Share

BUKAN RAHIM YANG SEMPURNA
BUKAN RAHIM YANG SEMPURNA
Penulis: Azled

BAB 1 - PERCUMA

"Aku tidak mengerti lagi dengan jalan pikir mertuaku, Sin. Rahimku sehat, aku dan Aziz juga tidak mandul. Tapi kenapa ibu Aziz ngotot sekali ingin menyewa rahim orang lain?  Aku terus-menerus sakit hati setiap kali mengingat dia meragukan rahimku," kata Lizia jengkel. Dia mengambil selembar tisu di atas meja. Entah berapa banyak tisu yang akan dia ambil lagi untuk menghapus air matanya.

Lizia menangis sesenggukan, menatap sahabatnya dengan mata yang merah. "Kenapa Tuhan belum memberi aku dan Aziz anak? Dan kenapa juga mertuaku harus perempuan cerewet itu? Ah!" teriak Lizia.

Sindi menghela napasnya, menatap kasihan pada Lizia. "Sabar, Liz. Ada, kok, wanita yang belum dikasih anak sampai sepuluh tahun. Eh tapi akhirnya dikasih juga. Intinya, Liz ... jangan putus asa. Sedangkan mertua kamu, biarkan saja mau bilang apa." Dia mengusap pundak Lizia, mencoba memberi kekuatan kepada sahabat karibnya itu.

Lizia membuang tisunya yang sudah basah, kemudian beralih pada jus di atas meja dan meminumnya sampai habis. "Aku harus bagaimana? Aku sudah gagal di bayi tabung beberapa kali. Aku akan trauma berat kalau harus melakukan program bayi tabung lagi."

"Tidak apa-apa. Coba lagi sambil berdoa. Usaha tidak mengkhianati hasil," ucap Sindi.

Lizia mengangguk. Dia menghapus air matanya. "Iya. Aku mungkin akan ikut program bayi tabung lagi. Aku tidak mau mengecewakan Aziz dan ibunya."

"Sudah jam setengah sepuluh. Aku pulang dulu, ya. Aziz mungkin udah pulang." Lizia memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

"Yasudah. Hati-hati, Liz. Jangan kencang-kencang bawa mobil," ucap Sindi.

Lizia mengangguk lalu pergi mengendarai mobilnya ke jalan utama.

Di dalam mobil, Lizia lagi-lagi teringat akan ucapan ibu mertuanya dua hari yang lalu. Ibu mertuanya memarahi dirinya karena belum juga hamil. Hanya dirinya. Istri mana yang yang tidak mau memberikan anak pada suami? Lantas kenapa dia yang harus disalahkan?

Lizia juga tidak tahu, dia lelah, marah, kecewa, dan entah apa lagi yang ia rasakan karena belum memberi suaminya anak selama 7 tahun menikah. Bahkan beberapa kali melakukan program bayi tabung, tetapi hasilnya selalu membuat hatinya remuk berkeping-keping.

Namun, dia bersyukur karena suaminya adalah Aziz yang selalu mendukungnya di setiap langkah sulitnya memiliki anak. Aziz yang selalu menyemangati kala dia gagal dalam proses bayi tabung.

Pernah, Lizia mendapati Aziz menangis di tengah malam saat kegagalan bayi tabung. Tidak ada yang lebih sakit daripada menyaksikan tangisan Aziz. Pria itu menangis sendiri. Tetapi Lizia bisa apa?

"Sayang?" panggil Lizia.

Dia baru tiba dan mendapati rumahnya dalam keadaan terang. Berarti Aziz sudah pulang. Lantas Lizia menyusuri setiap ruangan rumahnya sampai ke lantai dua mencari sosok Aziz, dan dia menemukan sosok itu di dapur.

"Sayang, kenapa duduk di sana?" Lizia mendekati Aziz yang duduk di salah satu kursi meja makan.

"Kenapa diam?" Dia membelai rambut hitam halus itu.

"Aku lapar."

Dua kata dari Aziz membuat Lizia kebingungan.

Menyadari kebingungan Lizia, Aziz kembali membuka suara.

"Sudahlah, sudah aku duga kamu melupakan janji yang kamu buat sendiri kemarin malam," kata Aziz pelan, terdengar jengkel tapi pasrah.

