Home / Rumah Tangga / BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM / Bab 5 Permintaan Perempuan Itu

Share

Bab 5 Permintaan Perempuan Itu

Author: NawankWulan
last update Huling Na-update: 2022-05-09 23:34:45

Deru mobil Mas Dimas memasuki garasi. Entah mengapa ada rasa malas untuk menyambut. Tak seperti biasanya momen seperti ini yang paling kunanti.

Hari-hari sebelumnya, tiap kali kudengar suara klakson mobil Mas Dimas, aku pasti sudah dandan begitu rapi dan menyiapkan air hangat untuknya.

 

Tak lupa kusiapkan juga teh dan roti panggang kesukaannya, menata kamar sedemikian rapi agar dia semakin nyaman saat membaringkan badan karena kelelahan. Apalagi jika ada tugas luar kota seperti ini.  

 

Biasanya, gegas kuputar kursi roda menuju teras untuk menyambutnya dengan senyum termanis. Mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing atau koper yang dia bawa. Iya, itu hari-hari biasanya. 

Hari yang terlalu berbeda dengan detik ini. Kini aku yang justru pura-pura terlelap di atas sofa. Tak mempedulikan kedatangannya dan pura-pura tak mendengar suara berisik dari sepatunya.

 

Dia yang dulu kupikir kerja sekuat tenaga untuk memajukan perusahaan papa, nyatanya justru menghamburkan uangnya untuk membahagiakan istri siri dan mertuanya dengan cuma-cuma. 

 

Sengaja masih kuletakkan kursi roda di samping sofa seperti biasanya. Padahal sejak kemarin sore aku sudah mulai bisa berjalan cukup lancar, meski beberapa menit kemudian harus istirahat. Duduk beberapa saat lamanya untuk memulihkan tenaga.

 

Jika dia lihai bersandiwara, aku pun bisa. Saat ini aku hanya ingin mengumpulkan banyak bukti agar papa percaya bahwa ucapanku benar adanya.

Kepolosan laki-laki itu sudah membuat papa begitu meyakininya bahkan seolah tak ada setetes curiga di hatinya. Menantu kesayangan yang ternyata hanya akan menghancurkan usahanya saja. 

"Assalamu'alaikum, Sha. Suamimu pulang nih."

 

Terdengar salamnya dari balik pintu. Dibukanya perlahan lalu melangkah ke dalam. Aku hanya menjawab salamnya lirih, agar dia tak tahu jika aku masih sedikit terjaga. 

 

"Sha, kamu sakit?" tanyanya saat sampai di samping pembaringan. Kukucek kedua mata perlahan. Pura-pura kaget saat melihatnya datang.

 

"Mas, kapan sampainya? Kamu pasti capek banget, ya?" tanyaku kemudian. Mencoba untuk duduk di kursi roda seperti biasanya saat dia datang dari luar kota. 

 

"Baru aja, Sha. Iya, capek banget rasanya akhir-akhir ini. Apalagi suamimu ini harus begadang tiap malam," jawab Mas Dimas lagi. Dia bicara seperti itu pasti agar aku begitu bangga memiliki suami pekerja keras sepertinya. 

Mungkin memang tak ada yang salah dengan alasan begadangnya. Jelas saja begadang tiap malam, bayinya mungkin sering rewel karena belum genap sebulan.

 

Istrinya pasti juga sangat kecapekan, mungkin saja memintanya bergantian menjaga buah hati mereka. 

 

Biasanya aku langsung memijit pundak dan lengannya, membawakan jahe hangat atau buah dari kulkas. Saat ini? Aku benar-benar malas.

 

"Kamu nggak mijit, Sha? Tumben," ucap Mas Dimas sembari mengerutkan kedua alisnya.

 

"Iya, Mas. Maaf, ya. Kepalaku pusing," balasku singkat sembari memijit kening.

 

Mas Dimas pun mengangguk pelan, mengusap peluk kepalaku lalu menciumnya pelan. Aroma parfum wanita menguar di penciuman. Astaghfirullah ... membayangkannya saja aku sudah mual.

Aku yakin ini pasti bau parfum istri pertamanya, entah apa yang mereka lakukan sebelumnya mungkin saling peluk, saling cium atau entah!  

 

Aku memang tak bisa menuntut banyak hal darinya meski aku adalah istri sah dalam agama dan negara namun tetap saja aku yang kedua.

 

Rasanya tak nyaman jika aku disebut pelakor, padahal jelas mereka lah yang sengaja memanfaatkan ketidakberdayaanku dan kelemahan papa.

"Tas kecilnya masih di mobil, Sha. Tolong ambilkan, ya? Tadi lupa mau dibawa buru-buru ambil koper soalnya."

 

Aku hanya mengangguk pelan. Memutar kursi roda untuk menuju mobil Mas Dimas. Tas kecil berisi dompet, ponsel dan lainnya itu ada si jok depan, samping tempatnya menyetir. 

