“Jangan bahas tentang pernikahan gilamu itu lagi. Aku ingin tidur dengan tenang malam ini,” himbau Jay, dia mengancingkan tiga anak kancing bagian atas kemejanya yang terbuka.
“Sabtu ini, jangan lupa kau juga harus membuat alasan pada keluargamu.”“Apa katamu? Kau tidak dengar aku baru saja melarangmu membahasnya, Ava?”“Aku dengar. Tapi aku perlu mengingatkanmu. Apa kau lupa? Setiap akhir pekan Ibumu selalu meminta kita datang berkunjung.” Kulangkahkan kakiku ke dapur, aku tahu, Jay mengikuti.“Akhir pekan aku ingin istirahat di rumah. Dua hari libur itu aku benar-benar akan istirahat karena aku lelah, jadi kau rencanakan kembali. Lakukan di hari kerja saja.”Aku berbalik, berkacak pinggang. “Dengar, aku juga bisa dengan tidak sabar memberitahu Kakek Hamlet tentang perselingkuhanmu. Itu yang kau mau?”“Ah, kau ini ... benar-benar berengsek!” umpat Jay, dia meradang, mungkin jika kedua mataku bukan mata biasa, aku bisa melihat api keluar dari ubun-ubunnya.“Cepat atur semuanya, suamiku yang tidak kalah berengsek. Jangan ada kesalahan atau kau akan tahu akibatnya,” ancamku. Saat berbalik, aku tahu Jay selalu berhasil mengacungkan jari tengahnya padaku.“Baiklah. Jika itu yang kau inginkan. Tapi apa kau tidak terlalu kejam dengan hanya menyediakan waktumu tiga hari dalam seminggu untuk bersama suami pertamamu?” Jay sudah menghampiriku, merebut gelas berisi jus melon dari tanganku.“Kau protes? Merasa tidak adil?” Aku mencibir, memandangnya dengan tatapan menghina.Jay tertawa, sangat keras hingga kurasa terlihat dibuat-buat, terlalu dipaksakan.“Aku hanya bertanya. Bukannya protes, apalagi merasa tidak adil. Aku tidak butuh waktumu, Ava. Toh, selama seminggu penuh, aku hanya pulang sesekali. Itupun ... kau tahu kan? Cuma untuk menumpang tidur.” Jay meletakkan gelas dengan menimbulkan suara yang cukup keras di atas meja kayu jati. Kupikir gelas itu bisa retak dan pecah kapan saja oleh tangan si berengsek ini.“Hmm, baguslah. Itu yang kuinginkan. Apa perlu aku merubahnya menjadi hanya satu atau dua hari saja dalam seminggu?”Jay yang bersiap pergi, berhenti melangkah. Berbalik menghampiriku. Menatapku seolah dia akan membunuhku saat ini juga.“Dengar, Ava. Kau sudah merasa sangat menang karena memiliki kunci kelemahanku. Tapi jangan mengira kau bisa menyalahi aturanku. Aku masih suamimu. Ingat, aku suami pertamamu, aku memiliki hak penuh atas dirimu. Jadi lakukanlah sesuai isi surat perjanjian yang kau buat. Jangan menambah atau menguranginya lagi. Sekali lagi aku juga coba mengingatkanmu, kita punya dua keluarga besar, pikirkan mereka!”Jay berlalu, dan aku tahu dia sedang sangat kesal karena aku menggunakan perselingkuhannya sebagai senjata utamaku untuk mendapatkan apapun yang kuinginkan, mulai saat ini.Tapi setidaknya, aku senang. Memiliki cinta yang besar untuk Neil. Tidak masalah jika harus bersabar berada satu atap dengan si gila berengsek ini selama tiga hari dalam seminggu. Lagipula, aku sengaja meletakkan hari senin, selasa, dan rabu untuk Jay, lalu sisanya, aku bisa terus berada dalam pelukan hangat Neil yang kupuja.***“Buka pintunya!”Aku tersentak di saat kedua mataku sudah hampir sepenuhnya tertutup. Dasar Jay sialan!“Ada apa?” Aku balik berteriak, tanpa berniat bangun, apalagi membuka pintu untuknya.“Penghangat kamarku rusak! Aku tidak bisa tidur di cuaca sedingin ini. Cepat buka!” Jay berteriak nyaring, persis penagih sewa rumah yang murka.“Tidur saja di kamar lantai dua, di sana ada satu penghangat ruangan yang masih berfungsi!” Kembali berteriak, sedetik pun aku tidak ingin kalah darinya.“Cepat buka, sebelum aku masuk ke kamarmu menggunakan kunci cadangan!”