Share

Bab 5 Permintaan Perempuan Itu

Deru mobil Mas Dimas memasuki garasi. Entah mengapa ada rasa malas untuk menyambut. Tak seperti biasanya momen seperti ini yang paling kunanti.

Hari-hari sebelumnya, tiap kali kudengar suara klakson mobil Mas Dimas, aku pasti sudah dandan begitu rapi dan menyiapkan air hangat untuknya.

 

Tak lupa kusiapkan juga teh dan roti panggang kesukaannya, menata kamar sedemikian rapi agar dia semakin nyaman saat membaringkan badan karena kelelahan. Apalagi jika ada tugas luar kota seperti ini.  

 

Biasanya, gegas kuputar kursi roda menuju teras untuk menyambutnya dengan senyum termanis. Mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing atau koper yang dia bawa. Iya, itu hari-hari biasanya. 

Hari yang terlalu berbeda dengan detik ini. Kini aku yang justru pura-pura terlelap di atas sofa. Tak mempedulikan kedatangannya dan pura-pura tak mendengar suara berisik dari sepatunya.

 

Dia yang dulu kupikir kerja sekuat tenaga untuk memajukan perusahaan papa, nyatanya justru menghamburkan uangnya untuk membahagiakan istri siri dan mertuanya dengan cuma-cuma. 

 

Sengaja masih kuletakkan kursi roda di samping sofa seperti biasanya. Padahal sejak kemarin sore aku sudah mulai bisa berjalan cukup lancar, meski beberapa menit kemudian harus istirahat. Duduk beberapa saat lamanya untuk memulihkan tenaga.

 

Jika dia lihai bersandiwara, aku pun bisa. Saat ini aku hanya ingin mengumpulkan banyak bukti agar papa percaya bahwa ucapanku benar adanya.

Kepolosan laki-laki itu sudah membuat papa begitu meyakininya bahkan seolah tak ada setetes curiga di hatinya. Menantu kesayangan yang ternyata hanya akan menghancurkan usahanya saja. 

"Assalamu'alaikum, Sha. Suamimu pulang nih."

 

Terdengar salamnya dari balik pintu. Dibukanya perlahan lalu melangkah ke dalam. Aku hanya menjawab salamnya lirih, agar dia tak tahu jika aku masih sedikit terjaga. 

 

"Sha, kamu sakit?" tanyanya saat sampai di samping pembaringan. Kukucek kedua mata perlahan. Pura-pura kaget saat melihatnya datang.

 

"Mas, kapan sampainya? Kamu pasti capek banget, ya?" tanyaku kemudian. Mencoba untuk duduk di kursi roda seperti biasanya saat dia datang dari luar kota. 

 

"Baru aja, Sha. Iya, capek banget rasanya akhir-akhir ini. Apalagi suamimu ini harus begadang tiap malam," jawab Mas Dimas lagi. Dia bicara seperti itu pasti agar aku begitu bangga memiliki suami pekerja keras sepertinya. 

Mungkin memang tak ada yang salah dengan alasan begadangnya. Jelas saja begadang tiap malam, bayinya mungkin sering rewel karena belum genap sebulan.

 

Istrinya pasti juga sangat kecapekan, mungkin saja memintanya bergantian menjaga buah hati mereka. 

 

Biasanya aku langsung memijit pundak dan lengannya, membawakan jahe hangat atau buah dari kulkas. Saat ini? Aku benar-benar malas.

 

"Kamu nggak mijit, Sha? Tumben," ucap Mas Dimas sembari mengerutkan kedua alisnya.

 

"Iya, Mas. Maaf, ya. Kepalaku pusing," balasku singkat sembari memijit kening.

 

Mas Dimas pun mengangguk pelan, mengusap peluk kepalaku lalu menciumnya pelan. Aroma parfum wanita menguar di penciuman. Astaghfirullah ... membayangkannya saja aku sudah mual.

Aku yakin ini pasti bau parfum istri pertamanya, entah apa yang mereka lakukan sebelumnya mungkin saling peluk, saling cium atau entah!  

 

Aku memang tak bisa menuntut banyak hal darinya meski aku adalah istri sah dalam agama dan negara namun tetap saja aku yang kedua.

 

Rasanya tak nyaman jika aku disebut pelakor, padahal jelas mereka lah yang sengaja memanfaatkan ketidakberdayaanku dan kelemahan papa.

"Tas kecilnya masih di mobil, Sha. Tolong ambilkan, ya? Tadi lupa mau dibawa buru-buru ambil koper soalnya."

