Share

Bab 4 Rencana Lisha

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-05-09 23:22:52

Lima hari sudah Mas Dimas tak pulang ke rumah, masih dengan alasan yang sama ada pekerjaan penting yang belum bisa dia tinggalkan, takut papa marah, katanya. 

Aku hanya tersenyum malas membaca pesan-pesan yang dikirimkannya. Pesan yang kadang hanya satu atau dua kali kubalas.

Tak seperti biasanya, aku begitu antusias tiap kali Mas Dimas mengirimkan pesan padahal isinya hanya sekadar membalas pertanyaan-pertanyaan dari pesanku sebelumnya. 

Tak ada lagi kekhawatiran dalam dada, apakah dia sudah makan. Apakah dia bisa tidur dengan nyenyak. Apakah dia capek. Apakah dia sakit.

Kecemasan yang selama ini selalu menggangguku tiap kali dia tak ada di rumah seolah lenyap begitu saja. Berganti dengan luka dan air mata. 

Kalau tahu dia sudah menikah sebelumnya, tak sudi rasanya aku dijadikan yang kedua apalagi jika alasan pernikahan yang dia lakukan hanyalah karena iba dan harta.

 

Iba karena aku lumpuh dan harta papa yang menumpuk sementara aku pewaris tunggal karena aku anak semata wayang papa, sementara mama sudah pergi bersama kankernya tiga tahun yang lalu. Oma dan opa pun sudah tiada bahkan sebelum aku dewasa. 

Tak ada yang kupunya selain papa dan Mas Dimas. Karena itu lah aku begitu bersyukur mendapatkan suami sepertinya yang begitu perhatian dan penyayang bila di rumah, meski bila ke luar kota dia begitu berbeda dan berubah.

Kupikir itu adalah hal wajar, mungkin dia banyak pikiran atau lelah. Sungguh aku tak menyangka jika ternyata dia bertemu istri pertamanya tiap kali ijin ke luar kota selama beberapa hari.

Air mata kembali membanjiri pipi. Jika mengingat semua pengorbanan yang sudah kulakukan selama ini. Tak pernah kuminta nafkah uang darinya, karena papa sudah mencukupi semuanya bahkan sejak aku masih sendiri.

Tak pernah kularang dia membeli barang-barang mewah yang katanya untuk saudara jauhnya, karena dulu sering dibantu saat kesulitan.

Tak pernah kularang dia mentransfer puluhan juta uang untuk saudaranya, karena dia bilang hutang budinya dulu tak ada apa-apanya jika sekadar dibalas dengan uang. 

Aku iyakan semua kemauannya karena kupikir hatinya begitu tulus, mau membantu saudaranya dia saat dia sudah sukses.

Kupikir, hatinya begitu bersih masih mengingat kebaikan saudaranya bahkan berniat membalas kebaikan itu di saat dia sudah memiliki banyak harta. Meski semua fasilitas yang dia miliki adalah milik papa. 

Aku tak menyangka jika semua yang dia kirimkan itu ternyata untuk istri pertamanya. Dia tega menabur luka di hati satu perempuan demi menabur cinta dan bahagia di hati perempuan lainnya. Kuseka air mata dengan punggung tangan.

 

Teringat kembali ponsel Mas Dimas kemarin yang kumatikan begitu saja tanpa memeriksanya lagi setelah membaca obrolan teman-teman Mas Dimas di grup w******p itu.

Kunyalakan kembali ponselnya. Aku yakin pasti banyak obrolan penting di sana karena selama ini ponsel Mas Dimas memang selalu di password dengan alasan keamanan.

Bodohnya aku tak terlalu percaya, mungkin lebih tepatnya tak ambil pusing karena ketulusannya untuk menerima perempuan lumpuh sepertiku sudah lebih dari cukup.

Aku tak ingin menyakiti diri sendiri hanya karena iseng dan kepo dengan isi ponsel suami. Hanya saja, akhir-akhir ini aku mulai tak tenang. Ada gelisah yang tak bisa kuungkapkan karena sejak papa sakit lima bulan belakangan, Mas Dimas semakin berubah.

Biasanya urusan ke luar kota hanya sebulan atau dua bulan sekali namun kini hampir dua atau tiga minggu sekali dia pergi. Mau tanya lebih detail urusan apa, aku pun tak enak hati. 