“Terserah padamu!” Tidak peduli, aku menarik selimut dan menutupi seluruh tubuh hingga kepalaku. Memilih tidur adalah cara terbaik mengingat pernikahanku akan berlangsung tiga hari lagi. Aku tidak ingin terlihat frustrasi karena seorang Jayden Martin.Aku sudah terlelap, sebenarnya, tapi ranjang yang bergoyang dan terasa dinaiki seseorang, membuatku berbalik. Jay menarik selimutku, mencoba ikut masuk untuk menjadikan selimut ini hak miliknya.Ya, dia berhasil masuk menggunakan kunci cadangan.“Tidurlah di sofa, Jay,” geramku kemudian, menepis tangannya yang terus mencoba merapatkan selimut milikku ke tubuhnya. Dia sudah bersentuhan di satu selimut bersamaku.“Tidak. Kau saja, pergilah.”“Dasar gila! Ini kamarku, kau yang enyahlah dari ranjangku.” Kutendang salah satu kakinya, tidak kuat tapi cukup membuatnya marah.Jay menindihku, mencengkeram kedua pergelangan tanganku hingga membawa lenganku dalam posisi di atas kepala. Kedua matanya berkilat menyeramkan ditengah cahaya temaram kamarku.“Jangan biarkan aku menidurimu dengan paksa malam ini, Ava.”Aku tersenyum sinis mendengarnya, ini hanya gertakan. Kami sama sekali tidak pernah saling sentuh yang berakhir pada keinginan untuk bercinta selama menikah, kecuali tanpa sengaja Jay salah masuk ke kamar mandi dan melihatku berendam dalam bathtub penuh busa.“Coba saja!”“Kau!”“Menyingkir Jay. Aku harus tidur cepat malam ini. Besok, pagi-pagi sekali ada yang harus kuurus.”Jay mendecak marah, dia menyingkir ke sisiku, tetap keras kepala untuk tidur di sampingku. Lelah melihat tingkahnya, aku membiarkan si berengsek ini tidur asal tidak menggangguku.Harum Jay sepertinya, mampu membantuku tidur dengan nyaman. Aromanya menenangkan, kuakui itu, tapi tidak dengan sosoknya. Aku bahkan tak dapat tidur nyenyak karena ada dia di sampingku.Biar kuingat, terakhir kali aku dan Jay tidur seranjang ketika keluarga besar kami menginap untuk merayakan ulang tahun Kakekku lima bulan lalu.Ah, ini benar-benar membuatku gila!Andai di sisiku ada Neil, mungkin aku akan berbincang penuh semangat sampai pagi. Baiklah, tenang. Anggap saja aku sedang menahan hal tidak menyenangkan ini untuk mendapatkan sebuah hadiah besar.“Ava ....”Panggilan Jay mengejutkanku, tapi aku tetap bergeming. Sama sekali tidak berniat menoleh ke arahnya.“Kenapa?”“Apa kau tahu bahwa kami saling mengenal?”“Kau dan Neil?”“Ya, aku dan dia.”Aku menghela napas. Sejak awal memang mereka berdua saling mengenal karena menyelesaikan pendidikan di Universitas yang sama, meski berbeda jurusan. Tapi menurut Neil, mereka tidak begitu akrab, dan aku bersyukur untuk itu.“Aku tahu.”“Kenapa harus dia?”Aku tertawa, pertanyaan itu seolah menunjukkan kekalahan tidak kasat mata oleh Jay. Siapa yang tidak mengenal Neil Cedric Harrison, si pemimpin Harrison Express. Dia terkenal karena keberhasilannya dalam membawa kemajuan besar untuk perusahaannya.“Karena aku mencin—”“Sudahlah, lupakan. Aku tidur duluan.” Setelah menyelaku dengan seenaknya, dia langsung berbalik, tidur dalam posisi memunggungiku.Dasar sialan!***Terbangun lebih dulu, aku menyibak selimut dengan hati-hati. Kulakukan bukan untuk menjaga Jay agar tidak mengganggu tidurnya, tapi karena aku tidak ingin berdebat sepanjang pagi ini bersamanya.Neil menghubungiku. Dengan berjinjit aku keluar kamar. Menerima panggilannya sambil berjalan menuju dapur.“Hai, sayang.” Itu sapaan Neil dari seberang.“Ya, sayang. Tidurmu nyenyak?”“Sangat. Bagaimana denganmu?”“Yah, aku juga begitu.” Bohong! Tidak ada yang seperti itu, semalam aku terus berusaha menghindari Jay yang ingin memelukku dalam tidurnya. Mungkin Jay mengira aku ini guling yang sering dia peluk di kamarnya.“Kau tahu kenapa aku menghubungimu?”“Tidak. Ada apa, Neil?”“Ini tentang pesta pernikahan kita. Aku sudah menemukan tempat yang lebih melindungi privasimu daripada tempat yang kemarin kau rencanakan,” jelas Neil, penuh keantusiasan dari suara lembutnya yang kudengar.Lihat, betapa manis dan baik hatinya dia. Begitu sangat berbeda dengan seseorang. Ugh, andai posisi mereka bisa ditukar, aku tidak akan pernah mau menikah dua kali, apalagi sampai memiliki dua orang suami.Cukup Neil dalam hidupku, dalam hatiku.