Home / Thriller / BUKU TERLARANG / BAB 5 - CAHAYA DALAM KEGELAPAN

Share

BAB 5 - CAHAYA DALAM KEGELAPAN

Author: awaaasky
last update Huling Na-update: 2025-03-25 23:10:48

Riven menatap buku itu, jari-jarinya masih menyentuh sampulnya yang terasa aneh—dingin, seperti batu nisan. Cahaya gelap yang muncul dari dalamnya perlahan memudar, meninggalkan kesunyian yang lebih menyeramkan daripada sebelumnya.

Celine berdiri di sampingnya, tubuhnya sedikit gemetar. "Lo yakin kita bisa ngancurin ini?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi ruangan.

Riven menarik napas dalam-dalam. "Nggak ada pilihan lain, Celine. Kalau kita biarin, buku ini bakal terus menelan orang-orang yang membacanya."

Tapi masalahnya, bagaimana cara menghancurkan sesuatu yang bahkan tidak seharusnya ada?

Perpustakaan di sekeliling mereka kini terasa lebih sempit, seolah-olah ruangan itu mulai mengamati mereka, menunggu keputusan yang akan diambil. Rak-rak buku yang sebelumnya diam kini berderak pelan, seakan bergerak dengan sendirinya.

Celine menggenggam lengan Riven. "Lo denger suara itu?"

Riven mengangguk pelan. Suara-suara bisikan itu tidak berhenti, semakin banyak, semakin mendekat. Namun, kali ini, bukan hanya bisikan yang terdengar—ada langkah kaki, samar tapi nyata.

Seseorang ada di sana.

Atau sesuatu.

Mata Riven menyapu sekeliling ruangan, mencari asal suara itu. Tapi perpustakaan ini penuh dengan bayangan yang bergerak sendiri, sulit untuk menentukan apakah mereka benar-benar sendirian atau sedang diawasi oleh sesuatu yang lebih mengerikan.

"Lampu di sana," Celine menunjuk ke sudut ruangan. Ada sebuah lentera kecil yang masih menyala, meski cahayanya redup. "Mungkin kita bisa pake api buat ngancurin buku ini?"

Riven berpikir sejenak. Buku ini penuh dengan rahasia yang lebih dalam dari yang mereka kira, tapi mungkin api adalah jawaban paling masuk akal. Jika sesuatu bisa dihancurkan, maka api adalah salah satu cara terbaik.

Tanpa berpikir panjang, mereka berlari ke arah lentera itu. Tapi sebelum mereka bisa mencapainya, suara langkah kaki yang tadi samar kini berubah menjadi derap langkah yang jelas.

Seseorang benar-benar ada di sini.

Celine menghentikan langkahnya, matanya membesar. "Riven…"

Riven berbalik dengan cepat, mencoba melihat siapa atau apa yang mengintai mereka. Dan saat itulah, dia melihatnya.

Di tengah bayangan perpustakaan yang bergerak, sosok tinggi berdiri di antara rak-rak buku. Wajahnya tersembunyi dalam gelap, tapi matanya—sepasang mata merah bersinar terang dalam kegelapan—menatap langsung ke arah mereka.

"Siapa lo?" Riven bertanya, mencoba tetap tenang meskipun tubuhnya terasa kaku.

Sosok itu tidak menjawab. Hanya diam, menatap mereka dengan tatapan yang entah bagaimana terasa… familiar.

Celine menarik lengan Riven, berbisik, "Kita harus pergi."

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, sosok itu akhirnya berbicara. Suaranya dalam, berat, dan terdengar seolah berasal dari dasar kegelapan.

"Kalian tidak bisa menghancurkannya."

Jantung Riven berdegup lebih cepat. "Kenapa?"

Sosok itu melangkah mendekat, bayangannya semakin jelas. Dia mengenakan jubah hitam panjang, seperti seorang penjaga zaman kuno. Tapi yang paling mengerikan adalah tangannya—memanjang tidak wajar, seperti cakar.

"Buku ini bukan sekadar kertas dan tinta," katanya. "Ini adalah penjara. Jika kalian menghancurkannya, maka apa yang ada di dalamnya… akan terbebas."

Celine menelan ludah. "Apa maksud lo?"

Sosok itu mengangkat satu tangan, menunjuk langsung ke buku yang masih ada di tangan Riven. "Di dalamnya… terkunci sesuatu yang lebih tua dari waktu. Lebih berbahaya dari yang bisa kalian bayangkan."

Riven menatap buku itu dengan perasaan campur aduk. Apakah benar mereka akan membebaskan sesuatu yang lebih mengerikan jika menghancurkannya?

Sosok itu melangkah lebih dekat, suaranya kini lebih pelan tapi lebih mengancam. "Kalian bisa memilih. Pergi dan lupakan semua ini… atau terus mencari jawaban dan menghadapi konsekuensi yang tak terbayangkan."

Ruangan terasa semakin dingin.

