Home / Thriller / BUKU TERLARANG / BAB 6 - PINTU MENUJU KEGELAPAN

Share

BAB 6 - PINTU MENUJU KEGELAPAN

Author: awaaasky
last update Last Updated: 2025-03-27 22:17:19

Kilatan cahaya yang muncul dari buku itu begitu menyilaukan hingga Riven harus memejamkan mata. Suara-suara jeritan dari dalam buku menggema di seluruh perpustakaan, membuat udara terasa berat dan menekan.

Celine berteriak di sampingnya, "Riven! Tutup bukunya!"

Tapi sebelum dia bisa melakukan apa pun, sesuatu menarik tubuhnya ke dalam cahaya itu.

Seketika, dunia di sekelilingnya berubah.

Saat Riven membuka mata, dia tidak lagi berada di perpustakaan.

Udara di sekelilingnya dingin dan lembap. Langit di atasnya berwarna merah gelap, tanpa matahari, tanpa bulan. Di kejauhan, bangunan-bangunan kuno menjulang tinggi, seperti reruntuhan peradaban yang telah lama ditinggalkan.

Dia menoleh ke samping. Celine ada di sana, terjatuh di tanah dengan wajah pucat.

"Celine! Lo nggak apa-apa?"

Celine mengerang pelan sebelum membuka matanya. "Dimana kita?"

Riven menggeleng. "Gue nggak tahu… Tapi ini jelas bukan perpustakaan."

Celine duduk dan memandang sekeliling. "Jangan bilang kita masuk ke dalam buku itu."

Riven menggigit bibirnya. "Sepertinya… iya."

Mereka berdiri perlahan, mencoba memahami lingkungan di sekitar mereka. Jalan setapak dari batu yang retak membentang di depan mereka, mengarah ke sebuah gerbang besar yang tampak seperti pintu masuk ke kota yang sudah lama ditinggalkan.

Di sisi gerbang, terdapat ukiran-ukiran aneh. Bentuknya seperti simbol-simbol kuno, bercampur dengan gambar sosok manusia yang tampaknya sedang berlutut di hadapan sesuatu.

Celine menelan ludah. "Gue nggak suka ini, Riven…"

Riven mendekati gerbang itu, mencoba menyentuh ukirannya. Begitu jarinya menyentuh salah satu simbol, getaran aneh menjalar di tubuhnya.

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakang mereka.

"Kalian seharusnya tidak ada di sini."

Riven dan Celine langsung berbalik.

Sosok itu lagi.

Penjaga berjubah hitam dengan mata merah yang bersinar.

Celine berbisik, "Gue pikir dia cuma ada di perpustakaan…"

Riven menatap sosok itu dengan waspada. "Dimana kita?"

Penjaga itu tetap diam selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "Kalian ada di perbatasan. Tempat yang memisahkan dunia kalian dengan sesuatu yang tidak seharusnya dilepaskan."

Celine melangkah mundur. "Lo nggak akan bilang kalau kita terjebak di sini, kan?"

Penjaga itu menatap mereka tajam. "Tidak ada yang keluar dari sini tanpa membayar harganya."

Udara semakin dingin.

Riven menatapnya dengan tegas. "Kalau lo benar-benar penjaga, kenapa lo biarin kita masuk?"

Penjaga itu terdiam sejenak, lalu mengangkat satu tangan. Di belakangnya, sesuatu mulai bergerak. Bayangan-bayangan muncul dari kegelapan, membentuk sosok manusia yang tidak memiliki wajah.

Mereka bergerak perlahan, tapi langkah mereka terdengar seperti ribuan kaki yang berjalan bersamaan.

Celine mencengkram lengan Riven. "Riv… kita harus pergi."

Penjaga itu berbicara lagi. "Kalian membaca buku itu. Sekarang, kalian adalah bagian dari kisahnya."

Riven menggertakkan giginya. "Apa maksud lo?"