“Oh, benarkah? Neil, kau hebat. Selalu bisa membuatku bahagia. Terima ka—”“Avaaa! Di mana handuk biruku?”Mengejutkan saja! Aku menoleh dan melihat Jay berkacak pinggang di ambang pintu dapur. Selaannya membuat Neil terdiam di seberang.“Maaf, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Suara canggungku keluar dengan lembut, perlahan. Sungguh, aku tidak ingin menyakitinya.“Iya sayang, tidak apa-apa. Aku mengerti. Sampai nanti,” jawab Neil, membalasku dengan lembut. Oh, aku memang sangat mencintai pria ini. Dia tulus, aku tahu itu.Setelah memutu
Aku tersenyum senang, ketika semua persiapan berjalan lancar dan tamu-tamu Ibu mertuaku berdatangan tepat setelah minuman juga makanan pembuka dihidangkan.Jumlah mereka sekitar sebelas sampai tiga belas orang dengan tampilan yang lebih menonjol dari si pemilik acara. Satu hal yang paling kusukai dari Ibu mertuaku, penampilan yang sederhana, namun tetap terlihat bahwa dia berasal dari kalangan kelas atas.Saat kulihat Ibu mertua sudah sibuk dengan teman-temannya, aku mundur, perlahan-lahan berniat untuk menyelinap karena Neil bisa saja sudah tidak lagi berada di rumahnya. Meski Neil sering terlambat berangkat ke Harrison Express, aku tetap tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu.“Sayang ... bisakah kalian ikut bergabung bersama kami?” Suara panggilan Ibu mencegatku, ketika aku bersiap untuk berbalik.Tapi, tunggu, kalian? Aku menoleh ke arah pintu. Ternyata ada sosok suami berengsekku sedang melangkah seraya melambai ke arahku. Ah, sial!Ini pasti ulah Bu Vivian. Tapi apa Jay
“Omong kosong! Kakekku tidak akan setuju. Jadi lupakan tentang apa yang pernah aku usulkan padamu waktu itu,” kata Jay, berjalan mengitari mobil, membuka pintu dan masuk.Begitupun aku. Walau ingin marah dan berniat terus membujuk Jay, aku merasa pembicaraan ini tidak akan menghasilkan apa pun. Jadi lebih baik aku bergegas menuju mobilku sendiri, dan pergi menemui Neil. Tapi sebelum sempat membuka pintu, tangan kekar Jay menahannya.“Kenapa kau tidak ikut bersamaku saja? Tidak sadar bahwa ini akan menimbulkan kecurigaan?”Aku mendengus kasar, tertawa mengejek, “Sejak kapan kau peduli?”“Karena ada Ibuku di dalam. Aku hanya tidak ingin menambah masalah.” Jay menoleh ke kiri dan kanan.Ya, baiklah. Sedikit masuk akal. Tapi sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Aku mengikuti Jay ke mobilnya, memeriksa ponsel setelah duduk dan membaca semua pesan Neil yang berisikan sapaan juga pemberitahuan.[Sayang, aku sarapan sandwich hari ini, sedikit asin karena terlalu banyak keju. Apa sarapanmu
“Istri macam apa yang berkeliaran di jam malam seperti ini?” Ibu langsung menyerangku dengan cercaan menusuk saat kedua kakiku melangkah di ruang tamu. “Apa temanmu yang sakit itu tidak punya keluarga sampai kau harus menjaganya dua puluh empat jam?”Aku memandang Ibu dengan wajah malas. “Ibu salah informasi. Aku tidak menjaganya selama itu ...” Aku menoleh pada Jay yang duduk diam dengan wajah bingung. Apa-apaan dia, kutatap Ibu kembali, “aku baru beberapa jam di sana, sejak tadi siang. Dia hidup jauh dari keluarganya. Jadi aku—”“Ah, hentikan! Itu hanya alasanmu, Ava!” Dengan telunjuk mengacung, kedua mata Ibu mendelik marah padaku. “Sejak kapan kau memiliki teman lain selain Britta dan Sully?”Aku diam, tidak berniat menjawab, menoleh lagi pada Jay. Benar, aku hanya memiliki dua teman baik selama hidupku, tapi keduanya bisa langsung menusukku dari belakang dengan mengencani suamiku.Meski pria itu Jay, yang hampir tidak pernah kuanggap sebagai suami selama kami menikah, tetap saja,
