"Kakak kenal sama mas ini?" "Iya, dia ini Adam." Jawab Nadya senang. Bertemu Adam selalu membuat Nadya senang, namun bukan dalam definisi romantis. Adam seperti jimat keberuntungan tersendiri bagi Nadya. Sebelumnya Adam telah membantunya membuatkan sebuah kotak perkakas yang sangat membantu Nadya menjadi lebih rapih dalam menempatkan peralatan kerjanya. Sekarang Adam bahkan menyelamatkan tas adiknya dari kecopetan. "Jadi dia adikmu, Nad?" Tanya Adam. Pantas saja wajah gadis itu begitu mengingatkannya dengan sosok Nadya. Hanya saja, Nala sedikit lebih cubby dan lebih pendek dari Nadya. "Sebentar-sebentar.." Nala berpikir sejenak, lalu dia teringat dengan curhatan kakaknya sehari sebelumnya. "Oh, jadi dia ini cowok yang kakak bilangin sebelumnya?" Nadya langsung melotot pada adiknya. Dia tidak menyangka jika adiknya justru malah membahas masalah ini tepat di depan Adam. Adam yang tidak tahu kalau dia pernah menjadi topik pembicaraan di antara kedua wanita cantik itu, sedikit mera
"Oi, gendut, minggir sana." "Udah gendut, jelek lagi." "Ndut, buang sampah ini ke depan." Seorang gadis kecil dengan seragam merah putih mendapat bulian dari teman-teman sebayanya. Gadis kecil yang terlihat kelebihan berat badan tersebut seringkali mendapat ejekan dan hinaan karena penampilan fisiknya. Kebanyakan dari teman sekelasnya lebih suka menjadikannya sebagai objek bullian ketimbang mengajaknya berteman. Sehingga sebagian besar waktunya, lebih sering dihabiskannya sendiri. "Oi, Gembon. Siapa yang suruh kamu duduk di sini? Sana, jauh-jauh! Kami tidak mau yah, kamu duduk dekat kami." "Iya, awas hati-hati aja sama makanan kita. Siapa tahu dia ke sini mau mencuri makanan kita." "Benar juga! Orang gendut kayak dia, kan sukanya makan. Mungkin makanannya sudah habis, jadi sekarang dia ngincar makanan kita." Sekelompok anak-anak ini adalah anak pejabat yang rata-rata sangat manja. Biasanya mereka suka berkumpul dengan kelompok mereka sendiri dan menjadi lebih dominan di antara
Adam baru saja berpindah ke lantai 17 tempat Nadya bekerja, ia baru akan membersihkan ruangan tersebut ketika melihat tas Nadya ternyata sudah ada di sana. Adam sempat melirik jam dalam ruangan sejenak, 'Bukankah ini masih terlalu pagi?' Pikir Adam heran. Saat itu, jam masih menunjukkan pukul 6.45. Baru saja Adam bertanya-tanya tentang alasan apa yang membuat Nadya datang sepagi itu, wanita yang menjadi objek pikirannya datang. Namun, tidak biasanya. Nadya terlihat gelisah, bahkan ia tidak memperhatikan jika Adam berdiri di dekatnya. Penasaran, Adam memberanikan diri bertanya, "Kamu kenapa, Nad? Panik gitu?" Nadya melonjak kaget. Ternyata benar, ia tidak sadar jika Adam ada di sana. Nadya sampai memegangi dadanya untuk menenangkan dirinya. "Astaga, Adam! Aku kira siapa." Adam terkekeh melihat reaksi Nadya. Tapi bukan itu yang membuatnya penasaran, Nadya sepertinya sedang ada masalah. "Nad, kamu kenapa? Sampai gelisah begitu? Ada masalah?" Nadya sepertinya memang sedang ban
Nadya begitu bersemangat setelah presentasinya berjalan dengan sempurna. Awalnya ia hampir putus asa, karena lupa membawa flash disknya pagi ini. Padahal semua materi presentasi ada di dalam sana. Itu hasil kerja kerasnya dan semua tim selama seminggu terakhir. Beruntung, Nadya punya jimat keberuntungan yang bernama Adam. Adam sampai bersusah payah menjemput flash disk Nadya ke rumahnya, akhirnya Nadya pun terselamatkan dan bisa tampil untuk presentasi hari ini. Tidak hanya itu, hasil kerja keras ia dan timnya juga mendapat apresiasi dari klien mereka, sehingga berhasil mengunci kesekapatan untuk salah satu proyek perumahan elit yang telah ditargetkan perusahaan pada mereka. "Nad, hari ini temani saya makan siang ya!" Ajak Sandi setelah rapat selesai dan semua orang sudah pergi meninggalkan ruangan. Saat itu, hanya tersisa mereka berdua dan Nadya sedang membereskan peralatannya. Bukan rahasia lagi, jika Sandi selama ini menyukai Nadya. Ia bahkan secara terang-terangan memanfaatkan
