Ini semua masih terasa bagai mimpi bagi Adam, bisa menjadi dekat dengan Nadya meski hanya sebatas sahabatnya. Paling tidak, bisa lebih dekat, itu sudah selangkah lebih maju daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Adam sendiri juga tidak mengerti dengan perasaannya sendiri, ia berharap untuk bisa selalu dekat dengan Nadya. Wanita ini bagai magnet, yang selalu menariknya untuk mendekat. Padahal, dengan banyaknya pengalaman cinta Adam dimasa lalu. Tidak ada satupun dari wanita tersebut yang dapat menggetarkan hatinya, apalagi membuat Adam selalu kepikiran dengannya. Tapi, dengan Nadya itu lain. Kalau bisa, Adam bahkan mungkin akan menempelkan lem di seluruh tubuh Nadya agar gadis cantik itu bisa selalu menempel pada dirinya dan dibawanya pergi kemanapun. Sekarang hal itu terwujud, meski dengan cara yang berbeda. Mereka menjadi sahabat, tapi paling tidak Adam dapat mendekati Nadya tanpa perlu mencari-cari alasan yang berbelit-belit. Seperti pepatahnya para pujangga cinta, cinta i
Saking paniknya, Adam sampai lupa kalau ia hanya membawa uang 20 ribu perak di dalam dompetnya. Ketika melihat total tagihan ojol yang dipesannya mencapai 25 ribu, Adam dengan malu mengeluarkan uangnya. "Duh, maaf pak! Uang saya ternyata tinggal segini, saya buru-buru ke sini karena ayah saya sedang kritis." Tukang ojek yang lumayan berumur tersebut memperhatikan Adam sejenak dengan seksama. Mungkin ia sedang mempelajari kejujuran dibalik kata-kata Adam. Melihat Adam yang hanya berpakaian seorang OB, serta kecemasan yang memenuhi seluruh wajahnya. Tukang Ojol tersebut ternyata cukup pengertian, ia mengambil selembar uang sepuluh ribu dari tangan Adam dan mengembalikan sisanya. Adam menatapnya heran. "Ambillah, nak! Bapak tahu mana orang yang jujur dan mana orang yang sedang berbohong. Sepuluh ribu sudah cukup untuk ongkos bensin Bapak, kamu pasti butuh sisanya buat pulang nanti. Semoga bapakmu segera sembuh." Adam merasa terharu, bahkan disaat sulit seperti itu ternyata masih ada
"Kamu menjenguk pak Eka juga? Loh, kamu habis menangis?" Adam dihadapkan dengan pertanyaan dan situasi yang tidak menguntungkannya. Dia tidak mungkin bisa menyangkal jika mengatakan 'tidak dari ruang inap ayahnya'. Namun bukan itu masalahnya, Gira pasti akan bertanya-tanya alasan kenapa ia menjenguk ayahnya dan itu akan dapat membuka rahasianya. "Hmn, iya. Aku baru saja dari sana." Jawab Adam jujur setelah memikirkan berbagai alasan. "Oh, kamu kenal dengan pak Eka?" Tanya Gira terkejut. Tidak mengira, seorang OB seperti Adam akan mengenal orang nomor satu di perusahaan Widjaja Grup tersebut. Adam mengangguk kecil, "Iya, beliau orang yang menerimaku bekerja di perusahaan." "Hmn.. Jadi, karena pak Eka sakit, kamu sampai sedih yah?" "Yah, wajar sih. Pak Eka pasti sangat berjasa bagi kamu, ‘kan?" "Ya, begitu lah." Jawab Adam mengedikkan bahu dan tersenyum lega. "Hmn... Ra, kamu mau jenguk pak Eka juga kan? Silahkan. Aku mau balik duluan." Saran Adam, ia ingin segera pergi dari sa
"Adam, maaf yah! Kemarin aku main pergi aja, karena harus jenguk pak Eka sama teman-teman. Kamu gak marah kan?" Tanya Nadya siangnya. "Ngapain marah? Kan kamu dah bilang mau jenguk pak Eka sebelumnya." Jawab Adam santai. "Ih bukan gitu. Aku kira kamu marah, karena tadi kita kan lagi serius bahas 'sesuatu'." Ujar Nadya sambil memberikan kode tanda kutip pada kata terakhir. Jantung Adam seketika berdegup lebih cepat, "Sesuatu apaan yah?" Tanya Adam pura-pura lupa. 'Masih ingat aja dia.' Pikir Adam cemas harus memberikan jawaban apa pada Nadya. Nadya langsung memasang ekspresi cemberut diwajahnya dan membuat Adam seketika mati kutu. Entah kenapa, kalau didepan Nadya ia seakan lemah dan tidak bisa melihat Nadya merajuk seperti itu. Apa itu artinya Nadya sudah menjadi kriptonit-nya Adam? "Iya-iya, jangan pasang ekspresi begitu kenapa? Tapi, bukan sekarang juga kan? Masa kerja gini, bahasnya masalah pribadi. Menyalahi aturan kerja, nanti kita bisa dikenakan pasal pelanggaran etos ker