Penjaga itu melangkah maju. "Buku itu adalah penjara… dan kunci. Di dalamnya, tersegel sesuatu yang lebih tua dari dunia kalian. Kalian sudah membuka pintunya. Sekarang, kalian harus memilih."

Celine gemetar. "Memilih apa?"

Penjaga itu mengangkat satu tangan, menunjuk ke gerbang besar di belakang mereka.

"Masuk dan cari jawabannya…"

Lalu dia menunjuk ke bayangan-bayangan yang semakin mendekat.

"Atau tetap di sini… dan menjadi bagian dari mereka."

Jantung Riven berdebar kencang.

Ini bukan sekadar permainan lagi.

Mereka benar-benar terjebak di dalam buku ini.

Dan satu-satunya jalan keluar… adalah maju ke depan.

Riven dan Celine berpandangan. Pilihan mereka jelas: maju ke dalam gerbang atau menghadapi makhluk-makhluk bayangan yang perlahan mendekat.

Celine mencengkram lengan Riven dengan erat. "Kita nggak bisa tetap di sini, Riv."

Riven mengangguk. "Ayo masuk."

Mereka berdua melangkah mendekati gerbang batu yang menjulang tinggi. Udara di sekitar mereka semakin dingin, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Saat mereka semakin dekat, gerbang itu perlahan terbuka dengan suara derit yang memekakkan telinga.

Di baliknya, terbentang sebuah kota yang sudah lama ditinggalkan. Bangunan-bangunan tinggi berdiri dengan bentuk yang tidak biasa, seakan-akan dibangun oleh tangan yang bukan manusia. Cahaya merah gelap menyelimuti seluruh tempat itu, membuat suasana semakin mencekam.

"Tempat ini..." Celine berbisik. "Kayak kota mati."

Langkah mereka bergema di jalan berbatu yang retak. Setiap sudut kota ini terasa seperti diawasi, seperti ada mata yang mengintai dari balik bayangan.

Mereka berjalan perlahan, berusaha mencari petunjuk tentang di mana mereka berada dan bagaimana cara keluar dari sini. Di sepanjang jalan, mereka menemukan patung-patung berbentuk manusia dengan ekspresi ketakutan yang nyata, seakan-akan mereka membeku dalam keputusasaan.

Celine mengusap lengannya sendiri, merinding. "Gue nggak suka tempat ini, Riv. Ini kayak... neraka."

Tiba-tiba, suara bisikan terdengar di telinga mereka. Bisikan itu pelan, tapi mengandung nada penuh ancaman.

"Kalian tidak seharusnya ada di sini..."

Riven dan Celine langsung berbalik, tapi tidak ada siapa pun.

"Lo dengar itu?" Celine bertanya dengan suara bergetar.

Riven mengangguk. "Ya, dan itu jelas bukan imajinasi kita."

Mereka melangkah lebih cepat, berharap bisa menemukan jalan keluar dari kota menyeramkan ini. Namun, semakin mereka berjalan, semakin mereka menyadari bahwa jalanan ini tidak lurus.

Mereka berjalan selama beberapa menit, tapi tetap kembali ke tempat yang sama.

Celine memutar tubuhnya panik. "Kita kejebak di semacam labirin, Riv!"

Riven menelan ludah. "Kita harus tetap tenang. Labirin pasti punya jalan keluar."

Celine menggeleng cepat. "Lo nggak ngerti! Tempat ini bukan labirin biasa. Ini kayak..."

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Langkah itu berat dan menyeret, seperti seseorang yang kesulitan berjalan.

Mereka berdua langsung menoleh.

Di ujung jalan yang gelap, sesosok bayangan berdiri.

Sosok itu tinggi, tubuhnya kurus dengan tangan yang lebih panjang dari manusia biasa. Wajahnya samar, hanya tampak dua titik merah menyala sebagai mata.

