Home / Thriller / BUKU TERLARANG / BAB 4 - PERPUSTAKAAN YANG TERKUNCI

Share

BAB 4 - PERPUSTAKAAN YANG TERKUNCI

Author: awaaasky
last update Last Updated: 2025-03-24 16:47:38

Rahasia dalam Kegelapan

Riven menatap Elias dengan tatapan serius. "Perpustakaan terlarang? Maksud Anda, ada tempat yang menyimpan buku ini sejak awal?"

Elias mengangguk pelan. "Ya. Itu adalah tempat di mana buku itu seharusnya tetap tersegel. Tapi seseorang membawanya keluar… dan sejak saat itu, masalah dimulai."

Celine menggigit bibirnya. "Lalu, di mana perpustakaan itu?"

Elias menghela napas panjang sebelum menjawab, "Tempat itu tersembunyi. Tidak ada yang tahu pasti di mana letaknya, karena pintunya hanya muncul di waktu-waktu tertentu… dan hanya bagi mereka yang telah disentuh oleh buku itu."

Riven merasakan bulu kuduknya meremang. "Jadi, kita harus menunggu sampai pintunya muncul sendiri?"

Elias menatap mereka dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkan selembar kertas kuno dari laci mejanya. "Ada satu cara untuk mempercepatnya," katanya sambil menyerahkan kertas itu kepada Riven.

Riven dan Celine melihatnya. Itu adalah peta tua, penuh dengan simbol aneh dan coretan tangan.

"Ini… peta menuju perpustakaan?" tanya Celine.

Elias mengangguk. "Atau lebih tepatnya, ini adalah peta menuju tempat di mana portal menuju perpustakaan mungkin muncul. Tapi ingat… kalian harus berhati-hati. Semakin dekat kalian ke tempat itu, semakin kuat pengaruh buku itu."

Riven menggenggam peta itu erat-erat. "Kami siap."

Elias menatap mereka dengan ragu, lalu akhirnya mengangguk. "Kalau begitu… pergilah sebelum terlambat."

Perjalanan ke Tempat yang Terlupakan

Dengan peta di tangan, Riven dan Celine kembali ke kota. Mereka mempelajari peta itu dengan seksama, mencoba memahami simbol-simbol yang ada.

"Ini menunjukkan sebuah tempat di dekat perbatasan kota," kata Celine sambil menunjuk sebuah tanda di peta. "Sepertinya ini adalah reruntuhan tua yang sudah lama ditinggalkan."

Riven mengerutkan kening. "Gue pernah dengar tentang tempat itu. Katanya dulu ada perpustakaan besar di sana, tapi hancur dalam kebakaran beberapa dekade lalu."

Celine mengangguk. "Mungkin itulah alasannya. Jika perpustakaan asli dihancurkan, bisa jadi portalnya tetap ada di sana."

Mereka tidak membuang waktu lagi. Dengan mobil, mereka menuju lokasi yang ditunjukkan di peta.

Saat mereka tiba, tempat itu terasa… salah.

Bangunan tua berdiri setengah hancur di tengah reruntuhan. Dindingnya penuh dengan lumut dan tanaman liar. Tapi yang paling aneh adalah suasananya—terlalu sunyi.

"Ini… terasa seperti bukan dunia nyata," bisik Celine.

Riven merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. "Kita harus mencari pintu masuknya."

Mereka mulai berjalan melewati puing-puing, mengikuti petunjuk di peta. Semakin mereka mendekat, udara terasa semakin berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka.

Dan tiba-tiba…

Celine berhenti mendadak. "Riven… lihat itu."

Di depan mereka, sebuah pintu tua yang nyaris tidak terlihat di antara reruntuhan. Itu bukan pintu biasa—tidak ada gagang, tidak ada celah, hanya sebuah permukaan datar dengan simbol aneh yang bercahaya samar.

"Pintunya…" Riven menelan ludah. "Ini pasti portalnya."

Celine merogoh saku jaketnya, mengambil buku terlarang yang mereka temukan. Begitu buku itu mendekati pintu, simbol-simbol di pintu mulai bersinar lebih terang.

Dan sebelum mereka sempat bereaksi…

Pintu itu terbuka.

Di baliknya, hanya ada kegelapan.

Memasuki Dunia yang Terlupakan

Riven dan Celine saling berpandangan.

"Lo yakin kita harus masuk?" tanya Riven dengan suara bergetar.

Celine menarik napas dalam. "Kita gak punya pilihan."

Mereka melangkah masuk.

