Share

BAB IV : HAYATI

POV Hayati

"Nak, segera berkemas ya! Hari ini juga Kita akan pindah ke Bandung." Ucap Papa padaku.

"Loh kata Papa kemarin Kita gak jadi pindah ?" protesku yang merasa keberatan karena kepindahan Papa secara tiba-tiba. Setelah sebelumnya, belum ada kepastian dari Dinas Kesehatan tentang rencana pemindahan tugas Papa.

"Iya Nak. Papa baru menerima suratnya pagi ini, dan besok Papa sudah mulai berdinas di tempat tugas yang baru. Jadi Kita harus pindah hari ini juga." ucap Papa lembut.

"Tapi Pa.. Hayati gak mau pindah dari sini! nanti kalau pindah, Hayati gak akan bisa bertemu lagi dengan Zain." ujarku yang menolak untuk pindah.

"Terus Hayati mau tinggal sama siapa disini ? hmnn! Mama kan harus ikut juga kemanapun Papa pergi Nak." Ucap Mama membantu meyakinkanku.

"Tapi Mah... hikss. Zainudin gimanaa?" ucapku mulai menangis. Aku sangat berat hati untuk meninggalkan sahabatku satu-satunya itu. Satu-satunya orang terdekat selama Aku tinggal disini, orang yang yang memberiku arti terdalam tentang yang namanya 'perhatian dan kasih sayang'.

"Hayati pamit dulu sama Zain. Nanti kalau berjodoh kembali, suatu saat nanti kalian pasti akan bertemu kembali." kata Mama coba menguatkanku sambil mengusap-usap rambutku.

Hari itu, Aku berlari ke rumah Zain yang letaknya sekitar 500 meter dari rumah dinas Papa. Nafasku tersengal, kaki kecilku sampai terluka karena batu-batu kerikil disepanjang jalan. Namun tidak urung kujumpai Zain di rumahnya, begitupun orang tuanya. Kata Mak Iroh tetangga Zain, mereka sedang ke Pasar. Sehingga Akupun tidak bisa berjumpa dengan Zain saat itu, sepanjang jalan Aku menangis sedih karena tidak bisa bertemu untuk terakhir kalinya dengan sahabatku satu-satunya itu. Bahkan saat mobil yang kami kendarai melewati depan rumah Zain, tangisku makin menjadi-jadi.

"Zaaiinnn.. Zaiinn, maafkan Hayati." Isak tangisku lirih dengan kesedihan yang menyesakkan dada menatap Rumah Zain yang semakin lama semakin jauh dan menghilang karena mobil kami yang bergerak semakin jauh meninggalkan pemukiman. Selamat tinggal kampung yang memberikan sejuta kenangan, kampung yang memberiku sahabat sekaligus 'cinta pertama'ku, selamat tinggal, Zainudin!

***

"Zaaiinn Zaaiinn." Aku tersentak bangun dari tidur sambil memanggil-manggil nama Zainudin. Peluh dingin membasahi baju tidurku. Entah keberapa kali! Yang jelas mimpi itu semakin sering hadir beberapa waktu belakangan ini, utamanya sejak Aku bertemu dengannya.

Entah ini karena takdir atau cuma kebetulan saja, Aku bertemu dengan seorang mahasiswa mesum yang sudah dengan lancangnya memegang payudaraku. Suatu hal yang sangat Kujaga, bahkan mantan pacarku tidak Kubiarkan menyentuh tubuhku sama sekali, karena Aku teringat dengan pesan Papa dan Mama,

"Nak, jaga diri dari pergaulan yang tidak baik. Mama dan Papa tidak pernah melarang Hayati untuk pacaran atau bergaul dengan siapapun. Asalkan bisa menjaga diri, utamanya keperawanan. Laki-laki kebanyakan hanya mau enaknya saja dan jarang ada yang berani bertanggung jawab. Jaga diri hingga Kamu menikah kelak, berikan dirimu seutuhnya hanya untuk suamimu nanti ya Nak!" pesan Mama yang seringkali diulang-ulangnya ketika Aku pulang ke rumah. Walau kadang kesal dengan nasehat Mama, karena terlalu seringnya ucapan itu di ulang–ulang oleh Mama. Tapi berkat nasehat itu jugalah, Aku selalu memegang nasehat Mama dan tidak membiarkan pria manapun menjamah tubuhku, kecuali suamiku kelak.