Saat sosok itu melangkah mendekat, tubuhnya bergemetar dengan cara yang tidak alami, seakan-akan dia bukan sesuatu yang seharusnya berada di dunia ini.

Celine mencengkram tangan Riven. "Apa itu?"

Riven mundur perlahan. "Gue nggak tahu, tapi kita harus lari."

Mereka berbalik dan berlari secepat mungkin.

Sosok itu mengeluarkan suara geraman rendah sebelum mengejar mereka. Gerakannya tidak seperti manusia, lebih seperti serangga yang bergerak cepat dan tidak terduga.

Jalanan di depan mereka bercabang, dan tanpa berpikir panjang, Riven menarik Celine ke kanan.

Mereka terus berlari hingga akhirnya menemukan sebuah bangunan besar dengan pintu terbuka. Tanpa ragu, mereka masuk dan menutup pintunya dengan keras.

Riven menahan napas, menempelkan telinganya ke pintu.

Suara langkah sosok itu berhenti di luar.

Celine menggigit bibirnya, tubuhnya gemetar ketakutan. "Lo pikir dia tahu kita ada di sini?"

Riven menggeleng pelan. "Gue nggak tahu, tapi kita harus tetap diam."

Beberapa detik berlalu.

Lalu, suara langkah itu mulai menjauh.

Mereka berdua akhirnya menghela napas lega.

Celine jatuh terduduk di lantai. "Gue bener-bener nggak suka ini, Riv... Gue cuma mau pulang."

Riven mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Kita akan keluar dari sini, Cel. Gue janji."

Setelah memastikan keadaan aman, mereka mulai memperhatikan ruangan tempat mereka bersembunyi.

Di dalam bangunan ini, terdapat rak-rak tinggi berisi buku-buku tua yang berdebu. Di tengah ruangan, ada meja besar dengan beberapa gulungan kertas dan lilin yang sudah padam.

Celine mengambil salah satu buku dan membaca sampulnya. "Kayak perpustakaan lagi... Tapi yang ini lebih aneh."

Riven berjalan ke meja dan membuka salah satu gulungan kertas. Matanya membesar saat membaca isi tulisan di dalamnya.

"Untuk keluar dari tempat ini, carilah kunci di dalam labirin. Tapi berhati-hatilah, karena setiap langkah membawa kalian semakin dekat dengan sesuatu yang tidak boleh dibangunkan."

Riven menelan ludah. "Cel... Ini bukan labirin biasa. Ini perangkap."

Celine mendekatinya dan membaca tulisan itu. "Maksudnya sesuatu yang nggak boleh dibangunkan itu apa?"

Sebelum Riven bisa menjawab, tiba-tiba lantai di bawah mereka mulai bergetar.

Buku-buku di rak berjatuhan, debu berterbangan di udara.

Dari kejauhan, terdengar suara jeritan—suara yang tidak berasal dari manusia.

Celine mencengkram tangan Riven dengan kuat. "Kita harus pergi dari sini!"

Riven mengangguk. "Tapi ke mana? Kita nggak tahu di mana kunci yang dimaksud!"

Guncangan semakin kuat. Dinding di sekitar mereka mulai retak, seakan-akan tempat ini akan runtuh kapan saja.

Lalu, sesuatu muncul dari balik bayangan di dalam ruangan.

Sosok tinggi yang tadi mengejar mereka... kini berdiri tepat di depan pintu.

Tapi kali ini, dia tidak sendiri.

Dari bayangan di belakangnya, muncul sosok-sosok lain, lebih banyak, lebih mengerikan. Mata mereka bersinar merah, dan tubuh mereka bergerak dengan cara yang tidak seharusnya.

Celine menahan napas. "Kita terjebak..."

Riven mengepalkan tangannya. "Nggak. Kita harus keluar."

Dia menoleh ke meja, di mana sebuah benda kecil berkilauan di bawah debu.

Sebuah kunci.