“Fantasimu tentangku? Hei, apa kau memiliki hal itu di pikiranmu?” Jay tampak menahan diri di antara ingin mengejek dan menertawaiku.“Bukan seperti yang kau pikirkan!” Kulempar bantal ke wajahnya.Mengernyit marah, dia mengambil bantal yang jatuh di pangkuannya dan balik melempar tepat mengenai kepalaku.Entah kapan dimulai, kami berdua mulai saling lempar bantal tanpa suara. Tiba-tiba Jay mendekat dan menindihku. Membuatku terkejut tapi tidak dapat melakukan apapun.Jika aku berteriak atau mengumpat padanya, Ibu jelas akan bangun dan memarahiku. Sudah dapat kupastikan sejak awal menikah, Ibu lebih berpihak pada Jay daripada diriku putrinya sendiri.Mungkin Ibu masih menganggap aku akan menyakiti hati Jay—si suami idaman—karena kami dijodohkan oleh para Kakek. Tampak jelas di mata serta sikapku yang menolak perjodohan kami waktu itu, dua tahun yang lalu. Aku yakin, Ibu mulai berasumsi sendiri tentang ketidaksukaanku pada Jay.“Kita berpura-pura saja atau langsung melakukannya?” bisik
Aku bergeser pelan, tanpa suara bentakan atau hardikan untuk Jay. Aku benar-benar merasakan kecanggungan sentuhan serius darinya.Perlu diingat, kami hampir tidak pernah menjurus ke arah berbau seksual, selain dari kontak fisik untuk saling menolak, atau keberatan terhadap sesuatu.Bahkan saat dia masuk ke kamar mandi di saat aku sedang berendam dibalik busa, kami sama sekali tidak saling tertarik untuk melakukan hal yang lebih dari itu.Untuk menanggapi Jay, aku melakukan hal seperti menendangnya jika dia masuk tanpa izin ke kamarku, terbiasa menepis tangannya saat dia menghalangi jalanku, atau menepuk pundaknya jika ingin membangunkan dia yang tertidur di ruang keluarga.Hal-hal seperti itu dan sama sekali tidak pernah menimbulkan hasrat apapun di antara kami. Itu aneh? Tidak juga. Jay jarang pulang dan lebih sering membawa jalangnya ke sini. Meski belakangan sudah cukup jarang terjadi, tapi itu tidak memudarkan penilaianku tentangnya yang maniak seks, sering main gila di luar itu m
“Aku menginginkanya lagi.” Bisikan serupa angin dingin berhembus di telingaku, ketika pertama kali membuka kedua mata.Kesadaran paling penuh yang kulewati semalaman memang hampir tidak ada. Tapi aku ingat bagaimana kami melakukannya berulang kali seolah tanpa ampun, apalagi jeda.“Hmm?” Pura-pura bodoh, aku meraba-raba meja samping untuk mencari ponsel.“Kau kehabisan daya di ponsel-mu, jadi aku mengisinya,” kata Jay. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia menunjuk ke meja kecil tempat biasa aku meletakkan ponsel jika sedang disi daya baterai.Membulatkan bibir, aku mengangguk mengerti dalam kecanggungan yang tampak seperti hanya aku seorang yang mengalaminya.Jay bertingkah santai menopang kepalanya di atas telapak tangan, seolah menggoda dengan posisi berbaring miring menghadap ke arahku. “Tidak bisakah kau mengabulkan keinginanku?”Mendadak kikuk, aku berdeham. “Aku ... aku harus pergi memeriksa tempat untuk besok.” Menyibak selimut, aku hampir terpekik karena tidak ada gaun tidur
“Mau kuantar?”Aku melirik sekilas pada Jay yang berdiri dengan ponsel di tangan, di ambang pintu kamarku. Aku kembali lagi ke sini setelah tadi sudah berada di dalam mobil—siap berangkat—karena lupa membawa kotak berisi cincin pernikahan kami, aku dan Neil tentunya.Sial! Bisa-bisanya benda itu tidak ada di laciku. Aku ingat semalam masih memandanginya sebelum tidur. Tapi lupa apa yang terjadi setelah itu.“Bisa bantu aku mencari kotak cincinku?”Jay tiba dengan cepat sebelum aku sempat mendengar jawabannya. Sekarang dia sedang memeriksa bagian bawah ranjang, lalu beralih menuju lemari pakaianku.Aku juga melakukan hal yang sama di sampingnya.“Kotak dengan warna apa?”“Hitam beledu.”Beberapa menit dia sibuk dengan isi lemari pakaianku.“Tidak ada,” katanya. Dan aku yang mematung menunggu, seketika panik. “Jay, bagaimana ini?” Spontan aku malah bertanya pada pria yang setelah hari ini, sudah siap menerima pembagian waktu dengan Neil.“Masalah cincin bukan perkara serius. Jika terus