 

Aku hanya mengangguk pelan. Memutar kursi roda untuk menuju mobil Mas Dimas. Tas kecil berisi dompet, ponsel dan lainnya itu ada si jok depan, samping tempatnya menyetir. 

 

Kulihat ada botol susu tergeletak di bawah jok. Apa Mas Dimas lupa mengambilnya dari sana? Atau dia tak sengaja menjatuhkannya? Karena posisinya memang nyempil bahkan tak kelihatan jika tak menunduk dan memperhatikan dengan seksama. 

 

Gegas kuambil ponsel dari kantong daster lalu memotretnya. Semua bukti yang ada aku simpan rapat termasuk ponsen Mas Dimas yang sudah kunonaktifkan.

Lagi-lagi karena papa tak akan percaya jika aku hanya memberinya satu atau dua bukti saja. 

 

"Ada kan, Sha? Di jok depan," ucap Mas Dimas cukup keras. 

 

"Iya, Mas. Ada kok," jawabku.

Kuambil tas hitam itu dari sana lalu menutup mobil perlahan. Getar ponsel terasa di pangkuan. Siapa lagi ini? Perlahan kuambil ponsel baru Mas Dimas. Sama seperti sebelumnya, ponsel itu menggunakan password. Takut Mas Dimas curiga, aku hanya membuka pesannya dari notifikasi di layar. 

|Mas, jangan lupa sebulan lagi jemput aku dan ibu. Kami juga ingin menikmati rumah mewah istrimu| 

 

Dahiku mengernyit tiba-tiba. Apa maksud perempuan itu? Dia dan ibunya mau datang ke sini? Ke rumah ini? Seatap denganku begitu?

 

Dasar tak tahu malu, sudah begitu banyak uang bulanan dia dapatkan dari Mas Dimas bahkan aku tak meminta jatah sepeser pun, masih ngelunjak dia. 

 

Selalu kurang dan belum puas. Bahkan sekarang mulai berani memaksa Mas Dimas untuk mengajaknya tinggal di rumah ini. Apa mentang-mentang dia istri pertama lalu bisa seenaknya?

Apa karena dia yang Mas Dimas cinta hingga bisa leluasa memaksa menuruti semua kemauannya? Tak semudah itu, nona! Aku akan membuatmu menyesal jika sampai datang ke rumah ini.

 

Gegas kufoto pesan itu menggunakan ponselku lalu kembali memasukkannya ke dalam tas. Kuputar roda perlahan memasuki teras hingga sampai ke ruang keluarga, tempat Mas Dimas merebahkan badannya. 

 

"Ini tasnya, Mas," ucapku sembari meletakkan tas kecilnya di atas meja.

 

Kulihat dia sedang menyeduh teh di dapur. Biar saja dia urusi keperluannya sendiri.

 

"Bik Minah mana, Sha? Kok nggak kelihatan dari tadi?"

"Pulang kampung, Mas. Ada hajatan saudaranya," jawabku sekenanya.

 

Dia terlalu bahagia mendapatkan buah hati hingga lupa jika Bik Minah sudah minta ijin padanya beberapa hari sebelum dia ke luar kota. 

 

Kulihat Mas Dimas membuka ponselnya. Agak salah tingkah dia menoleh ke arahku.

 

"Kenapa, Mas? Gugup begitu?" tanyaku asal.

"Emm ... kamu buka notif di ponselku nggak tadi?" tanyanya sedikit terbata. 

 

"Buat apa? Memangnya ada pesan apa sini kulihat," pintaku kemudian. Aku yakin saat ini dia agak khawatir jika aku sudah membuka ponselnya itu. 

 

"Eh ... nggak ada. Nggak ada yang penting kok," ucapnya lagi sembari mengetikkan sebuah pesan di benda pipihnya. 

 

Dasar laki-laki munafik. Dia pikir aku seb*doh dan sepolos sebelumnya? Nggak, Mas! Kamu ke sini tak membawa apa-apa, jadi pergi dari sini pun kupastikan tak akan membawa apa-apa pula.

 

Sudah cukup kamu bersandiwara, sudah cukup kamu membuatku kecewa, kini giliran aku yang akan membongkar dan mendepakmu dari kantor papa. Tinggal menunggu waktu saja, semua akan berakhir istimewa. 

*** 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
memang kamu dan bapak mu bodoh. asal ada yg mau menikahi main embat aja. dan sdh banyak bukti masih menye2 dan ngebacot dlm hati. g guna nyet
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
semiga cpt sembuh ayah mu dn cpt bongkar k bobrokan Dimas sebeljm klga nya dtng kedini dn juga cpt buang laki2 itu k asal nya biar merasakan lagi gimana susah nya hidup .sebelum hartamu d kuras habis ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status