Mungkin memang beginilah jalanNya. Aku harus melihat ponsel yang terjatuh begitu saja di garasi, otak-atik password beberapa kali hingga akhirnya berhasil, lalu sakit hati sendiri karena melihat obrolan para lelaki itu di sana. 

Sebuah nama Ayu muncul di sana. Ayu yang pernah dikenalkan Mas Dimas padaku setahun lalu, tepatnya seminggu setelah aku menikah dengannya.

Dia bilang keluarga Ayu lah yang sering membantunya saat kekurangan. Karena itu pula, tiap kali Mas Dimas bilang mau belikan sesuatu buat keluarga Ayu, aku mengijinkan.

Bahkan beberapa kali bilang transfer uang pun aku tak melarang meski aku tak tanya berapa nominal yang dia kirimkan.

Aku sadar, jika tanpa Ayu dan keluarganya, mungkin Mas Dimas akan terlunta-lunta ditinggal kedua orang tuanya saat dia masih remaja. Oelh karena itulah aku ikut merasa hutang budi pada mereka. 

|Mas, uang bulanan yang kamu kirim kurang, masak cuma 10 juta sih? Gaji kamu kan besar di kantor istri barumu itu. Harusnya kamu bisa kasih aku lebih dari itu. Ingat ya, Mas. Aku sudah berbaik hati membiarkanmu menikah lagi. Jangan ngelunjak kamu ya, Mas. Inget janjimu dulu.

Hati benar-benar tak karuan rasanya membaca chat dari Ayu. Kenapa dia bilang seperti itu? Bukankah teman-temannya bilang nama istri pertama Mas Dimas adalah Niken? Sedangkan Ayu dan keluarganya, yang kutahu dia malaikat tak bersayap untuk Mas Dimas. Bukan istrinya. 

|Buat apa sih, sayang? Bukannya minggu lalu sudah kukirim 15 juta? Kamu bilang mau buat beli perhiasan. Lagipula semua keperluan calon buah hati kita juga sudah aku siapkan. Semua beres tanpa ada yang kurang. Jangan terlalu boros sayang, takutnya papa sembuh dan cek semua pengeluaranku di kantor yang mencurigakan. Semua bisa fatal|

Aku skrol ke atas chat Mas Dimas dengan Ayu yang dia bilang hanya sekadar saudara jauh. Ternyata semua memang penuh kepalsuan. Dua manusia itu sengaja menjebakku. Niken Rahayu. Nama itu yang tertera di setiap bukti transferan yang Mas Dimas kirimkan. 

Astaghfirullah ... setahun lebih aku dibohongi oleh dua manusia itu. Kupikir Mas Dimas berhati malaikat namun ternyata dia hanya seoarang penjilat dan pengkhianat.

 

Jika papa tak sakit seperti sekarang, aku pasti sudah melaporkan semua kebusukannya ini agar dia didepak dari kantor dan rumah dengan tidak hormat.

Untuk sementara, kucari dan kusimpan semua bukti ini agar papa yakin bahwa ucapanku tak sekadar fitnahan belaka. 

Begitulah papa yang terlalu percaya pada menantu kesayangannya itu, menantu yang ternyata menusuknya dari belakang tanpa ampun.

Sudah cukup mereka menghambur-hamburkan uang papa, perusahaan yang selama ini papa bangun dengan berlumuran peluh dan doa.

Sudah waktunya aku mengambil sikap. Aku yang selama ini tak pernah menuntut nafkah darimu, mulai bulan ini aku akan minta jatah itu.

Tak hanya sebagian, namun 70% dari gajinya. Biar saja dia menerka-nerka apa yang membuatku berubah sedemikian drastis. 

70% langsung kupotong dari kantor tanpa memberitahunya lebih dulu. Mungkin itu akan membuatnya sedikit shock.