Semenjak berpisah dengan Zain, Aku mulai membiasakan diri dilingkungan yang baru dan teman-teman baru. Jujur, Aku tuh paling susah untuk beradaptasi dilingkungan yang baru karena sifatku yang pemalu. Untuk teman, Aku bukannya tipikal cewek pemilih tapi karena sifat pemaluku, membuatku sangat selektif dalam memilih orang yang akan dijadikan teman. Namun seiring berjalannya waktu, lambat laun pergaulan Ibu Kota mulai membuatku berubah. Banyaknya orang yang ingin berteman denganku, membuatku perlahan mulai bisa melupakan Zainudin.

Saat SLTP hingga SLTA, Aku beranjak menjadi remaja yang aktif dengan banyak teman. Untuk masalah percintaan sendiri, silih berganti cowok datang yang menyatakan cintanya padaku. Baik yang secara diam-diam maupun yang terang-terangan berani datang kerumahku untuk menjadikanku pacarnya. Dan beberapa kali kisah percintaan pun Aku lalui, tapi tidak ada seorang cowok pun yang bisa memberikan kesan mendalam untukku, karena kebanyakan dari mereka hanya menginginkanku jadi pacar mereka karena kecantikan fisikku semata, kecuali 'dia'. Dia yang sosoknya mulai menghilang dari memoriku, tapi alam bawah sadarku masih bisa merasakan kehangatan perhatian dan ketulusannya.

Saat liburan sebelum masuk awal kuliah semester 2, Aku pulang ke Bandung, tempat orang tuaku. Masih teringat dengan jelas, ketika Aku dan Mama sedang bersih-bersih gudang yang ada dibelakang rumah untuk sekedar merapikannnya, karena sudah banyaknya barang yang tidak terpakai dan letaknya yang tidak teratur. Begitu membongkar barang-barang lama, tanpa sengaja Aku membuka sebuah kotak kardus yang ada ditumpukan paling bawah. Eh, itu adalah kotak kardus waktu Aku pindah dari Pariaman, Sumatera Barat ke tempat kami tinggal sekarang ini. Aku tersenyum sendiri melihat kotak dari masa laluku itu, tanpa sengaja tanganku membuka kardus dan melihat isinya.

Deg

Didalamnya terdapat sebuah boneka yang terbuat dari anyaman padi, tanpa kusadari air mataku merebak.

"Nak kenapa kamu menangis ?" tanya Mama yang membuatku kaget.

"Hah! Menangis ? Hayati gak menangis kok Ma." Jawabku yang heran dengan ucapan Mama barusan.

Mama lalu mengusap tepian mata dan kedua pipiku.

"Ini buktinya." Ujar Mama sambil memperlihatkan ujung jarinya yang terlihat basah.

"Eh kok bisa Ma ?" tanyaku bingung dan Aku baru sadar, ternyata air mataku telah keluar begitu saja tanpa kusadari.

Mama melihat apa yang kupegang dan Mama lalu tersenyum padaku.

"Mama tahu, pasti karena boneka itu ya ?" tanya Mama lembut penuh pengertian.

"Eh ini..." ucapku ragu-ragu, karena sepertinya bayang-bayang masa lalu mulai hadir kembali dalam memoriku.

"Hayati ini untuk Kamu yah." ucap anak laki-laki itu padaku.

"Ihh cantiknyaa... Hayati suka deh. Oh iya! Saputangan ini juga buat z... yah." ucapku sambil memberikan sebuah sapu tangan pada anak laki-laki tersebut, sebuah sapu tangan yang dengan susah payah Aku buatkan dengan menyulam inisial nama anak laki-laki tersebut disudut bawahnya.

Kilasan memori masa kecil itu hadir begitu saja, yang membuatku jadi termenung sejenak. Namun Aku tidak lagi mengingat siapa nama anak laki-laki tersebut.