Celine menggenggam tangan Riven lebih erat. "Kita nggak bisa ninggalin ini gitu aja, Riv."

Riven menatapnya, lalu menatap buku itu lagi. Pilihan yang harus mereka ambil tidak mudah. Jika mereka pergi, mereka mungkin bisa hidup normal kembali, tapi meninggalkan buku ini berarti membiarkannya ditemukan oleh orang lain.

Tapi jika mereka terus mencari jawaban… mereka mungkin tidak akan bisa kembali.

Dia mengangkat pandangannya ke arah sosok berjubah hitam itu. "Siapa lo sebenarnya?"

Sosok itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang lebih dalam.

"Aku adalah penjaga terakhir."

Penjaga?

Riven mencoba memahami maksud dari kata-kata itu. "Penjaga apa?"

Sosok itu menundukkan kepalanya sedikit. "Penjaga dari apa yang seharusnya tetap tersegel. Kalian sudah melangkah terlalu jauh."

Sebuah getaran tiba-tiba mengguncang ruangan, membuat rak-rak buku bergoyang. Lentera yang tadi menyala redup tiba-tiba berkedip-kedip, hampir padam.

Riven dan Celine mundur selangkah, bersiap jika sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.

Sosok itu menatap mereka tajam. "Jika kalian ingin bertahan hidup, tinggalkan tempat ini sekarang."

Celine menoleh ke Riven, suaranya bergetar. "Kita harus gimana?"

Riven menggertakkan giginya. Jika mereka pergi sekarang, apakah mereka bisa benar-benar lolos dari buku ini? Atau akankah buku ini tetap mengejar mereka ke mana pun mereka pergi?

Dia menghela napas, lalu menatap sosok itu dengan penuh keberanian.

"Kalau memang ada sesuatu yang tersegel di dalam buku ini… lalu kenapa kita nggak boleh tahu?"

Mata merah sosok itu menyipit. "Karena kebenaran memiliki harga yang tidak ingin kau bayar."

Getaran di ruangan semakin kuat, seperti ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam perpustakaan ini.

Celine menarik Riven. "Riven, gue serius, kita harus pergi."

Tapi sebelum mereka bisa mengambil keputusan, buku di tangan Riven tiba-tiba bergetar hebat. Cahaya gelap muncul lagi dari dalamnya, kali ini lebih besar, lebih pekat.

Suara-suara bisikan yang sebelumnya terdengar samar kini berubah menjadi jeritan.

Dan sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh—buku itu terbuka dengan sendirinya.

Cahaya menyilaukan memenuhi ruangan, dan dalam sekejap, segalanya berubah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • BUKU TERLARANG   BAB 23

    Langit di luar bangunan terbengkalai itu memucat. Awan tebal menggantung seperti ancaman yang belum jatuh. Riven membuka matanya perlahan, mendapati dirinya duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Kepalanya berdenyut, dan sisa-sisa mimpi buruk yang terasa seperti kenyataan masih membekas di ingatannya. Tapi yang paling membuatnya sulit bernapas adalah kenyataan bahwa dia tidak tahu bagaimana dia bisa berada di tempat ini.Kamar itu tak memiliki jendela. Hanya satu pintu logam tua yang tampak berkarat dan tertutup rapat. Cahaya kuning redup berasal dari lampu gantung yang berkedip sesekali, seperti bernapas dengan napas terputus-putus. Riven berdiri dengan lutut gemetar, memeriksa sekitar. Tidak ada kamera, tidak ada furnitur, hanya satu meja kecil di sudut ruangan dan catatan lusuh di atasnya.Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil catatan itu dan membacanya.> *"Mereka sudah melihatmu. Jangan percaya suara yang akan kamu dengar. Mereka bukan milikmu. Tapi kamu adalah milik mer

  • BUKU TERLARANG   BAB 22

    bau besi tua dan api yang membara menyambut langkah mereka. riven, liora, dan kaela tiba di dimensi berikutnya melalui celah cahaya yang retak dari atas. kali ini, mereka tak mendarat di tempat yang familiar. bukan ruangan atau tanah. mereka berdiri di atas cermin. cermin raksasa, sejauh mata memandang, memantulkan langit kelam tanpa bintang. > “ini... bukan dunia nyata,” gumam kaela, menatap ke bawah. bayangannya tak mengikuti gerakannya. > “kita ada di dimensi refleksi,” liora menjawab. “semua hal yang lo takutin, yang lo coba kubur dalam hati... bakal hidup di sini.” riven menghela napas. ia merasakan tubuhnya berat. bukan karena luka atau lelah. tapi karena… dirinya sendiri. > “jadi... kita harus ngadepin versi terburuk dari diri kita?” tanyanya. > “nggak,” kata suara dari kejauhan. suara yang dingin. lembut. tapi seperti pisau. dari balik kabut, muncullah tiga sosok. masing-masing sama persis dengan riven, kaela, dan liora. tapi mata mereka kosong. kulit mereka