Begitu kaki mereka menyentuh lantai di dalamnya, pintu di belakang mereka menutup dengan sendirinya. Cahaya redup mulai menerangi ruangan.

Mereka berada di dalam sebuah perpustakaan besar.

Rak-rak tinggi membentang sejauh mata memandang, dipenuhi dengan buku-buku tua yang berdebu. Udara di sini terasa berat, seperti dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat.

"Ini luar biasa…" bisik Celine.

Riven menyentuh salah satu rak. "Ini seperti tempat di luar waktu. Seakan-akan perpustakaan ini tetap ada meskipun dunia di luar sudah melupakannya."

Mereka berjalan perlahan, melewati lorong-lorong sempit yang dipenuhi buku. Tapi ada sesuatu yang aneh…

Tidak ada suara langkah kaki mereka.

Tidak ada gema.

Seolah-olah ruangan ini tidak mengikuti hukum dunia nyata.

Dan kemudian, mereka mendengar suara.

Bisikan.

Pelan, hampir tidak terdengar, tapi jelas berasal dari antara rak-rak buku.

Celine merapat pada Riven. "Kita… gak sendirian di sini."

Riven menatap sekeliling. "Siapapun itu, mereka pasti tahu kita ada di sini."

Tiba-tiba, sesuatu bergerak di ujung lorong.

Sebuah bayangan.

Cepat dan tak berbentuk, meluncur melewati mereka sebelum menghilang di antara rak-rak buku.

Celine mencengkram lengan Riven erat-erat. "Kita harus menemukan apa yang kita cari dan keluar dari sini secepatnya."

Riven mengangguk. "Kita cari petunjuk. Kalau tempat ini memang tempat asal buku itu, pasti ada sesuatu di sini yang bisa membantu kita menghancurkannya."

Mereka mulai bergerak lagi, menyusuri lorong-lorong panjang perpustakaan.

Tapi semakin dalam mereka masuk, semakin banyak bayangan yang bergerak di sudut-sudut ruangan.

Dan bisikan-bisikan itu… semakin keras.

Seakan-akan mereka tidak lagi hanya diamati.

Tapi juga ditunggu.

Rahasia yang Terlupakan

Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sebuah meja besar di tengah ruangan dengan sebuah buku tua terbuka di atasnya.

Riven menelusuri halaman-halamannya. Kata-kata di dalamnya ditulis dalam bahasa yang tidak mereka kenali.

Tapi di tengah-tengah halaman, ada sebuah simbol yang mereka kenali.

Simbol yang sama dengan yang ada di buku hitam itu.

"Ini pasti ada hubungannya," kata Celine.

Riven membaca lebih lanjut. "Sepertinya ini menjelaskan bagaimana cara menyegel sesuatu kembali ke tempat asalnya."

Celine menelan ludah. "Jadi, kita bisa mengembalikan buku itu ke tempatnya?"

Riven mengangguk. "Tapi ada satu masalah…"

Celine mengernyit. "Apa?"

Riven menatapnya dengan ekspresi tegang.

"Untuk menyegelnya kembali… kita harus mengorbankan sesuatu."

Celine membeku. "Mengorbankan… apa?"

Riven membaca lebih lanjut, lalu wajahnya semakin pucat.

"Seseorang harus tetap tinggal di sini."

Hening.

Bisikan-bisikan di sekeliling mereka semakin keras, seolah-olah perpustakaan itu sendiri menunggu keputusan mereka.

Celine menatap Riven dengan ketakutan.

"Jadi… salah satu dari kita harus tetap di sini selamanya?"

Riven tidak menjawab.

Karena jauh di dalam hatinya, dia tahu…

Tidak ada jalan keluar yang mudah dari tempat ini.

Pilihannya

Ketegangan di udara semakin menebal. Bisikan-bisikan yang mengelilingi mereka semakin terdengar jelas, membentuk kalimat-kalimat yang tak bisa dimengerti. Riven dan Celine saling berpandangan, terdiam sesaat, sebelum Riven akhirnya mengambil napas dalam-dalam.

"Jadi, salah satu dari kita harus tetap di sini?" suara Celine terdengar gemetar, penuh ketakutan.

Riven menggenggam erat peta yang ada di tangannya, mencoba mencerna kata-kata di halaman buku itu. "Ini nggak bisa jadi kenyataan. Kalau salah satu dari kita tetap di sini, maka dunia luar akan terus terancam oleh buku itu. Tapi, kita nggak punya pilihan."

Celine merengut. "Maksud lo, gue yang harus tetap di sini?"

