Alex terdiam sejenak membuat suasananya kembali hening. Dia sebenarnya masih marah pada Rachel, tapi dia juga tidak tenang kalau Rachel pergi tanpa pamit padanya. Terlebih lagi, Rachel ke luar dalam keadaan hamil. Alex takut hal buruk terjadi pada istri dan calon anaknya. “Maafkan aku, Papi. Aku terlalu fokus dengan pekerjaanku jadi-“ “Fokus pekerjaan atau cemburu? Aku sudah tahu apa yang terjadi pagi tadi,” kata Mahendra sambil melirik ke arah Sheila. Sejak awal, Mahendra memang tidak terlalu menyukai Sheila. Terlebih saat Sheila dinyatakan sakit dan tidak bisa mengandung. Tetapi, sang istri selalu mendukung menantu pertama mereka itu. “Papi, bukankah Rachel juga salah karena bertemu dengan lelaki lain di belakang Alex? Seharusnya dia-“ “Tidak usah kamu pojokkan Rachel. Aku tau betul siapa keluarganya. Itu sebabnya aku mengizinkan Alex menikahi dia. Lagipula saat ini dia sedang mengandung cucuku.” Mahendra hanya menggelengkan kepala kemudian ia pun melangkah pergi tanpa mengin
“Kalau suamimu marah apa lagi sampai berani berbuat kasar, aku akan menghadapinya.”Rachel menarik napas panjang, dia tidak bisa bercerita panjang lebar kepada Elang soal ini. Dia tidak mau membuat kakak angkatnya itu khawatir.“Aku baik-baik saja,” kata Rachel berusaha meyakinkan.“Ibu dan almarhum ayahmu menitipkan kamu kepadaku. Dan apa kamu lupa jika kamu belum menjenguk ibumu?”Rachel menghela napas panjang. Saat ini Bu Zahra-ibunda Rachel sedang berada di rumah sakit karena koma. Satu bulan setelah Rachel dan Alex menikah kedua orang tua Rachel mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan ayah Rachel meninggal sementara sang ibu koma.Selama ini Mahendra-ayah Alex yang sudah campur tangan membiayai pengobatan Zahra. Awalnya, pernikahan mereka pun karena Mahendra dan Hutama-ayah Rachel saling mengenal dan Hutama memiliki hutang budi kepada Mahendra.Awalnya Rachel juga tidak mau, hanya saja Alex dengan pintar membuat Rachel jatuh cinta dan akhirnya menerima pernikahan itu.“Jika aku
"Sayang, kamu sudah makan siang?" tanya Sheila, beranjak dari sofa lalu menghampiri Alex yang tengah menyisir rambutnya."Nggak usah, Sayang. Aku sudah makan di kantor sama Rafly tadi," jawab Alex datar.“Hmm ... asisten kamu itu aku kurang suka.” “Dia orang baik, Sayang. Pekerjaannya pun cukup baik dan dia juga cukup kompeten,” jawab Alex. “Hmm, baiklah. Yang paling penting sekarang kamu harus tersenyum dulu untukku. Aku tidak mau suamiku yang paling tampan ini cemberut terus,” kata Rachel. Alex memeluk Sheila sambil mengusap puncak kepalanya sayang. Di saat dirinya tengah dikuasai amarah terhadap Rachel, Sheila selalu ada untuknya.**Rachel mengambil sisa tisu yang tergeletak di atas kasur, kemudian dia gunakan untuk mengeringkan wajahnya yang basah karena baru saja dibersihkan. Sepertinya, malam ini Rachel harus menepikan waktu sebentar untuk merawat matanya yang bengkak dan sembap akibat terlalu lama menangis.Mbok Markonah sampai harus mengantarkan makan malam Rachel ke kamar
“Aku? Cemburu? Yang benar saja. Aku hanya tidak mau orang mengira kamu ada main dengan lelaki lain di belakangku.”Rachel menghela napas panjang. Jujur saja dia merasa kecewa. Tadinya dia berharap Alex akan cemburu karena Elang. Tetapi, ternyata ... ah, sudahlah.“Ya sudah, kalau begitu aku mau ke kamar dulu.”“Tunggu,” kata Alex. Meskipun dia masih merasa kesal pada Rachel, tapi jujur saja Alex tak bisa marah lebih lama lagi pada istrinya yang sedang hamil itu. Alex tidak mau kesehatan Rachel drop lagi karena dia terlalu banyak memikirkan masalah di antara mereka berdua."Apa kata dokter Risa?" tanya Alex."Kondisi ibu sama bayinya baik, kita sama-sama kuat. Dan, tidak ada masalah," jawab Rachel seadanya."Syukur kalau begitu," ucap Alex turut senang. Namun, dia tiba-tiba saja terkejut saat melihat Rachel menangis terisak.“Kamu menangis?”Rachel mengusap pipinya sambil menggeleng pelan, "Enggak.""Kenapa? Hm?" Alex mendekat pada Rachel, lalu memeluknya guna menenangkan perasaan sang