Tapi keterkejutannya itu tak ada apa-apanya dengan keterkejutanku saat tahu sandiwaranya di belakangku selama ini. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yg namanya pengusaha sukses pasti teliti soal uang dan g peduli itu siapa. apalagi cuman menantu. si lumpuh aja yg tolol dan menye2
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
mumpung Dimas d luar kota suru sekretatis nya dn ke uangan yg lain tuk jangan Dimas lagi yg ngurusin ganti kmu dn irang mu suru matain Ke uangan Dimas dn keluar maduk nya k uangan ..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 45. Menerima TakdirNya (Tamat)

    POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 44. Fitnah Menjijikkan

    POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 43. Malaikat Kecil

    POV : Lisha Sejak menikah dengan Bang Akbar, hari-hariku semakin bahagia. Dia tulus, tak seperti mantan suamiku yang ternyata hanya modus. Perhatian dan cinta yang diberikan Bang Akbar membuat duniaku terasa lebih indah. Aku lebih bisa menghargai diri sendiri dan semakin yakin jika Allah memberikan sesuatu di saat yang tepat bukan terlambat. Kehamilan ini masuk minggu ke-18. Menginjak trimester dua yang tak lagi mual dan pusing seperti trimester sebelumnya. Aku sudah mulai mau makan dan tak lagi pusing jika mencium aroma menyengat. Syukuran empat bulanan sudah digelar beberapa hari yang lalu dengan dihadiri para tetangga dan saudara. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku dan janin yang ada dalam rahimku. Teringat kembali ucapan mereka saat itu. "Mbak Lisha, selamat berbahagia akhirnya merasakan hamil yang begitu mendebarkan dan menggemaskan. Aku yakin nanti kalau anaknya cewek, pasti bakal cantik seperti mamanya dan kalau cowok pasti tampan seperti papan

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 42 Kehidupan Berbeda

    Pov : Dimas Hari-hari buruk akan mulai menyapaku lagi. Aku yang baru mulai bangkit, kembali diterpa badai karena kedatangan Ayu tiba-tiba. Iya, Niken Rahayu. Dia mantan istri pertamaku yang kini kembali ke Jakarta untuk menemuiku bersama Ahmad, buah hatiku dengannya yang kini berusia dua tahunan. Mau tak mau, bisa tak bisa aku mengajak Ayu ke kontrakan. Tak mungkin tega membiarkan dia lontang-lantung dengan Ahmad di kota sebesar ini, bukan? Jelas aku tak tega, sekalipun aku dengannya sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Kecuali sebatas mantan dan orang tua kandung Ahmad saja. "Itu kontrakanku bersama keluarga Nila. Tolong jangan jaga sikapmu pada mereka, sebab aku tak ingin membuat masalah lagi," ucapku setelah mematikan motor dan meminta Ayu untuk turun. "Harusnya aku yang bilang begitu, Mas. Kalau kamu nggak banyak tingkah, hidup kita juga aman saja. Nggak berantakan," balas Ayu sengit. "Sudah. Sudah. Nggak ada gunanya saling menyalahkan. Semua ini salah kita karena memanfaa

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 41 Masalah Baru

    Pov : Dimas Kehidupan jungkir balik mulai kulalui. Tenggelam dalam sesal jelas kurasakan. Namun hidup terus berjalan. Aku ngga mungkin selalu dirasuki rasa bersalah berlarut-larut. Lisha sudah bahagia dan aku harusnya juga begitu. Sama-sama bahagia meski dari ekonomi jelas berbeda. Tak mengapa, aku benar-benar ingin belajar dari nol hingga sukses. Lagipula, sebelum bertemu Lisha aku juga hidup dengan sangat sederhana. Aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan Niken. Iya, Niken. Entah bagaimana kabarnya. Terakhir kali aku mengiriminya uang tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang aku belum transfer lagi karena memang nggak ada dana yang bisa dikirim. Buat makan sekeluarga aja sangat susah dan amat seadanya. Aku nggak mungkin kirim uang untuk Niken jika keluarga di sini masih sangat kekurangan. Biarlah. Lagipula suaminya juga bertanggungjawab, InsyaAllah dia nggak kekurangan jika sekadar makan. Nanti setelah ekonomi ku stabil, aku janji akan mengiriminya uang lagi untuk Ahmad.