Riven tidak bisa menjawab langsung. Dia mengalihkan pandangannya ke buku itu lagi, mencoba memahami lebih lanjut. Tapi semakin lama dia membaca, semakin dia merasa ada sesuatu yang sangat kelam yang tersembunyi dalam kata-kata itu.

Buku itu seolah hidup, menatap mereka dengan rahasia yang tak terungkapkan. Semua kata-katanya tersusun rapi, tetapi ada satu hal yang jelas—siapapun yang berada di sini, entah itu mereka atau orang lain, tidak akan pernah bisa keluar begitu saja.

Celine berdiri lebih dekat, mencoba mengintip lebih jelas apa yang dibaca Riven. "Apa itu… bisa kita batalkan? Ada cara untuk kita keluar tanpa harus ada yang tinggal di sini?"

Riven menggoyangkan kepalanya, tidak yakin. "Gue nggak tahu. Tapi yang jelas, kita harus memilih. Kalau nggak, tempat ini akan menelan kita hidup-hidup."

Sejenak, suasana hening. Mereka hanya bisa mendengar detak jantung mereka masing-masing dan bisikan yang semakin dekat. Perpustakaan tua ini seolah menunggu keputusan mereka.

"Ada cara lain?" tanya Celine, suaranya lebih rendah. "Apa kita harus menghancurkannya, buku ini?"

Riven menatap buku itu, matanya menyipit. "Mungkin. Tapi kalau kita menghancurkannya, entah apa yang akan terjadi. Buku ini bisa saja melepaskan lebih banyak kekuatan jahat yang lebih besar daripada yang kita bisa bayangkan."

Celine menggigit bibirnya, bingung dan takut. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

Riven menatap buku itu lebih dalam, mencoba merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata yang tertulis. Sesuatu yang lebih dari sekedar informasi yang mereka butuhkan. Buku itu menuntun mereka, tapi juga menggoda mereka dengan bahaya yang tak terbayangkan.

Sebuah bisikan terdengar, lebih keras dari sebelumnya. "Kalian tahu apa yang harus dilakukan."

Suara itu datang dari dalam buku. Riven dan Celine terkejut.

"Siapa yang berbicara?" tanya Riven dengan suara yang penuh ketegangan.

"Riven…" suara itu berbisik lagi, "Jangan terlalu lama berpikir. Waktu kalian terbatas."

Celine mundur beberapa langkah, matanya melotot. "Apa… apa itu?"

Riven merasakan ketegangan semakin memuncak. Dia merasa seolah-olah suara itu datang dari dalam dirinya, menggema dalam pikirannya. Tapi itu tidak mungkin.

Dia memandang Celine, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Celine… kita harus tetap tenang. Kita bisa keluar dari sini. Kita pasti bisa."

Tapi meskipun kata-kata itu keluar, dia tahu—tak ada yang pasti.

Buku itu telah mengikat mereka dalam permainan yang tak bisa dimengerti. Setiap langkah mereka selanjutnya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam dunia yang jauh lebih gelap.

"Celine," Riven akhirnya berkata, "Kita harus memilih. Kita bisa terus mencari cara untuk menghancurkan buku ini… atau kita bisa tetap hidup dengan risiko kehadiran buku ini di dunia."

Celine menatapnya lama, matanya berkaca-kaca. "Dan kalau gue yang tetap di sini? Lo akan mengingat gue?"

Riven merasakan hatinya teriris. "Gue nggak akan bisa melupakan lo. Tapi kita nggak punya waktu untuk bertanya, Celine. Pilihan kita harus cepat."

Celine terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Riven. Beberapa detik terasa sangat lama, dan bisikan itu semakin jelas.

"Buku ini… itu adalah jalan keluar," bisikan itu mengulang kalimat yang sama, lebih mendalam, lebih menakutkan. "Buku ini adalah kunci."

Celine memegang lengan Riven. "Riven, lo nggak bisa melakukan ini sendirian. Kita hadapi ini bareng. Lo nggak bisa ngorbanin diri lo untuk gue."

Riven menatapnya, matanya penuh tekad. "Gue nggak bisa kehilangan lo. Gue nggak bisa."

Namun, bisikan itu semakin keras, seolah-olah memaksa mereka untuk membuat keputusan. Buku itu seperti memiliki kendali atas pikiran mereka.

"Ayo, ambil pilihanmu," suara itu terdengar seperti perintah, penuh dengan ancaman yang tak terbantahkan.