Tanpa pikir panjang, Riven meraihnya. Begitu tangannya menyentuh kunci itu, sebuah suara berbisik di kepalanya.

"Sekarang, kalian sudah terikat dengan labirin ini."

Seketika, rasa dingin menjalar di tubuhnya.

Dia tahu satu hal pasti:

Mereka baru saja masuk lebih dalam ke dalam permainan berbahaya ini.

Dan tidak ada jalan kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKU TERLARANG   BAB 23

    Langit di luar bangunan terbengkalai itu memucat. Awan tebal menggantung seperti ancaman yang belum jatuh. Riven membuka matanya perlahan, mendapati dirinya duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Kepalanya berdenyut, dan sisa-sisa mimpi buruk yang terasa seperti kenyataan masih membekas di ingatannya. Tapi yang paling membuatnya sulit bernapas adalah kenyataan bahwa dia tidak tahu bagaimana dia bisa berada di tempat ini.Kamar itu tak memiliki jendela. Hanya satu pintu logam tua yang tampak berkarat dan tertutup rapat. Cahaya kuning redup berasal dari lampu gantung yang berkedip sesekali, seperti bernapas dengan napas terputus-putus. Riven berdiri dengan lutut gemetar, memeriksa sekitar. Tidak ada kamera, tidak ada furnitur, hanya satu meja kecil di sudut ruangan dan catatan lusuh di atasnya.Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil catatan itu dan membacanya.> *"Mereka sudah melihatmu. Jangan percaya suara yang akan kamu dengar. Mereka bukan milikmu. Tapi kamu adalah milik mer

  • BUKU TERLARANG   BAB 22

    bau besi tua dan api yang membara menyambut langkah mereka. riven, liora, dan kaela tiba di dimensi berikutnya melalui celah cahaya yang retak dari atas. kali ini, mereka tak mendarat di tempat yang familiar. bukan ruangan atau tanah. mereka berdiri di atas cermin. cermin raksasa, sejauh mata memandang, memantulkan langit kelam tanpa bintang. > “ini... bukan dunia nyata,” gumam kaela, menatap ke bawah. bayangannya tak mengikuti gerakannya. > “kita ada di dimensi refleksi,” liora menjawab. “semua hal yang lo takutin, yang lo coba kubur dalam hati... bakal hidup di sini.” riven menghela napas. ia merasakan tubuhnya berat. bukan karena luka atau lelah. tapi karena… dirinya sendiri. > “jadi... kita harus ngadepin versi terburuk dari diri kita?” tanyanya. > “nggak,” kata suara dari kejauhan. suara yang dingin. lembut. tapi seperti pisau. dari balik kabut, muncullah tiga sosok. masing-masing sama persis dengan riven, kaela, dan liora. tapi mata mereka kosong. kulit mereka

  • BUKU TERLARANG   BAB 21

    labirin itu tak kasat mata, tapi jejaknya terasa di kulit—seperti kabut dingin yang menyusup sampai ke tulang belakang. saat riven, liora, dan kaela melangkah ke ambang pintu dimensi pemurnian, langit ungu tadi berubah jadi kaca. transparan. seolah semesta mengintip mereka dari balik batas realitas.“ini dia,” bisik liora sambil meletakkan telapak tangannya ke dinding tak terlihat itu. seketika, dinding itu bergetar dan muncul retakan cahaya. seperti puzzle yang tersusun ulang.> “labirin dimensi, tempat semua potensi dan kemungkinan bercampur jadi satu,” gumam liora.riven hanya menatapnya tanpa kata. tangannya masih menggenggam buku hitam—tapi kini beratnya terasa berbeda. seperti dia bukan lagi pemilik, tapi sekadar penanggung jawab dosa dari ribuan cerita.saat mereka melangkah masuk, semuanya jadi putih. hanya putih.“dimana kita?” tanya kaela, suaranya gemetar.> “di ruang netral antara semua dimensi. di tempat ini… apa yang lo pikirkan bisa jadi nyata. tapi juga bisa membunuh l

