Share

6. KALA GEMA TAKBIR BERKUMANDANG

Rheyna terbangun dari pingsannya.

Setelah dia berhasil melarikan diri dari penjara Mami Grace, Rheyna sempat hidup terlunta-lunta di jalanan.

Dia tidur bersama beberapa pengemis jalanan di trotoar dan emperan ruko-ruko pinggir jalan.

Uang tabungan yang berhasil dia kumpulkan dari pemberian lelaki hidung belang yang pernah menidurinya sebagai bonus tak sama sekali dia gunakan.

Itu uang haram.

Kata Ustadz Rakha, uang haram itu tidak boleh kita pergunakan apapun bentuk keperluannya.

Apalagi sampai dipakai untuk membeli makanan.

Sebab, makanan yang dibeli dengan uang haram akan menjadi daging yang menimbulkan kesesatan. Syaiton bisa bersarang di tubuh kita melalui aliran darah yang terbentuk akibat makanan-makanan haram yang masuk ke dalam tubuh kita.

Rheyna tahu dirinya sudah berlumur dosa, oleh sebab itu dia tidak mau menambah beban dosanya dengan menggunakan uang haram itu, sekalipun dirinya kehausan dan kelaparan.

Ini bulan Ramadhan, bulan penuh berkah.

Rheyna percaya, Allah akan membantunya melewati semua kesulitan yang dia alami saat ini.

"Wah, kamu sudah bangun, Nak?" ucap seorang lelaki bule yang masuk ke dalam kamar yang di tempati Rheyna. Lelaki itu membawa sebuah nampan berisi sepiring kentang goreng dan susu coklat.

Dia menaruh nampan itu di nakas.

"Ayo, makan dulu. Nanti minum obat ya? Tekanan darahmu sangat rendah. Mungkin itu yang mengakibatkan kamu pingsan," ucapnya lagi. Dia tersenyum pada Rheyna.

Dengan sisa tenaga yang dia miliki Rheyna bangkit dari tidur dan terduduk di sisi ranjang tempat tidur yang seprainya sangat wangi.

Ruang kamar yang dia tempati saat ini pun terlihat sangat bersih dan rapi.

Dari dinding ruangan yang bernuansa pink, Rheyna bisa menebak kalau kamar ini pasti milik anak perempuan.

"Sa-saya dimana?" tanya Rheyna.

"Can you speak english?" tanya lelaki itu.

Rheyna tersadar dari kesalahannya. Bermodal bahasa inggrisnya yang minim, Rheyna mulai berbicara menggunakan bahasa inggris.

"Where I am?" tanya Rheyna.

"Kamu di rumahku," jawab lelaki itu. Dia duduk di sebuah kursi yang berada di sisi tempat tidur. "Semalam kamu pingsan di depan pintu gerbang rumahku. Lalu, aku bawa kamu ke sini. Dulu, ini bekas kamar anakku,"

"Ini jam berapa?" tanya Rheyna lagi. Penglihatannya menyapu seisi ruangan, mencari letak jam dinding, tapi tak dia temukan juga.

Lelaki itu menoleh ke arah jam yang melingkar di tangannya. "Ini baru jam delapan pagi," katanya.

Rheyna menatap makanan di nakas. Makanan itu pasti sangat enak. Tapi, dia bertekad untuk tetap melanjutkan berpuasa, walau tidak sahur.

"Ayo di makan, lalu minum obat. Setelah itu kamu bisa beristirahat lagi. Aku harus bekerja hari ini karena ada jadwal operasi. Aku bekerja di rumah sakit Pusat kota Las Vegas," jelasnya pada Rheyna.

Lelaki itu hendak pergi, tapi dia teringat sesuatu hingga membuat dia berbalik.

"Perkenalkan, namaku Albert. Aku tinggal bersama asisten rumah tanggaku di sini. Jika perlu apa-apa, panggil saja Bibi Seth di dapur, oke?"

Rheyna mengangguk.

Meski dalam hati dia masih diliputi perasaan cemas.

Apakah lelaki itu benar-benar orang baik?

*****

"Hallo, Sam?" suara Ricky terdengar kencang.

Sammy yang baru saja terbangun dari tidur jelas kaget mendengar teriakan Ricky ditelepon itu.

"Ada apa sih? Kau pikir telingaku tuli? Pagi-pagi menelepon dengan suara keras!" Omel Sammy sambil menggosok telinganya yang pengang.

Ricky terkekeh diseberang. "Aku ada kabar bagus untukmu," beritahu Ricky dengan suara serius.

"Kabar apa?"

"Ada pekerjaan baru untukmu, bayarannya besar,"

"Lalu?"

"Ya seperti biasa, 25 % pembayaran jadi hak milikku!"

"Iya, aku tahu soal itu. Kau tenang saja, yang penting pekerjaan itu tidak melenceng dari persyaratan biasa,"

"Iya tuan Sammy, aku mengerti," sahut Ricky yang sudah paham di luar kepala apa-apa yang Sammy ajukan pada kliennya sebelum dia menerima tawaran membunuh.

Pertama, Sammy cuma mau membunuh lelaki di usia pertengahan antara 20 sampai 40 tahun.

Kedua, Sammy paling anti membunuh perempuan, apalagi harus memperkosa.

Dan ketiga, Sammy tidak menerima tawaran untuk penculikan anak.

"Jadi, siapa targetnya kali ini?" tanya Sammy kemudian.

"Namanya Albert. Lelaki berusia 35 tahun. Berprofesi sebagai dokter spesialis di rumah sakit pusat Las Vegas. Aku akan kirim alamat rumahnya padamu sekarang," jawab Ricky lengkap.

*****

Sammy berjalan di sepanjang trotoar yang menjadi akses menuju flatnya.