"Apa, Nad? Kamu manggil apa barusan? Saat itu semua orang melihat Nadya, sehingga membuatnya malu karena memanggil nama cinta semasa kecilnya disaat seperti itu, hanya karena ia sempat merasa sangat dekat dengannya. Jelas, itu hanya khayalannya saja. Tidak mungkin Adam adalah 'Tembon'nya, kebetulan saja mereka sama-sama baik. Namun, jauh dalam hati Nadya, keduanya tetap tidak bisa dibandingkan. "Tidak- tidak ada. Aku hanya ingin membayar bonnya." Ucap Nadya buru-buru berkata. "Yee, gak bisa gitu dong, Nad. Lagian kita kan sudah janji bayarnya bareng-bareng." Protes Gira keberatan. "Iya, betul, Nad. Bayarnya patungan aja, kita berempat." Imbuh Rena menimpali. "Makanannya cuma segini, masa patungan? Ya sudah, gini aja, kali ini aku yang bayar. Lain kali, gantian siapa gitu?" Usul Nadya. "Hmn, benar juga. Ide yang bagus tuh!" Sahut Rianti. Adam dan Ayu jelas saja menjadi orang paling senang, siapa yang tidak senang? Nadya dan yang lainnya ada empat orang, bisa empat kali mereka di
Ini semua masih terasa bagai mimpi bagi Adam, bisa menjadi dekat dengan Nadya meski hanya sebatas sahabatnya. Paling tidak, bisa lebih dekat, itu sudah selangkah lebih maju daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Adam sendiri juga tidak mengerti dengan perasaannya sendiri, ia berharap untuk bisa selalu dekat dengan Nadya. Wanita ini bagai magnet, yang selalu menariknya untuk mendekat. Padahal, dengan banyaknya pengalaman cinta Adam dimasa lalu. Tidak ada satupun dari wanita tersebut yang dapat menggetarkan hatinya, apalagi membuat Adam selalu kepikiran dengannya. Tapi, dengan Nadya itu lain. Kalau bisa, Adam bahkan mungkin akan menempelkan lem di seluruh tubuh Nadya agar gadis cantik itu bisa selalu menempel pada dirinya dan dibawanya pergi kemanapun. Sekarang hal itu terwujud, meski dengan cara yang berbeda. Mereka menjadi sahabat, tapi paling tidak Adam dapat mendekati Nadya tanpa perlu mencari-cari alasan yang berbelit-belit. Seperti pepatahnya para pujangga cinta, cinta i
Saking paniknya, Adam sampai lupa kalau ia hanya membawa uang 20 ribu perak di dalam dompetnya. Ketika melihat total tagihan ojol yang dipesannya mencapai 25 ribu, Adam dengan malu mengeluarkan uangnya. "Duh, maaf pak! Uang saya ternyata tinggal segini, saya buru-buru ke sini karena ayah saya sedang kritis." Tukang ojek yang lumayan berumur tersebut memperhatikan Adam sejenak dengan seksama. Mungkin ia sedang mempelajari kejujuran dibalik kata-kata Adam. Melihat Adam yang hanya berpakaian seorang OB, serta kecemasan yang memenuhi seluruh wajahnya. Tukang Ojol tersebut ternyata cukup pengertian, ia mengambil selembar uang sepuluh ribu dari tangan Adam dan mengembalikan sisanya. Adam menatapnya heran. "Ambillah, nak! Bapak tahu mana orang yang jujur dan mana orang yang sedang berbohong. Sepuluh ribu sudah cukup untuk ongkos bensin Bapak, kamu pasti butuh sisanya buat pulang nanti. Semoga bapakmu segera sembuh." Adam merasa terharu, bahkan disaat sulit seperti itu ternyata masih ada
"Kamu menjenguk pak Eka juga? Loh, kamu habis menangis?" Adam dihadapkan dengan pertanyaan dan situasi yang tidak menguntungkannya. Dia tidak mungkin bisa menyangkal jika mengatakan 'tidak dari ruang inap ayahnya'. Namun bukan itu masalahnya, Gira pasti akan bertanya-tanya alasan kenapa ia menjenguk ayahnya dan itu akan dapat membuka rahasianya. "Hmn, iya. Aku baru saja dari sana." Jawab Adam jujur setelah memikirkan berbagai alasan. "Oh, kamu kenal dengan pak Eka?" Tanya Gira terkejut. Tidak mengira, seorang OB seperti Adam akan mengenal orang nomor satu di perusahaan Widjaja Grup tersebut. Adam mengangguk kecil, "Iya, beliau orang yang menerimaku bekerja di perusahaan." "Hmn.. Jadi, karena pak Eka sakit, kamu sampai sedih yah?" "Yah, wajar sih. Pak Eka pasti sangat berjasa bagi kamu, ‘kan?" "Ya, begitu lah." Jawab Adam mengedikkan bahu dan tersenyum lega. "Hmn... Ra, kamu mau jenguk pak Eka juga kan? Silahkan. Aku mau balik duluan." Saran Adam, ia ingin segera pergi dari sa