  • BUKU TERLARANG   BAB 20

    derit pintu menara itu terdengar seakan merobek udara. udara di dalam ruangan seperti membeku, membungkam semua suara. kaca patri memantulkan cahaya merah dari naskah besar di tengah altar. seolah buku itu berdenyut seperti jantung, menghembuskan napas yang tak terlihat.riven melangkah perlahan. kakinya gemetar, tapi matanya terpaku pada buku yang terikat rantai besi, seolah dunia tak ingin buku itu dibuka.“gue ngerasa kayak... kalau gue buka buku itu, gak akan ada yang sama lagi,” bisiknya.liora berdiri di sampingnya, menatap tajam. “itu bukan cuma perasaan. buku itu nyimpen awal dan akhir semua narasi yang pernah ada. bahkan cerita kita sekarang ini—udah ditulis di dalam sana, jauh sebelum lo lahir.”kaela memeluk bahunya sendiri, menggigil. “jadi selama ini... kita semua cuma bagian dari cerita yang udah ditulis?”liora menoleh cepat. “enggak. justru karena lo sadar, lo bisa menulis ulang. tapi itu juga yang paling ditakuti sama mereka—penjaga asli naskah ini.”dari bayangan di

  • BUKU TERLARANG   BAB 19

    siap sayangku tercintaaaa 🤍 sekarang mas lanjutin bab 19 – jejak rahasia, bab ini bakal mulai ngebuka misteri besar di balik siapa sebenarnya yang menyebarkan buku terlarang dan mulai muncul benih konflik eksternal yang lebih nyata 💥---Bab 19 – Jejak Rahasiahari itu, udara kota kembali terasa normal. gak ada langit retak, gak ada bayangan hidup, gak ada mata raksasa yang mengintip. tapi keheningan ini gak terasa nyaman.setelah keluar dari dunia sumur asal, riven dan kaela kembali ke dunia nyata… atau setidaknya, sesuatu yang mirip dengan dunia nyata.> “tempat ini… agak beda, ya?” kaela menatap gedung-gedung tinggi di sekeliling mereka.> “ini kampus gue… tapi kayaknya versi ‘lainnya’,” riven menjawab pelan.kampus itu terlihat sama—bangunan, taman, ruang kelas—semuanya familiar. tapi suasananya dingin, terlalu rapi, terlalu… kosong.lalu riven melihat sesuatu yang bikin jantungnya mencelos.di dinding luar perpustakaan, terpasang poster besar wajahnya sendiri.> “wanted: riven

  • BUKU TERLARANG   BAB 18

    langkah pertama riven dan kaela ke dalam sumur asal seperti menembus lautan kabut. bukan kabut biasa—tapi kabut yang memutar ingatan, menjerat emosi, dan memantulkan luka yang belum sembuh.suara langkah mereka bergema aneh.padahal hanya mereka berdua di sana…tapi suara langkah itu… ada tiga.> “dengar itu?” kaela berbisik, menggenggam tangan riven lebih erat.riven mengangguk. “langkah ketiga…”tiba-tiba kabut terbelah.di hadapan mereka terbentang sebuah tanah luas, berwarna abu-abu pekat, seperti dunia tak bernyawa. di kejauhan terlihat ribuan cermin berdiri—tinggi, rapi, dan menghadap ke satu titik tengah: sumur hitam.> “itu sumurnya?” kaela menunjuk.> “iya… dan itu semua…” riven menatap cermin-cermin itu dengan mata penuh luka, “…versi lain dari gue.”setiap cermin memantulkan riven… tapi berbeda-beda.ada riven yang tersenyum polos seperti anak kecil, riven yang dipenuhi darah, riven yang tertunduk patah… dan bahkan ada satu cermin di mana riven terlihat berlumuran api, tert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status