"Loh itukan hadiah dari sahabat kecilmu waktu kita masih tinggal di Pariaman dulu, Zainudin." ucap Mama tiba-tiba begitu melihat boneka anyaman padi yang sedang Kupegang.

"Zainudin ?" ulangku lirih menyebut nama anak laki-laki itu.

Walau Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas tapi begitu menyebut namanya membuatku seakan melayang indah. 

Diakah yang memberiku boneka ini ? entah kenapa hatiku terasa basah dan sedih dengan sendirinya. Rasa itu hadir begitu saja merasuki ruang rindu yang sudah lama tidak pernah lagi Kurasakan.

"Nah sudah selesai semua, yok masuk ke dalam! Hayati dandan yang cantik yah! Sebentar lagi teman Papa dan Anak cowoknya akan datang kesini." ujar Mama mengingatkan.

"Loh kenapa sama anak cowoknya Ma ? Hayati gak mau yah kalau pakai acara dijodoh-jodohkan nantinya." kataku protes.

"Gak ada apa-apa kok Nak. Cuma mau silaturahim saja, gak lebih." ucap Mama sambil tersenyum.

"Ayok! Kok masih bengong begitu." Panggil Mama yang melihatku yang masih begong mengingat-ingat tentang boneka yang sedang kupegang.

"Iya Ma! Eh ini.." ucapku lirih begitu melihat ada sebuah foto dalam kotak, itu fotoku dengan seorang anak laki-laki. Aku membalikkan foto itu, ternyata dibelakangnya ada inisial namaku dan nama anak itu, 

Z & H 'Sebuah Memory untuk Dikenang'

Tulisannya sangat tidak rapi khas coretan anak-anak. Namun kata-kata itu memberi kesan mendalam bagiku.

"Hayati, ayok cepaat." teriak Mama dari luar.

"Iya Maa." jawabku.

Entah kenapa Aku juga membawa kotak itu bersamaku.

Siangnya, datang teman Papa yang sama-sama Dokter bersama anak cowoknya, namanya Adam. Ia ternyata juga kuliah di Fakultas Kedokteran tempat Aku kuliah, cuma bedanya Ia satu tingkat diatasku. Walau waktu itu tidak ada kata-kata perjodohan antara orangtua kami, tapi dari gelagatnya, sepertinya mereka secara tidak langsung menginginkan kami dekat dan berjodoh. 

Benar saja, setelah hari itu Adam selalu saja main ke rumah orangtuaku. Dari yang awalnya basa-basi sekedar mencari Papa atau Mama, lama-lama Ia sengaja mencariku. Mama dan Papaku pun sepertinya sengaja menyuruhku untuk menyambut Adam ketika datang ke rumah. Kuakui Adam anaknya sangat sopan, Ia sangat menjaga tata krama ketika berkunjung kerumah, sehingga Mama dan Papa jadi suka padanya. 

Aku ? 

Aku sih biasa saja. Tidak ada sedikitpun rasa padanya, kecuali hanya menganggapnya sebagai sahabat atau kakak saja. Namun, Adam seperti sengaja memanfaatkan kedekatannya dengan kedua orang tuaku untuk mengambil simpatiku. Hampir setiap hari Ia selalu datang ke rumah, bahkan Mama atau Papa seperti sengaja memberi Kami ruang agar kami semakin dekat, sampai akhirnya Adam menembakku setelah 2 minggu masa pendekatannya. Karena usahanya yang serius itulah membuatku luluh dan menerimanya untuk menjadi orang 'terdekat'ku, bukan pacar yah, hanya sebatas itu.

Aku tidak mau dianggap memberi Adam harapan, karena masalah takdir siapa yang tahu. Namun Adam sudah terlanjur menganggap ucapanku sebagai tanda kalau Ia resmi jadi pacarku. Hingga masa liburanku habis dan Aku kembali ke Yogyakarta untuk kuliah. Lagi dan lagi tanpa sengaja Aku ikut memasukan foto dan boneka masa kecilku itu ke dalam tas ranselku. 