 

Kulihat ada botol susu tergeletak di bawah jok. Apa Mas Dimas lupa mengambilnya dari sana? Atau dia tak sengaja menjatuhkannya? Karena posisinya memang nyempil bahkan tak kelihatan jika tak menunduk dan memperhatikan dengan seksama. 

 

Gegas kuambil ponsel dari kantong daster lalu memotretnya. Semua bukti yang ada aku simpan rapat termasuk ponsen Mas Dimas yang sudah kunonaktifkan.

Lagi-lagi karena papa tak akan percaya jika aku hanya memberinya satu atau dua bukti saja. 

 

"Ada kan, Sha? Di jok depan," ucap Mas Dimas cukup keras. 

 

"Iya, Mas. Ada kok," jawabku.

Kuambil tas hitam itu dari sana lalu menutup mobil perlahan. Getar ponsel terasa di pangkuan. Siapa lagi ini? Perlahan kuambil ponsel baru Mas Dimas. Sama seperti sebelumnya, ponsel itu menggunakan password. Takut Mas Dimas curiga, aku hanya membuka pesannya dari notifikasi di layar. 

|Mas, jangan lupa sebulan lagi jemput aku dan ibu. Kami juga ingin menikmati rumah mewah istrimu| 

 

Dahiku mengernyit tiba-tiba. Apa maksud perempuan itu? Dia dan ibunya mau datang ke sini? Ke rumah ini? Seatap denganku begitu?

 

Dasar tak tahu malu, sudah begitu banyak uang bulanan dia dapatkan dari Mas Dimas bahkan aku tak meminta jatah sepeser pun, masih ngelunjak dia. 

 

Selalu kurang dan belum puas. Bahkan sekarang mulai berani memaksa Mas Dimas untuk mengajaknya tinggal di rumah ini. Apa mentang-mentang dia istri pertama lalu bisa seenaknya?

Apa karena dia yang Mas Dimas cinta hingga bisa leluasa memaksa menuruti semua kemauannya? Tak semudah itu, nona! Aku akan membuatmu menyesal jika sampai datang ke rumah ini.

 

Gegas kufoto pesan itu menggunakan ponselku lalu kembali memasukkannya ke dalam tas. Kuputar roda perlahan memasuki teras hingga sampai ke ruang keluarga, tempat Mas Dimas merebahkan badannya. 

 

"Ini tasnya, Mas," ucapku sembari meletakkan tas kecilnya di atas meja.

 

Kulihat dia sedang menyeduh teh di dapur. Biar saja dia urusi keperluannya sendiri.

 

"Bik Minah mana, Sha? Kok nggak kelihatan dari tadi?"

"Pulang kampung, Mas. Ada hajatan saudaranya," jawabku sekenanya.

 

Dia terlalu bahagia mendapatkan buah hati hingga lupa jika Bik Minah sudah minta ijin padanya beberapa hari sebelum dia ke luar kota. 

 

Kulihat Mas Dimas membuka ponselnya. Agak salah tingkah dia menoleh ke arahku.

 

"Kenapa, Mas? Gugup begitu?" tanyaku asal.

"Emm ... kamu buka notif di ponselku nggak tadi?" tanyanya sedikit terbata. 

 

"Buat apa? Memangnya ada pesan apa sini kulihat," pintaku kemudian. Aku yakin saat ini dia agak khawatir jika aku sudah membuka ponselnya itu. 

 

"Eh ... nggak ada. Nggak ada yang penting kok," ucapnya lagi sembari mengetikkan sebuah pesan di benda pipihnya. 

 

Dasar laki-laki munafik. Dia pikir aku seb*doh dan sepolos sebelumnya? Nggak, Mas! Kamu ke sini tak membawa apa-apa, jadi pergi dari sini pun kupastikan tak akan membawa apa-apa pula.

 

Sudah cukup kamu bersandiwara, sudah cukup kamu membuatku kecewa, kini giliran aku yang akan membongkar dan mendepakmu dari kantor papa. Tinggal menunggu waktu saja, semua akan berakhir istimewa. 