Lizia tertegun.

Benar, kemarin dia berjanji akan membuat makan malam dan menyuruh Aziz untuk tidak makan malam di luar.

Sekarang, dia malah melupakan janji itu dan membuat suaminya kelaparan. Bodoh sekali!

"Sayang ... maafkan aku. Aku benar-benar lupa," kata Lizia dengan wajah menyesal.

Aziz menepis tangan Lizia di kepalanya. Kemudian berdiri dan hendak meninggalkan dapur, tetapi dengan cepat Lizia menahan tangannya.

"Kamu duduk dulu. Aku akan masak dengan cepat. Aku mohon ...."

"Tidak perlu. Aku akan makan di luar."

"Sayang ... ini cuma hal sepele. Jangan marah, ya. Kamu duduk saja sambil main ponsel atau nonton TV. Tenang saja, aku akan masak sekarang," kata Lizia dengan suara lembut diiringi dengan senyum lebarnya.

Aziz menatap Lizia kesal. "Sepele kamu bilang?" Dia menepis kasar tangan Lizia di lengannya. "Kamu yang buat janji, Liz! Aku rela tidak makan dari siang demi kamu! Demi kamu! Aku lapar sampai kaki dan tanganku gemetar. Aku sampai ditegur sama asistenku sendiri karena tidak fokus selama operasi. Karena apa? Karena aku menahan lapar demi makanan yang ternyata tidak kamu buat. Kamu masih ingin bilang itu hal sepele. Kamu yang tidak menepati janji, bukanlah hal sepele," katanya panjang lebar penuh emosi, tekanan, dan terdengar frustasi.

Aziz menutup pintu dengan keras setelah mengambil jas dokternya.

Lizia menyandarkan tubuhnya di meja makan. Dia menghela napas panjang saat terdengar suara mobil Aziz yang semakin jauh.

Lizia menatap seluruh ruangan yang tidak terlalu luas itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tidak menangisi kemarahan Aziz, dia hanya merasa marah pada dirinya sendiri. Dia merasa putus asa akibat perkataan mertuanya sampai-sampai melupakan janji yang dia buat.

Sudah hampir jam sebelas. Lizia menaiki tangga, pergi ke kamarnya di lantai dua untuk mengambil selimut dan bantal.

Dia akan tidur di kursi panjang di ruang tengah, menunggu sampai Aziz pulang.

12:33 malam.

Terdengar suara mobil Aziz di halaman rumah. Pria itu akhirnya pulang juga.

Aziz membuka pintu utama dengan kunci cadangan yang selalu dia bawa. Dia menghela napas ketika mendapati Lizia yang tertidur memeluk selimut. Ya, bukan bantal tapi selimut.

Aziz membuka sepatunya, berjalan dengan kaki telanjang dan pelan agar istrinya tidak terbangun.

Tetapi sebenarnya Lizia sama sekali belum tidur. Dia masih terjaga, dan pura-pura menutup matanya saat Aziz membelai rambutnya dengan lembut. Kemudian, dia merasakan kecupan di matanya.

"Maafkan aku, sayang," kata Aziz pelan, penuh penyesalan di telinga Lizia.

Pagi hari. Lizia bangun pagi-pagi sekali.

Jam 8 dia harus ke kantor, sedangkan jam setengah 8 Aziz ke rumah sakit. Jadi, Lizia bangun subuh untuk menyiapkan sarapan pagi juga dengan pakaian yang akan digunakan suaminya. Dia menyiapkan semuanya dalam rangka menebus kesalahannya kemarin malam.

"Sayang, sudah jam tujuh. Bangun, nanti kamu terlambat ke rumah sakit." Lizia mengguncang pelan bahu Aziz.

"Mulutnya ditutup kalau sedang menguap."

Aziz tertawa kecil dibalik telapak tangan Lizia yang menutup mulutnya ketika menguap. "Aku masih mengantuk. Mandikan aku, ya!" katanya dengan senyum menggoda, menatap Lizia dengan tatapan nakal.

Lizia memukul pelan lengan Aziz. Dia menggeleng. "Jangan main-main, ah! Pergi mandi sekarang, kamu bau ayam goreng, eww ...." ejeknya dengan tatapan jijik.