Di saat yang sama, pintu perpustakaan yang mereka masuki mulai bergetar. Rak-rak buku bergerak dengan sendirinya, seolah-olah menghalangi jalan keluar. Segala sesuatu di sekitar mereka mulai bergetar, memberi mereka sinyal yang jelas bahwa pilihan harus dibuat.

"Ayo," suara itu mengulangi, lebih keras kali ini.

Riven merasakan dunia di sekelilingnya mulai berputar. Waktu seakan terhenti, dan buku itu kembali memanggil. Suara itu menjadi lebih kuat, lebih mendalam, seolah-olah menjalar di dalam tubuh mereka.

"Riven, gue takut," Celine berbisik, air mata mulai mengalir. "Gue nggak tahu apa yang harus gue pilih."

Riven menggenggam tangannya erat. "Kita pasti bisa keluar dari sini. Kita akan temukan caranya."

Tapi semakin dalam mereka berada di dalam perpustakaan itu, semakin kuat pengaruh buku itu. Perpustakaan ini seperti dunia terpisah, tempat yang memanipulasi ruang dan waktu dengan kekuatan yang tak terbayangkan.

Akhirnya, Riven membuka mulutnya. "Kita harus menghancurkan buku ini, Celine. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini."

Celine menatapnya, seolah mencoba membaca wajah Riven. Lalu, dengan berat hati, dia mengangguk.

"Baik. Kita harus keluar. Kita harus menghancurkannya."

Mereka berjalan kembali ke meja tempat buku itu terbuka. Dengan setiap langkah, bisikan itu semakin jelas, semakin keras, semakin menuntut.

Riven menyentuh sampul buku itu dengan hati-hati, dan sebuah cahaya gelap muncul dari dalamnya.

"Ini waktunya," kata Riven dengan suara tegas. "Ini waktunya untuk mengakhiri semuanya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKU TERLARANG   BAB 23

    Langit di luar bangunan terbengkalai itu memucat. Awan tebal menggantung seperti ancaman yang belum jatuh. Riven membuka matanya perlahan, mendapati dirinya duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Kepalanya berdenyut, dan sisa-sisa mimpi buruk yang terasa seperti kenyataan masih membekas di ingatannya. Tapi yang paling membuatnya sulit bernapas adalah kenyataan bahwa dia tidak tahu bagaimana dia bisa berada di tempat ini.Kamar itu tak memiliki jendela. Hanya satu pintu logam tua yang tampak berkarat dan tertutup rapat. Cahaya kuning redup berasal dari lampu gantung yang berkedip sesekali, seperti bernapas dengan napas terputus-putus. Riven berdiri dengan lutut gemetar, memeriksa sekitar. Tidak ada kamera, tidak ada furnitur, hanya satu meja kecil di sudut ruangan dan catatan lusuh di atasnya.Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil catatan itu dan membacanya.> *"Mereka sudah melihatmu. Jangan percaya suara yang akan kamu dengar. Mereka bukan milikmu. Tapi kamu adalah milik mer

  • BUKU TERLARANG   BAB 22

    bau besi tua dan api yang membara menyambut langkah mereka. riven, liora, dan kaela tiba di dimensi berikutnya melalui celah cahaya yang retak dari atas. kali ini, mereka tak mendarat di tempat yang familiar. bukan ruangan atau tanah. mereka berdiri di atas cermin. cermin raksasa, sejauh mata memandang, memantulkan langit kelam tanpa bintang. > “ini... bukan dunia nyata,” gumam kaela, menatap ke bawah. bayangannya tak mengikuti gerakannya. > “kita ada di dimensi refleksi,” liora menjawab. “semua hal yang lo takutin, yang lo coba kubur dalam hati... bakal hidup di sini.” riven menghela napas. ia merasakan tubuhnya berat. bukan karena luka atau lelah. tapi karena… dirinya sendiri. > “jadi... kita harus ngadepin versi terburuk dari diri kita?” tanyanya. > “nggak,” kata suara dari kejauhan. suara yang dingin. lembut. tapi seperti pisau. dari balik kabut, muncullah tiga sosok. masing-masing sama persis dengan riven, kaela, dan liora. tapi mata mereka kosong. kulit mereka