"Adam, lepaskan!" Wajah Gira memerah dan memucat karena kekurangan asupan oksigen. Sementara itu Adam tidak terlihat tanda-tanda akan melepaskannya dan bahkan semakin mengencangkan cengkeramannya di leher Gira. Hal itu membuat Gira semakin ketakutan, ia tidak ragu jika Adam bahkan dapat berbuat nekat dan membunuhnya saat itu juga. Tidak memiliki pilhan lain, Gira akhirnya terpaksa harus berkata jujur, "Adam, ku mohon.. le-pas, aku, aku berbohong." Benar saja, tatapan dingin Adam tampak mulai berubah dan perlahan mengurangi cengkeramannya di kerah Gira. "Katakan yang sejujurnya?" Ujar Adam dingin. Gira meringkuk ketakutan, tapi paling tidak ia sudah bisa bernapas lega sekerang. Dengan perlahan ia menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Adam, termasuk cerita tentang papanya Adam yang sempat tersadar dan menanyakan Adam. "Jadi, aku hanya sekedar menebak saja, jika Adam yang dimaksud oleh mama Halimah itu adalah kamu. Aku sengaja melebihkan cerita terakhir dan tidak menduga justr
Semula Adam mengira, setelah insiden kecil antara dirinya dan Gira siang itu, akan membuat sikap Gira terhadapnya bisa kembali seperti biasa. Seperti sebelum Gira mengetahui siapa identitas Adam yang sesungguhnya. Namun yang terjadi, ternyata Gira sama sekali tidak menyerah memperjuangkan perasaannya dan situasi itu membuat kecanggungan terjadi antara dirinya, Gira dan Nadya. Seperti biasa, jika penunjuk waktu sudah menunjukkan mau akhir jam kantor. Adam seperti biasa selalu mengantarkan minuman putih biasa untuk karyawan di sana, dikarenakan mereka sering kehausan dan dehidrasi akibat terlalu fokus dengan pekerjaan. Namun, tidak jarang beberapa karyawan justru sengaja meminta dibikinkan kopi oleh para OB agar bisa tetap melek sampai jam pulang kerja nantinya. Karena Adam kebetulan yang bertugas di lantai itu, maka dia lah yang bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan karyawan di sana. Saat Adam baru saja meletakkan minuman di atas mejanya Nadya, Gira memanggilnya dengan nada sed
"Kakak beneran cuma sahabatan sama mas Adam?" Tanya Nala malam itu. Sebelumnya, ia sudah sangat penasaran, karena sehari sebelumnya Adam adalah orang yang menjemput flash disk kakaknya ke rumah. Sayang sekali, saat itu ia tidak punya banyak waktu untuk bertanya pada Adam, karena Adam harus bergegas kembali ke kantor untuk mengantar flash disk kakaknya. Nala tidak tahu jika Adam adalah seorang OB sebelumnya. Karena Nadya tidak menjelaskan pekerjaan Adam saat mereka bertemu pertama kali. Terakhir yang ia tahu dari cerita kakaknya, kalau mereka ternyata sudah resmi sahabatan. "Xixixi, kenapa? Seharusnya kamu senang dong. Kalau kamu masih minat jadi pacarnya Adam, silahkan aja! Ceritanya tar, 'Sahabatku jadi pacarnya adikku.', keren, 'kan?" Canda Nadya menggoda adiknya. "Ih, gak ah! Masa iya, aku pacarannya sama OB? Keren sih, cuma kalau OB, gak jadi deh." Ujar Nala seperti merasa jengah ketika membayangkannya. Ia memang menyukai cowok pemberani dan pintar berkelahi, dimata Nala cowo
"Tembon?" Pria yang dipanggil 'Tembon' oleh Nadya, tersenyum canggung saat semua orang justru menjadikannya pusat perhatian karena panggilan itu."Maaf, bu Nadya. Sepertinya anda salah orang. Perkenalkan, saya Fabian. PM yang baru." Fabian mengulurkan tangannya ramah dan terlihat begitu santai.Lain halnya dengan Nadya, ia tampak salah tingkah karena terlanjur menyebut nama PM baru mereka dengan panggilan 'khusus' masa kecilnya. Ia tidak sedang salah orang, karena pria tersebut memang 'Tembon' sahabat 'spesial' masa kecilnya.Nadya maklum kalau Tembon memilih untuk tidak mengakui nama 'itu', karena disana sedang banyak orang. Nadya tersenyum malu dan cepat menyesuaikan diri."Ma-maaf, Pak. Saya keceplosan. Salam kenal, senang bisa bekerjasama dengan anda." Ujar Nadya tersipu, segera menyadari kesalahannya. Ia terlalu bersemangat, sampai lupa dimana ia berada saat itu.Hari itu adalah perkenalan project manager yang baru. Otomatis Fabian akan menjadi orang dengan pangkat tertinggi dal