"Benarkah? Hm, hah!"

Lizia sontak menutup mulutnya dan menjauh dari tempat tidur ketika Aziz sengaja menghembuskan napas di depan wajahnya. "Bau!" teriaknya.

Aziz tertawa kalem. Dia lalu melalui Lizia dan ke kamar mandi. Kemudian, terdengar gemericik air dalam sana.

Setelah mandi, Aziz pun memakai kemeja biru dengan celana putih yang Lizia telah siapkan. Setelah itu, dia turun ke bawah untuk sarapan bersama istri tercintanya.

Selama 7 tahun mereka memang begitu. Sekecil dan sebesar apa pun pertengkaran yang terjadi, keesokan harinya mereka akan berbaikan lagi. Mereka dengan cepat belajar dari kesalahan.

"Terima kasih, sayang. Tapi aku khawatir tidak bisa ke rumah sakit hari ini," kata Aziz.

Lizia menoleh cepat, "Kenapa? Kamu sakit?" tanyanya khawatir.

Aziz menggeleng sambil tersenyum. "Makanan yang kamu masak banyak sekali. Aku takut menghabiskan semuanya hingga tidak bisa berjalan lagi."

"Kamu---"

Kalimat Lizia terpotong ketika dengan tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang modis berdiri di depan meja makan sambil memperhatikan mereka berdua.

Horor sekali.

Itu adalah ibu Aziz sekaligus ibu mertua Lizia.

"Ibu kenapa berdiri di situ? Tiba-tiba muncul sudah seperti hantu saja. Ucap salam atau panggil nama, kan, bisa," omel Aziz.

Lizia tersenyum kaku, merasa jika Aziz sudah berlebihan terhadap ibunya sendiri. "Ibu sudah sarapan? Kebetulan aku masak banyak---"

"Tidak usah," sela Rina, mertua Lizia. "Kamu tidak perlu repot-repot. Ibu cuma mau kasih tau sesuatu lalu pergi," katanya lagi.

Rina meletakkan tasnya di atas meja, kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Setelah menggesek-gesek layar ponselnya, Rina lalu menunjukkan foto seorang perempuan memakai kebaya merah muda. Anggun dan cantik.

Aziz mengernyit. "Siapa dia, Bu?"

"Wanita ini yang akan mengandung anak kalian berdua."

Hening sesaat.

Wajah Lizia sudah tak seceria tadi. Dia menatap Aziz dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Kemudian, dia beralih menatap tembok di sampingnya.

"Bu, sudah berapa kali aku bilang, aku sama Lizia tidak akan menyewa rahim siapa pun! Kami berdua sehat dan masih mampu memberikan ibu cucu. Kenapa ibu menekan kami seperti ini?" kata Aziz berusaha menahan amarah, mencoba bicara selembut mungkin pada ibunya.

Brak!

Rina menggebrak meja, menatap marah pada Aziz dan Lizia bergantian. "Sehat apanya, hah? Kalau sehat, ibu pasti sudah lama menimang cucu. Istri kamu ini jangan-jangan mandul. Cantik, kaya, baik, tapi percuma kalau tidak bisa melahirkan anak!" hardik Rina dengan suara keras.

Mata Lizia berkaca-kaca mendengar perkataan Rina. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa menghadapi ibu mertua seperti ibunya Aziz.

Dia akhirnya memilih pergi dari sana, mengambil tasnya lalu berangkat ke kantor dengan hatinya yang sakit. Air mata yang ia tahan jatuh juga.

Di tengah-tengah air matanya yang terus jatuh, Lizia mengambil ponselnya di dalam tas, lalu menekan tombol panggilan dengan mana 'Sindi'.

"Halo?" Suara Sindi yang serak khas bangun tidur

"Sin ...." lirih Lizia rendah. Air matanya jatuh lagi.

"Kamu kenapa menangis?" tanya Sindi terdengar khawatir. Suaranya langsung lantang tidak serak seperti tadi.

Lizia menghirup udara dalam-dalam. Dengan cepat menghapus air matanya lalu kembali memegang stir.

"Aku tidak tahu, Sin. Aku tidak tahu tangisan aku ini karena perkataan mertuaku atau karena nasibku yang malang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status