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 40 Semakin Hancur

    POV : Dimas Aku tak tahu apa yang kurasakan detik ini saat kembali membayangkan Lisha bersanding dengan dokter itu di pelaminan. Rasanya benar-benar sulit dijelaskan. Sakit dan nelangsa. Teringat kembali ucapan Lisha waktu itu bahwa ada kalanya dia kecewa dan terluka karena pengorbanan dan kesetiaannya selama ini aku sia-siakan. Nyatanya kini roda itu benar-benar berputar. Dia sudah menemukan kebahagiaan dan cinta sejatinya, sementara aku justru sebaliknya. Aku tenggelam pada deretan masalah pelik yang selama ini belum pernah kurasakan. Depresi Nila belum sepenuhnya sembuh, ditambah masalah baru tentang tunggakan rumah ibu. Empat juta yang harus kulunasi minggu ini. Tak hanya itu saja, hutang ibu pun semakin menumpuk di warung karena memang hanya mengandalkan aku sebagai tulang punggung. Sebenarnya tak masalah hanya aku yang mengurus keuangan rumah, etidaknya bapak dan ibu lebih menghargai kerja kerasku. Tak selalu menuntut ini itu bahkan seolah meremehkan usaha yang sudah kul

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 39 Hari Spesial

    Pov : Lisha Hari-hari belakangan kujalani dengan penuh semangat dan bahagia sebab acara pernikahanku dengan Bang Akbar tinggal menghitung hari saja. Semua akan digelar dengan cukup meriah dengan mengundang banyak kerabat, teman dan para tetangga. Detik ini, aku kembali ke butik untuk mengambil kebaya untuk akad dan resepsi nanti. Baju pengantin dan jas milik Bang Akbar pun sudah jadi. Dia pasti semakin keren dengan baju pengantin berwarna abu muda dan salem itu. Untuk akad nikah aku akan memakai kebaya abu muda sementara resepsinya pakai warna salem senada dengan pakaian yang akan dikenakan Bang Akbar. Kulihat papa masih asyik ngobrol dengan tukang parkir di depan butik. Begitulah papa, selalu ramah dengan siapapun tak memandang status sosialnya. Akhir-akhir ini papa memang selalu mengantarku ke mana-mana, seolah menjadi body guard untuk anak kesayangannya. Papa bilang, tak apalah karena esok atau lusa mungkin papa sudah tak akan mengantar lagi karena sudah ada pengganti. Papa

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 38 Aku Nggak Takut, Mbak!

    Perempuan itu menghentikan aktivitasnya lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Aku tersenyum menatapnya, sementara dia begitu gugup dan salah tingkah saat aku mendekatinya. "Aku tahu kok kalau Mbak Anita yang menerorku akhir-akhir ini. Tapi tenang saja, aku tak akan mempermalukan Mbak di sini. Aku tak akan setega itu. Hanya saja Mbak harus tahu kalau aku tak akan pernah membiarkan semua ini terjadi begitu saja. Aku tetap akan memberitahu Bang Akbar untuk berhati-hati dengan perempuan culas sepertimu. Baik di depan, tapi di belakang berbisa," ucapku penuh penekanan pada perempuan cantik di sebelahku. Dia mendongak beberapa saat lalu kembali menunduk diam. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. "Bisa saja aku menelpon nomormu sekarang dan menceritakan kelicikanmu pada mereka. Namun lagi-lagi aku tak seburuk itu. Aku tak pandai bermuka dua sepertimu. Namun kalau kamu nggak jera, aku bisa mempermalukanmu kapan saja. Aku nggak takut, Mbak!" Lagi-lagi kubisikkan kata

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 37 Peneror Itu

    Pagi-pagi aku sudah siap-siap ke butik peninggalan almarhum mama yang kini diserahkan padaku. Aku yang sudah mengembangkannya beberapa tahun terakhir, tepatnya semenjak mama tak lagi fit untuk pergi ke sana-sini sesukanya. Sakit kanker yang menggerogotinya, membuat mama harus banyak istirahat di rumah. Tak boleh terlalu kecapaian apalagi banyak beban pikiran. Akhirnya, papa memintaku untuk mengurus semuanya. "Bi, saya berangkat ke butik dulu. Mau sekalian cek gaun pengantin. Mungkin pulangnya agak telat. Misal nanti kemalaman, seperti biasa Bibi tidur saja. Saya sudah bawa kunci rumahnya," pamitku pada Bi Minah yang masih sibuk membersihkan isi kulkas. Bi Minah mengangguk pelan lalu memintaku untuk berhati-hati di jalan. Setiap dua hari sekali Bi Minah memang membersihkan kulkas untuk memilah-milah mana sayuran yang sudah agak layu dan mana yang masih segar. Yang agak layu itulah yang biasanya dimasak Bibi lebih dulu. Kupacu mobil merahku itu dengan kecepatan sedang. Mobil mula

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status