Setiap malam Aku selalu melihat foto dan boneka lucu tersebut, keduanya menjadi pengantar tidur yang yang setia mengiringku kedalam alam mimpi. Aku bisa tidur dengan nyenyak ketika melihat dan memeluk boneka kecil itu. Mungkin akan terlihat kekanakan, jika ada yang melihatku masih tidur dengan memeluk boneka. Namun entah kenapa Aku sangat nyaman dan merasa damai ketika Aku memeluknya, seakan Aku memeluk anak kecil yang pernah membuatku nyaman dimasa kecil itu.

Siang itu, setelah keluar dari labor Aku buru-buru untuk pulang. Belum lagi, Adam yang yang sejak liburan itu sudah seperti merasa jika Ia adalah pacarku sehingga harus mengetahui kemana dan ngapain saja diriku. Bete'in banget deh! Ia tipikal cowok posesif yang lama-lama membuatku jadi kesal sendiri karena sikapnya. Aku jadi menyesali sendiri keputusanku waktu itu yang coba membuka diri untuknya. Aku pergi dengan buru-buru tanpa menoleh sedikitpun pada Adam yang masih memanggil-manggil namaku, sampai 'peristiwa' itu terjadi.

Aku yang berjalan dengan cepat saat itu tidak menyadari ada seorang cowok yang sedang duduk dekat tangga di lantai 1. Ketika Aku akan lewat didepannya, disaat bersamaan Ia berdiri dan terjadilah tabrakan itu.

Bughhh

"Awwwww." Teriakku kesakitan, namun satu hal yang membuat mukaku memerah karena malu, bukan karena sakitnya, tapi tangan pria yang Aku tabrak telah lancang memegang payudaraku. Tubuh yang kujaga tanpa pernah mengijinkan seorangpun untuk memegangnya, kini seorang pria yang bahkan Aku tidak kenal sama sekali telah lancang menyentuh tubuhku tepat 'disitu', hufftttt.

Plaakkkkk

Saking marah dan malunya, Aku dengan reflek langsung menampar pria tersebut. mungkin karena terkejut dan menyadari ketidaksengajaannya menyentuh tubuhku, malah membuat pria tersebut menaikan sebelah tangannya yang lain untuk coba menahan tubuhku diatasnya. Dan, lagi-lagi memegang payudaraku satunya. oh tidaakk sepasang payudaraku hilang sudah kehormatannya.

Plaakkkkk

Aku menampar pipi pria itu sekali lagi. Hikss hikss betapa malunya Aku hari itu. Sudah kehormatanku jatuh, Aku betul-betul merasa dilecehkan, belum lagi semua mahasiswa memandang Kami saat itu. Oh Tuhan, mau mati saja rasanya. Andai Aku bisa menghilang dengan kabut Ninjanya Naruto, mungkin Aku akan langsung menghilang dan tidak pernah ada dikampus ini lagi.

Pria itu terlihat merasa bersalah, dan sangat menyesali perbuatan yang tidak disengajanya. Kalian tahu apa yang membuatku tidak bisa begitu marah padanya ? ketika Aku melihat kedalam matanya yang teduh, membuat semua amarahku seakan sirna seketika. Itu adalah tatapan yang sama dengan tatapan anak laki-laki yang sangat dekat denganku waktu kecil dulu, tatapannya Zainudin yang fotonya masih kusimpan dan kupajang dikamarku hingga saat ini, boneka pemberiannya yang masih setia menemaniku hingga terlelap dalam buaian mimpi. Mungkinkah ada dua orang yang memiliki tatapan yang sama ? atau memang Ia adalah Zainudin masa kecilku dahulu ? Dugaanku makin terbukti ketika Ia memberikan sebuah sapu tangan karena melihatku masih menangis akibat 'pelecehan' yang tidak disengajanya barusan.

Sapu tangan itu ? 

Ya, saputangan itu adalah sapu tangan yang Kuberikan pada Zainudin kecil sebagai hadiah ulang tahunnya yang kelima tahun. Kami berulang tahun di tanggal dan tahun yang sama, tapi kenapa Ia menyangkalnya waktu itu ?

"Kamu Zainudin ?" tanyaku untuk meyakinkan keraguanku.