Rachel keluar dari dalam kamarnya, matanya lagi-lagi sembap karena menangis terlalu lama. Dia baru saja memblokir nomor tidak dikenal yang amat mengganggu itu, bahkan Rachel sendiri tidak tahu siapa yang mengiriminya pesan. Gara-gara pesan kurang ajar itu, Rachel dan Alex kembali bertengkar membuat kepalanya semakin pusing memikirkan banyak masalah yang tidak ada ujungnya. Helaan napas keluar dari mulut Rachel ketika melihat Alex dan Sheila yang sedang sarapan pagi tanpa menunggunya lebih dulu. Rachel memilih langsung duduk dan mengambil nasi goreng buatan Mbok Markonah. Tak memedulikan tatapan Sheila yang terkesan aneh saat Rachel balas menatapnya. Alex meneguk habis minumannya, lantas beranjak dari kursi karena makanannya sudah habis. Tak berbeda jauh dari Alex, Sheila pun melakukan hal yang sama membuat Rachel sontak memperhatikan keduanya disela sarapannya. "Sayang, aku antar sampai ke depan, ya," ucap Sheila yang langsung dibalas anggukan oleh Alex. Rachel hanya terdiam meliha
Sheila mengaduk coklat panasnya yang mulai mendingin karena dibiarkan terlalu lama tanpa dia sentuh. Di depannya, seorang lelaki tengah tengah bermain ponsel. Membiarkan Sheila meluapkan kekesalannya karena Rachel dan Alex kembali berbaikan. Dan itu hanya karena anak yang ada dalam kandungan Rachel. “Seharusnya aku tidak membiarkan perempuan itu hamil. Aku harusnya tidak perlu bekerja sama dengan perempuan ular itu,” kata Sheila. “Maharani maksudmu?” “Siapa lagi. Gara-gara dia memintaku supaya tidak hamil aku jadi kehilangan Alex. Seharusnya aku bisa menguasai harta lelaki itu.” “Kamu singkirkan saja perempuan itu sekalian.” “Hans! Kamu memang sangat pintar.” Hans-lelaki itu adalah kekasih gelap Sheila. Mereka sudah sejak lama menjalin hubungan.Hans mematikan layar ponselnya, menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke atas meja. Matanya kini menatap Sheila yang masih saja sibuk memikirkan masalah Alex. Padahal, Hans yakin Sheila masih punya banyak waktu dengan suami
Mobil Hans keluar dari halaman parkir kafe langganan mereka. Keduanya sama-sama terdiam, fokus dengan pikiran masing-masing. Alunan lagu dari radio terputar memecah keheningan, samar-samar terdengar Sheila ikut menyanyi mengikuti iringan lagu favoritnya."Kamu masih ingat lagu favoritku?" tanya Sheila di tengah perjalanan mereka."Aku tidak mungkin segala yang berkaitan denganmu," jawab Hans membuat Sheila terdiam seketika.Sheila memilih memperhatikan jalanan luar dari jendela, sepi meski waktu masih terbilang belum terlalu larut malam. Tadi Sheila meminta izin untuk bertemu kawannya di cafe pada Alex. Beruntung Alex percaya walau sebelumnya dia bersikeras ingin mengantarkan Sheila ke tempat tujuannya."Berhenti di depan saja," ucap Sheila.Mobil Hans berhenti tepat di depan rumah yang bersebelahan dengan rumah Alex. Sheila yang hendak keluar dari mobil urung ketika Hans menahan tangannya. Tatapan pria itu membuat Sheila menyernyit heran, tak bisa mengartikan sorot matanya."Kenapa?"
Mendengar deru mobil dari luar rumah membuat Rachel yang hendak pergi ke dapur mengurungkan niatnya. Langkah kakinya membawa Rachel ke ruang utama untuk menyambut kedatangan suaminya. Rachel tidak bisa jauh-jauh dari Alex. Mungkin karena bawaan si jabang bayi yang ingin terus berdekatan dengan ayahnya. Sehingga Rachel selalu merasa rindu kepada Alex.Senyum Alex terbit saat melihat Rachel yang tengah menunggu kedatangannya di ruang utama. Sontak dia mendekati istrinya yang langsung melentangkan kedua tangan."Hai, Sayang," sapa Alex, lantas memeluk Rachel membuat empunya tertawa kecil."Bagaimana hari ini? Apa yang kamu lakukan?" tanya Alex.“Aku merindukan Ibu.”Alex terdiam, sudah sangat lama Rachel tidak pernah membicarakan sang ibu yang sampai saat ini masih terbaring koma.“Kamu mau menengoknya?”“Sudah lama aku tidak mengunjungi Ibu,” kata Rachel.Alex menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Baiklah, kita akan mengunjunginya akhir pekan ini.”“Ah, terima kasih banya