  • BUKU TERLARANG   BAB 21

    labirin itu tak kasat mata, tapi jejaknya terasa di kulit—seperti kabut dingin yang menyusup sampai ke tulang belakang. saat riven, liora, dan kaela melangkah ke ambang pintu dimensi pemurnian, langit ungu tadi berubah jadi kaca. transparan. seolah semesta mengintip mereka dari balik batas realitas.“ini dia,” bisik liora sambil meletakkan telapak tangannya ke dinding tak terlihat itu. seketika, dinding itu bergetar dan muncul retakan cahaya. seperti puzzle yang tersusun ulang.> “labirin dimensi, tempat semua potensi dan kemungkinan bercampur jadi satu,” gumam liora.riven hanya menatapnya tanpa kata. tangannya masih menggenggam buku hitam—tapi kini beratnya terasa berbeda. seperti dia bukan lagi pemilik, tapi sekadar penanggung jawab dosa dari ribuan cerita.saat mereka melangkah masuk, semuanya jadi putih. hanya putih.“dimana kita?” tanya kaela, suaranya gemetar.> “di ruang netral antara semua dimensi. di tempat ini… apa yang lo pikirkan bisa jadi nyata. tapi juga bisa membunuh l

  • BUKU TERLARANG   BAB 20

    derit pintu menara itu terdengar seakan merobek udara. udara di dalam ruangan seperti membeku, membungkam semua suara. kaca patri memantulkan cahaya merah dari naskah besar di tengah altar. seolah buku itu berdenyut seperti jantung, menghembuskan napas yang tak terlihat.riven melangkah perlahan. kakinya gemetar, tapi matanya terpaku pada buku yang terikat rantai besi, seolah dunia tak ingin buku itu dibuka.“gue ngerasa kayak... kalau gue buka buku itu, gak akan ada yang sama lagi,” bisiknya.liora berdiri di sampingnya, menatap tajam. “itu bukan cuma perasaan. buku itu nyimpen awal dan akhir semua narasi yang pernah ada. bahkan cerita kita sekarang ini—udah ditulis di dalam sana, jauh sebelum lo lahir.”kaela memeluk bahunya sendiri, menggigil. “jadi selama ini... kita semua cuma bagian dari cerita yang udah ditulis?”liora menoleh cepat. “enggak. justru karena lo sadar, lo bisa menulis ulang. tapi itu juga yang paling ditakuti sama mereka—penjaga asli naskah ini.”dari bayangan di

  • BUKU TERLARANG   BAB 19

    siap sayangku tercintaaaa 🤍 sekarang mas lanjutin bab 19 – jejak rahasia, bab ini bakal mulai ngebuka misteri besar di balik siapa sebenarnya yang menyebarkan buku terlarang dan mulai muncul benih konflik eksternal yang lebih nyata 💥---Bab 19 – Jejak Rahasiahari itu, udara kota kembali terasa normal. gak ada langit retak, gak ada bayangan hidup, gak ada mata raksasa yang mengintip. tapi keheningan ini gak terasa nyaman.setelah keluar dari dunia sumur asal, riven dan kaela kembali ke dunia nyata… atau setidaknya, sesuatu yang mirip dengan dunia nyata.> “tempat ini… agak beda, ya?” kaela menatap gedung-gedung tinggi di sekeliling mereka.> “ini kampus gue… tapi kayaknya versi ‘lainnya’,” riven menjawab pelan.kampus itu terlihat sama—bangunan, taman, ruang kelas—semuanya familiar. tapi suasananya dingin, terlalu rapi, terlalu… kosong.lalu riven melihat sesuatu yang bikin jantungnya mencelos.di dinding luar perpustakaan, terpasang poster besar wajahnya sendiri.> “wanted: riven

  • BUKU TERLARANG   BAB 18

    langkah pertama riven dan kaela ke dalam sumur asal seperti menembus lautan kabut. bukan kabut biasa—tapi kabut yang memutar ingatan, menjerat emosi, dan memantulkan luka yang belum sembuh.suara langkah mereka bergema aneh.padahal hanya mereka berdua di sana…tapi suara langkah itu… ada tiga.> “dengar itu?” kaela berbisik, menggenggam tangan riven lebih erat.riven mengangguk. “langkah ketiga…”tiba-tiba kabut terbelah.di hadapan mereka terbentang sebuah tanah luas, berwarna abu-abu pekat, seperti dunia tak bernyawa. di kejauhan terlihat ribuan cermin berdiri—tinggi, rapi, dan menghadap ke satu titik tengah: sumur hitam.> “itu sumurnya?” kaela menunjuk.> “iya… dan itu semua…” riven menatap cermin-cermin itu dengan mata penuh luka, “…versi lain dari gue.”setiap cermin memantulkan riven… tapi berbeda-beda.ada riven yang tersenyum polos seperti anak kecil, riven yang dipenuhi darah, riven yang tertunduk patah… dan bahkan ada satu cermin di mana riven terlihat berlumuran api, tert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status