Namun belum sempat Ia menjawabnya, datang Adam dengan sapaannya yang menjengkelkan. Namun sengaja Aku tidak menghiraukan sapaannya, karena fokusku pada pemuda yang ada didepanku saat ini. Sehingga kembali Aku mengulang kembali sapaanku padanya untuk kedua kalinya.

"Kamu Zainudin ?" Aku berharap kalau pemuda yang didepanku saat ini benar-benar adalah Zainudin, teman semasa kecilku.

"Eh bukan. Saya.. Saya Zulfikar." jawabnya agak gugup, entah gugup karena merasa bersalah akibat kejadian barusan atau gugup karena coba menutupi sesuatu.

"Ohh Zulfikar." Kataku mengulang namanya, antara sedih dan kecewa.

Astaga! Aku baru sadar kalau barusan Aku telah menamparnya dua kali dengan cukup keras, sampai-sampai membuat kedua pipinya memerah. Ah, jangan-jangan gara-gara itu Ia marah sehingga sikapnya jadi begitu ?

"Astaga. Tadi Aku menamparmu yah ?" ucapku menyesali tindakanku barusan, bagaimanapun Ia tidak sepenuhnya bersalah, karena Akulah yang menabraknya! Walau Ia diuntungkan dengan kejadian itu, tapi tetap saja semua berawal dari ketidaksengajaanku menabraknya duluan.

Tapi, Ia seperti buru-buru pergi. Ketika melihat jaket Almamater yang dikenakannya, baru Aku sadar kalau Ia juga satu universitas denganku. Ditambah kertas sketsa dan buku yang sedang buru-buru dimasukannya ke dalam tas cangklungnya saat itu.

'FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GXX MXX'

Deg

Reflek sebuah kilasan bayangan masa kecil terbayang jelas dalam memoriku.

"Kalau Zain! sudah besar nanti mau jadi apa ?" 

"Zain mau jadi Arsitek, biar bisa bangunin rumah buat dokternya Zain." 

"Beneran ?" 

"Ihh nanti kita tinggal bareng yah dirumah yang Zain bangun." 

"Iya, nanti kita disana bareng keluarga kita."

Aku sekarang sangat yakin kalau pemuda yang mengaku bernama 'Zulfikar' ini adalah Zainudinku, tapi kenapa Ia tidak jujur kalau Ia adalah Zainudin. Sapu tangan itu adalah buktinya, Aku sangat yakin sekali kalau itu adalah sapu tangan tangan yang Kubuat dengan tanganku sendiri. Lagian mana mungkin ada sapu tangan yang sama didunia ini ? kalau itu adalah jahitan tidak rapi dari seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Dan Ia menepati janjinya, kalau Ia akan kuliah di Jurusan Arsitektur sesuai dengan janji masa kecil Kami dahulu. Sehingga membuat mataku jadi berkaca-kaca sendiri. Dan tanpa menghiraukan ucapan Adam yang seolah-olah sangat perhatian padaku, Aku mengejar Zainudin. Aku akan membuat Ia mengakui kalau Ia adalah Zainudinku.

Dengan membuang harga diriku sebagai salah seorang primadona dikampus ini, masa bodo dengan tanggapan orang-orang yang akan memandangku lain, karena melihatku mengejar-ngejar seorang cowok, apalagi cowok itu juga yang telah menyentuh payudaraku dibawah tatapan tidak percaya para Mahasiswa Kedokteran.

"Apa kamu kenal dengan yang namanya Zainudin ? Dia mungkin satu jurusan dan satu tingkat denganmu." Tanyaku langsung to the point, jika Ia masih tidak mau jujur juga, maka Aku yang harus mengambil langkah duluan. Benar saja, tampak Ia agak kaget dengan pertanyaanku, walau hanya sekilas dan Ia buru-buru berhasil menguasai keadaan dan bersikap sok tenang. 

Zain, kamu tuh gak bisa bohong. Karena Kamu masih tetaplah Zainudin yang dulu Aku kenal, bathinku.

"Mungkin." jawabnya singkat sambil memalingkan wajahnya kearah yang lain. Tuh kan, benar!