  • BUKU TERLARANG   BAB 21

    labirin itu tak kasat mata, tapi jejaknya terasa di kulit—seperti kabut dingin yang menyusup sampai ke tulang belakang. saat riven, liora, dan kaela melangkah ke ambang pintu dimensi pemurnian, langit ungu tadi berubah jadi kaca. transparan. seolah semesta mengintip mereka dari balik batas realitas.“ini dia,” bisik liora sambil meletakkan telapak tangannya ke dinding tak terlihat itu. seketika, dinding itu bergetar dan muncul retakan cahaya. seperti puzzle yang tersusun ulang.> “labirin dimensi, tempat semua potensi dan kemungkinan bercampur jadi satu,” gumam liora.riven hanya menatapnya tanpa kata. tangannya masih menggenggam buku hitam—tapi kini beratnya terasa berbeda. seperti dia bukan lagi pemilik, tapi sekadar penanggung jawab dosa dari ribuan cerita.saat mereka melangkah masuk, semuanya jadi putih. hanya putih.“dimana kita?” tanya kaela, suaranya gemetar.> “di ruang netral antara semua dimensi. di tempat ini… apa yang lo pikirkan bisa jadi nyata. tapi juga bisa membunuh l

  • BUKU TERLARANG   BAB 20

    derit pintu menara itu terdengar seakan merobek udara. udara di dalam ruangan seperti membeku, membungkam semua suara. kaca patri memantulkan cahaya merah dari naskah besar di tengah altar. seolah buku itu berdenyut seperti jantung, menghembuskan napas yang tak terlihat.riven melangkah perlahan. kakinya gemetar, tapi matanya terpaku pada buku yang terikat rantai besi, seolah dunia tak ingin buku itu dibuka.“gue ngerasa kayak... kalau gue buka buku itu, gak akan ada yang sama lagi,” bisiknya.liora berdiri di sampingnya, menatap tajam. “itu bukan cuma perasaan. buku itu nyimpen awal dan akhir semua narasi yang pernah ada. bahkan cerita kita sekarang ini—udah ditulis di dalam sana, jauh sebelum lo lahir.”kaela memeluk bahunya sendiri, menggigil. “jadi selama ini... kita semua cuma bagian dari cerita yang udah ditulis?”liora menoleh cepat. “enggak. justru karena lo sadar, lo bisa menulis ulang. tapi itu juga yang paling ditakuti sama mereka—penjaga asli naskah ini.”dari bayangan di

  • BUKU TERLARANG   BAB 19

    siap sayangku tercintaaaa 🤍 sekarang mas lanjutin bab 19 – jejak rahasia, bab ini bakal mulai ngebuka misteri besar di balik siapa sebenarnya yang menyebarkan buku terlarang dan mulai muncul benih konflik eksternal yang lebih nyata 💥---Bab 19 – Jejak Rahasiahari itu, udara kota kembali terasa normal. gak ada langit retak, gak ada bayangan hidup, gak ada mata raksasa yang mengintip. tapi keheningan ini gak terasa nyaman.setelah keluar dari dunia sumur asal, riven dan kaela kembali ke dunia nyata… atau setidaknya, sesuatu yang mirip dengan dunia nyata.> “tempat ini… agak beda, ya?” kaela menatap gedung-gedung tinggi di sekeliling mereka.> “ini kampus gue… tapi kayaknya versi ‘lainnya’,” riven menjawab pelan.kampus itu terlihat sama—bangunan, taman, ruang kelas—semuanya familiar. tapi suasananya dingin, terlalu rapi, terlalu… kosong.lalu riven melihat sesuatu yang bikin jantungnya mencelos.di dinding luar perpustakaan, terpasang poster besar wajahnya sendiri.> “wanted: riven

  • BUKU TERLARANG   BAB 18

    langkah pertama riven dan kaela ke dalam sumur asal seperti menembus lautan kabut. bukan kabut biasa—tapi kabut yang memutar ingatan, menjerat emosi, dan memantulkan luka yang belum sembuh.suara langkah mereka bergema aneh.padahal hanya mereka berdua di sana…tapi suara langkah itu… ada tiga.> “dengar itu?” kaela berbisik, menggenggam tangan riven lebih erat.riven mengangguk. “langkah ketiga…”tiba-tiba kabut terbelah.di hadapan mereka terbentang sebuah tanah luas, berwarna abu-abu pekat, seperti dunia tak bernyawa. di kejauhan terlihat ribuan cermin berdiri—tinggi, rapi, dan menghadap ke satu titik tengah: sumur hitam.> “itu sumurnya?” kaela menunjuk.> “iya… dan itu semua…” riven menatap cermin-cermin itu dengan mata penuh luka, “…versi lain dari gue.”setiap cermin memantulkan riven… tapi berbeda-beda.ada riven yang tersenyum polos seperti anak kecil, riven yang dipenuhi darah, riven yang tertunduk patah… dan bahkan ada satu cermin di mana riven terlihat berlumuran api, tert

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status