*** 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
memang kamu dan bapak mu bodoh. asal ada yg mau menikahi main embat aja. dan sdh banyak bukti masih menye2 dan ngebacot dlm hati. g guna nyet
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
semiga cpt sembuh ayah mu dn cpt bongkar k bobrokan Dimas sebeljm klga nya dtng kedini dn juga cpt buang laki2 itu k asal nya biar merasakan lagi gimana susah nya hidup .sebelum hartamu d kuras habis ..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 45. Menerima TakdirNya (Tamat)

    POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 44. Fitnah Menjijikkan

    POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 43. Malaikat Kecil

    POV : Lisha Sejak menikah dengan Bang Akbar, hari-hariku semakin bahagia. Dia tulus, tak seperti mantan suamiku yang ternyata hanya modus. Perhatian dan cinta yang diberikan Bang Akbar membuat duniaku terasa lebih indah. Aku lebih bisa menghargai diri sendiri dan semakin yakin jika Allah memberikan sesuatu di saat yang tepat bukan terlambat. Kehamilan ini masuk minggu ke-18. Menginjak trimester dua yang tak lagi mual dan pusing seperti trimester sebelumnya. Aku sudah mulai mau makan dan tak lagi pusing jika mencium aroma menyengat. Syukuran empat bulanan sudah digelar beberapa hari yang lalu dengan dihadiri para tetangga dan saudara. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku dan janin yang ada dalam rahimku. Teringat kembali ucapan mereka saat itu. "Mbak Lisha, selamat berbahagia akhirnya merasakan hamil yang begitu mendebarkan dan menggemaskan. Aku yakin nanti kalau anaknya cewek, pasti bakal cantik seperti mamanya dan kalau cowok pasti tampan seperti papan

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 42 Kehidupan Berbeda

    Pov : Dimas Hari-hari buruk akan mulai menyapaku lagi. Aku yang baru mulai bangkit, kembali diterpa badai karena kedatangan Ayu tiba-tiba. Iya, Niken Rahayu. Dia mantan istri pertamaku yang kini kembali ke Jakarta untuk menemuiku bersama Ahmad, buah hatiku dengannya yang kini berusia dua tahunan. Mau tak mau, bisa tak bisa aku mengajak Ayu ke kontrakan. Tak mungkin tega membiarkan dia lontang-lantung dengan Ahmad di kota sebesar ini, bukan? Jelas aku tak tega, sekalipun aku dengannya sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Kecuali sebatas mantan dan orang tua kandung Ahmad saja. "Itu kontrakanku bersama keluarga Nila. Tolong jangan jaga sikapmu pada mereka, sebab aku tak ingin membuat masalah lagi," ucapku setelah mematikan motor dan meminta Ayu untuk turun. "Harusnya aku yang bilang begitu, Mas. Kalau kamu nggak banyak tingkah, hidup kita juga aman saja. Nggak berantakan," balas Ayu sengit. "Sudah. Sudah. Nggak ada gunanya saling menyalahkan. Semua ini salah kita karena memanfaa

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 41 Masalah Baru

    Pov : Dimas Kehidupan jungkir balik mulai kulalui. Tenggelam dalam sesal jelas kurasakan. Namun hidup terus berjalan. Aku ngga mungkin selalu dirasuki rasa bersalah berlarut-larut. Lisha sudah bahagia dan aku harusnya juga begitu. Sama-sama bahagia meski dari ekonomi jelas berbeda. Tak mengapa, aku benar-benar ingin belajar dari nol hingga sukses. Lagipula, sebelum bertemu Lisha aku juga hidup dengan sangat sederhana. Aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan Niken. Iya, Niken. Entah bagaimana kabarnya. Terakhir kali aku mengiriminya uang tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang aku belum transfer lagi karena memang nggak ada dana yang bisa dikirim. Buat makan sekeluarga aja sangat susah dan amat seadanya. Aku nggak mungkin kirim uang untuk Niken jika keluarga di sini masih sangat kekurangan. Biarlah. Lagipula suaminya juga bertanggungjawab, InsyaAllah dia nggak kekurangan jika sekadar makan. Nanti setelah ekonomi ku stabil, aku janji akan mengiriminya uang lagi untuk Ahmad.

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 40 Semakin Hancur

    POV : Dimas Aku tak tahu apa yang kurasakan detik ini saat kembali membayangkan Lisha bersanding dengan dokter itu di pelaminan. Rasanya benar-benar sulit dijelaskan. Sakit dan nelangsa. Teringat kembali ucapan Lisha waktu itu bahwa ada kalanya dia kecewa dan terluka karena pengorbanan dan kesetiaannya selama ini aku sia-siakan. Nyatanya kini roda itu benar-benar berputar. Dia sudah menemukan kebahagiaan dan cinta sejatinya, sementara aku justru sebaliknya. Aku tenggelam pada deretan masalah pelik yang selama ini belum pernah kurasakan. Depresi Nila belum sepenuhnya sembuh, ditambah masalah baru tentang tunggakan rumah ibu. Empat juta yang harus kulunasi minggu ini. Tak hanya itu saja, hutang ibu pun semakin menumpuk di warung karena memang hanya mengandalkan aku sebagai tulang punggung. Sebenarnya tak masalah hanya aku yang mengurus keuangan rumah, etidaknya bapak dan ibu lebih menghargai kerja kerasku. Tak selalu menuntut ini itu bahkan seolah meremehkan usaha yang sudah kul

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status