. Neina berlari kecil di sampingnya, napasnya memburu. "Liam, pelan-pelan! Jangan bikin anak itu tambah kaget, dia baru saja sadar."Chandra segera membuka pintu mobil. "Baringkan dia di kursi belakang. Mi, kamu duduk di sampingnya, biar tenang."Saat Liam hendak menutup pintu, Arfan mendekat. "Liam, biar aku ikut. Aku khawatir, aku ingin memastikan dia baik-baik saja.""Lalu bagaimana dengan mobilmu?""Biar nanti diambil seseorang."Sorot mata Liam tajam. "Urus saja mobilmu, lagian kamu juga belum ngomong sama saya. Kamu jangan ikut campur, Fan. Ini urusan keluarga.""Keluarga?" Arfan menahan nada suaranya, meski rahangnya mengeras. "Saya orang yang peduli dia, Liam. Jangan singki
Evan beranjak pergi.Najla menarik lengannya."Evan... jangan pergi. Aku mohon!" Suara Najla pecah. Jemarinya masih mencengkeram lengan pemuda itu, wajahnya memerah karena air mata yang sudah jatuh.Evan menunduk. Nafasnya terasa berat, seperti menelan batu yang tak bisa dilumat. "Najla, jangan paksa aku ngomong sesuatu yang ujung-ujungnya bikin kita makin sakit.""Aku nggak peduli sakit atau apa. Aku cuma butuh kamu jujur. Jangan bilang waktu itu kamu salah pencet, Evan. Kamu tahu kan aku masih menunggu," Najla mendesak, bola matanya basah.Sekilas, tatapan Evan buram. Ada kerinduan yang ia sembunyikan rapat-rapat, tapi sorot itu sempat bocor. "Aku memang mau telepon kamu," suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Aku kangen... kangen banget." "Lalu kenapa kamu menjauh? Kenapa sekarang kamu dingin begini?"Evan menelan ludah, memejamkan mata sebentar. "Karena semua itu nggak ada gunanya, Najla. Kita harus lupakan. Hidupku sekarang nggak gampang."Najla menatapnya, bingung sekaligus ma
“ Kak, telepon kamu bunyi itu, tolong angkat sebentar, barangkali ada sesuatu yang mendesak,” bisik Keya sambil menyikut lengan Liam yang tengah bercakap dengan Arfan.Liam menoleh cepat. “Siapa? Ini, angkat saja duluh, Ey."Keya mengambil handphone yang diberikan Liam. jidatnya berkerut. “Nomor kantor sekolah, Kak. Angkat saja dulu, takut salah aku.”Liam menarik napas panjang, lalu mengangkat ponselnya dengan hati-hati, mencoba menutupi suara agar tidak mengganggu jalannya sidang. “Assalamualaikum, Pak Rahman!""Waalaikumssalam, Pak. Maaf sekali, kenapa hari ini bapak nggak ninggalin materi apa pun? Anak-anak kebingungan. Saya pikir Bapak ninggalin seperti biasanya kalau Pak Liam ada libur,” ucap Kepala Sekolah SMK itu terdengar dengan agak terburu-buru.Liam mengerutkan dahi. “Hari ini? Bukannya sudah saya tukar jadwal sama Rifki?”“O, begitu ya, Pak. Kalau gitu biar saya hubungi Pak Liam terusin saja, paling hari ini Bapak sibuk banget di sana.""Enggak juga, Pak, ini belummu
“Yah… usu…” Rengean kecil Sheryn memecah keheningan kamar. Bola matanya setengah terpejam, tapi tangannya melambai-lambai, seolah sedang mencari sesuatu.Liam yang tadinya sudah hampir menyentuh gagang pintu sontak menoleh. “Sheryn? Aduh, Nak… baru saja tidur kok kebangun lagi,” gumamnya.“Mas, biar aku yang—” Keya baru hendak bangun, tapi Liam menahan dengan telapak tangan.“Biar aku saja, Ey. Kamu tenangin dia dulu,” ucap Liam sambil melangkah cepat ke dapur.Keya meraih tubuh kecil Sheryn yang menggeliat. Ia menepuk pelan punggung putrinya. “Sayang, sabar ya. Ayah lagi bikinin susu buat kamu. Nanti kamu bisa tidur lagi dengan nyenyak.”Sheryn merengek, memeluk erat leher ibunya. “Buun… au mau alang…”Keya tersenyum, mengelus rambut lembut itu. “Iya, sebentar. Ayah kan lagi ambil di dapur. Kamu anak pintar, kan? Coba hitung sama Bunda, satu… dua… tiga…”Sheryn menghitung dengan suara malas, tapi matanya mulai berbinar karena merasa diperhatikan.Sementara itu, di dapur, Liam bergegas
Liam menatap wajah istrinya yang masih tampak lelah. Ia menarik napas panjang, lalu menggiring Keya masuk ke dalam rumah. Saat Keya telah duduk, dipandanginya wanita itu lalu direngkuhnya kembali. "Kamu nggak tahu betapa takutnya aku, tolong jangan diulang lagi.""Memangnya kenapa, Kak, sampai kamu takut begitu, Kakak pikir aku apa?"Liam gelagapan. Lalu mengalihkan perhatian Keya dengan mengambil Sheryn dari Bi Ira."Bi Ira istirahat saja, biar nanti aku cari makanan buat makan malam dari luar.""Terimaksih, Mas!Ini bocah emang berat.."Liam menatap bocah yang kini di pangkuannya masih tertidur.. Lalu diciumnya dengan mata yang telah buram.."Yah,.mik usu," pinta Sheryn denagn mata yang sudah membuka."Baru juga mau ditidurkan Ayah, kok udah bangun.""Uka Ayah kin au eli, ayak onyet,""Apa? Berani ngatain Ayah kayak monyet?"Sheryn terkikik"Dicium ayah lagi kamu,.." Liam makin menciumi Sheryn. Dia benar-benar takut kehilangan bocah itu. Setetes air mata mengalir begitu saja di pipin
Liam menatap kertas itu dengan dahi berkerut. "Apa ini?" tanyanya pelan.Bayang wajah Keya tersenyum singkat, kemudian berlalu dengan seolah meninggalkan satu kesedihan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang beberapa hari ini yang membuat dada Liam makin sesak. Begitu pintu kamar tertutup, Liam duduk di kursi ruang tamu. Jari-jarinya gemetar membuka lipatan kertas itu.Tulisan tangan Keya terbaca rapi, sedikit miring ke kanan.Kak, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Sejak semua ini terjadi, aku sadar banyak hal yang aku nggak bisa ubah. Tapi ada satu hal yang selalu sama—hatiku yang sekarang bergetar kalau lihat Kakak. Aku tahu aku sering bikin Kak Liam kecewa, bikin Kak Liam marah, bahkan bikin Kak Liam ragu. Tapi aku ingin Kak Liam tahu... aku akan berusaha membahagiakan kamu dengan caraku. Sekuat aku. Aku nggak mau lihat kamu terus terbebani masa lalu aku. Aku cinta sama Kakak, meski mungkin caraku mencinta nggak sempurna.Liam berhenti membaca. Matanya panas. Ia menutup wajah d