Akupun sengaja memancingnya lebih jauh lagi, karena Zainudin sengaja seperti buru-buru pergi. Zain, kenapa Kamu tidak jujur saja sih ? pikirku sedih. Atau mungkin karena dulu Hayati pergi tanpa pamit langsung denganmu, membuat Zain marah pada Hayati ?

Aku sengaja memberikan nomor Hpku padanya, suatu hal yang tidak pernah Kulakukan sama sekali. Padahal banyak cowok yang rela mati-matian meminta kontakku hanya untuk sekedar pedekate, bahkan Adam sendiri baru bisa mendapatkan nomor Hpku dari orang tuaku.

"Memangnya Zainudin itu siapanya Hayati ?" tanya Zainudin tiba-tiba dengan tatapannya yang terlihat sedih.

Deg

Aku harus jujur padanya, terserah Dia nantinya masih tidak mau jujur lagi.

"Dia.. Seorang yang sangat berharga bagi Hayati." Jawabku yakin, entah kenapa mengucapkan kata-kata itu membuat hatiku bergetar hebat sehingga membuat mataku jadi berkaca-kaca, Akupun berlalu meninggalkan Zainudin setelah mengucapkannya, Aku tidak sanggup menahan tangis dan Aku tidak sanggup jika Zain melihatku menangis nantinya. Sebuah air mata yang membuatku terkenang akan perpisahan di masa kecil. Kini kenangan itu kembali memutar di otakku, sebuah kata perpisahan yang tidak sempat terucap, bahkan wajah Zain kecilpun tidak sempat Kujumpai untuk terakhir kalinya kala itu.

Kukira Ia akan langsung menghubungiku setelah Kuberikan nomor hapeku padanya, ternyata Zainudin sama sekali tidak menghubungiku. Hingga larut malam dan Aku terlelap tidur, Zainudin masih juga tidak menghubungiku sama sekali. Aku tunggu sampai keesokan haripun, ternyata masih sama. Malah Adam yang semakin gencar menghubungiku, Ia seperti tidak bosan-bosannya untuk coba semakin mendekatiku. Aku mulai jenuh dengan penantianku, sempat terlintas dibenakku, mungkin Kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama di kehidupan ini.

Hingga seminggu setelah itu, ketika sebuah pesan WA yang sangat kuharapkan akhirnya datang juga.

Zainudin a.k.a Zulfikar :

“Hayati, Aku ada kabar tentang Zainudin yang Kamu tanyain kemarin. Bisa ketemuan ?”

Begitu pesan singkat Zainundin via WA. Aku ketawa sendiri membaca pesannya. Hmmn, sampai kapan Kamu bersandiwara Zain ? pikirku gemas. 

Aku sengaja tidak langsung membalas pesan WAnya, karena Aku ingin mengetahui seperti apa Zainudinku selama ini. Melalui temanku yang punya kenalan di Fakultas Teknik, akhirnya Aku bisa dapat info tentang Zainudin, tentang bagaimana kesehariannya, bagaimana pergaulannya, siapa saja teman-temannya. 

Menurut kenalan temanku itu, Aku jadi tahu kalau Zainudin adalah cowok yang kalem, namun di Jurusan Ia lumayan dikenal oleh para Dosen, karena anaknya berbakat dan pintar. Cuma orangnya agak kalem dan tidak terlalu suka menonjolkan diri, Aku ketawa sendiri mendengar laporan kenalan temanku itu. Untungnya anaknya bisa diajak kerjasama, sehingga Ia bisa jamin kalau Ia tidak akan memberitahu Zainudin kalau Aku sedang menyelidikinya. Aku ingin memberi surprise sendiri pada Zainudin saat waktunya tiba nantinya. Untuk itu, sementara ini Aku akan memainkan peran sesuai sangkaan Zainudin dengan tetap memanggilnya Zulfikar sebagaimana yang Ia mau.

Setelah memberi alamatku padanya, tinggal menunggu Zain datang. Hihihi, jadi gak sabar menunggu waktu itu tiba. Waktu untuk dekat kembali dengan Zainudin-ku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status