Cuaca malam di Las Vegas terasa lebih dingin di malam hari semenjak masuk musim dingin.

Tapi Sammy tak begitu terganggu.

Dia bahkan sudah sering tertidur tanpa pakaian di dalam ruang isolasi penjara yang gelap, pengap dan dingin. Berteman binatang-binatang melata dan serangga kecil di sekitarnya.

Jadi, hanya hawa dingin saja, tak cukup membuat Sammy gentar.

Hari ini Sammy mendapat pekerjaan baru dari Ricky untuk membunuh seseorang dan tadi Sammy baru saja melakukan kroscek ke alamat rumah target yang akan menjadi korban Sammy kali ini. Setidaknya dia perlu mengetahui seluk beluk area rumah itu sebelum melancarkan aksinya.

Rumah itu sangat mewah dan hanya di huni oleh dua orang. Kenyataan itu cukup membuat Sammy lega. Setidaknya operasi yang akan dia lakukan nanti tidak akan menemui kesulitan yang berarti.

Sammy sudah bergelut dalam profesi ini selama dua tahun belakangan dan dia cukup profesional dalam pekerjaannya. Pekerjaan yang Sammy lakukan selalu berjalan mulus bahkan tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Kemampuannya mengintai target dan bersembunyi memang patut diacungi jempol.

Sammy itu mantan prajurit terbaik sewaktu dirinya masih menjadi bagian dari tentara militer di Indonesia, itulah sebabnya dia ahli dalam hal intai mengintai dan membunuh lawan bahkan tanpa meninggalkan suara dan jejak.

Sammy terus saja melangkah menyusuri trotoar itu ketika telinganya menangkap suara-suara merdu dari arah masjid yang dia lewati.

"Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd,”

Sammy menghentikan langkahnya sejenak.

Ditatapnya lekat ke arah masjid itu.

Suara-suara itu terus bergema di telinganya.

Menimbulkan perasaan damai yang tak mampu terungkap dengan kata-kata.

Hati dan jiwanya yang semula gersang seolah menemukan sesuatu yang tak biasa.

Seperti ada sebuah cahaya indah yang menerangi sisi lain dirinya yang beraura gelap.

Tanpa tersadar, sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas.

Sammy tersenyum.

Dia hendak melangkah masuk ke dalam Masjid itu, namun urung dia lakukan setelah mengingat bahwa dirinya bukanlah seorang muslim.

Jika dia nekat masuk, yang ada dia akan dicurigai sebagai teroris nanti.

Mengingat persiteruan antara muslim dengan warga sipil Amerika masih terus bergulir sejak tragedi WTC yang terjadi belasan tahun silam.

Tragedi itu membuat persepsi penduduk Amerika terhadap warga Muslim berubah, cenderung mengarah pada hal-hal negatif.

Sejak kejadian itu banyak warga muslim yang tinggal menetap di Amerika didiskriminasi. Penduduk Amerika berpendapat bahwa muslim adalah teroris.

Sejak saat itu hubungan antara penduduk sipil Amerika dengan warga muslim yang menetap di Amerika sempat bersitegang meski hal itu berangsur membaik dari waktu ke waktu. Tapi yang namanya pemicu konfrontasi tetap saja ada.

Saat itu, Sammy memilih untuk terus melanjutkan perjalanannya menuju flat.

Masih dengan suara gema takbir yang menggema di telinganya.

Menghangatkan sanubari.

Menyejukkan hati.

*****

Rheyna termenung di jendela kamar menatap gerimis yang turun.

Gema takbir terus dia lantunkan dari bibirnya.

Perlahan air matanya meleleh membasahi pipi.

Ini sudah tahun kelima Rheyna merayakan malam takbiran sendirian.

Dulu selagi masih tinggal di yayasan panti asuhan milik Ummi dan Abi, setiap malam takbiran pasti Rheyna selalu nimbrung bermain petasan bersama anak-anak lelaki di yayasan.

Dia masih ingat betul kawan-kawan seperjuangannya dulu di yayasan.

Ada Restu, Adnan, Althaf, Rojak, Ikhsan, Damar dan terakhir Fadli.

Mereka adalah sekumpulan anak lelaki sebaya Rheyna yang sering menjadi kawan main Rheyna yang dulu dikenal tomboy.

Mereka semua sama seperti Rheyna, sama-sama anak yatim piatu yang diasuh dan dibesarkan di panti asuhan sejak kecil.

Berbeda dengan Fadli yang bergabung saat usianya sudah 12 tahun. Yang Rheyna tahu tentang Fadli, konon katanya, Fadli itu anak yang dibuang oleh ke dua orang tuanya yang tidak mau mengakui Fadli sebagai anak.

Entahlah, Rheyna dulu terlalu cuek untuk perduli pada sesama karena dia cuma sibuk bermain dan membantu Zulfa mengurus Aisyah.

Fadli itu anaknya pendiam dan cenderung galak kalau didekati, kalau tidak diajak bermain duluan dia jarang nimbrung dan lebih sering menyendiri.

Beberapa ingatan tentang sosok Fadli kian merasuk dalam benak Rheyna.

*

"Ayo ke masjid Fadli, sudah adzan!" ajak Rheyna saat itu. Sewaktu dirinya masih remaja dan tinggal di yayasan. Gadis itu tampak menarik-narik tangan seorang bocah lelaki bernama Fadli.

"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau shalat! Untuk apa aku shalat? Allah tidak menyayangiku karena dia sudah membuatku harus hidup terpisah dengan Mamah dan Papah! Aku TIDAK MAU SHALAT!" Fadli berlari menghindari Rheyna.

Hingga pada akhirnya, Mba Zulfa atau Ustadz Rakha yang harus turun tangan merayu Fadli agar bocah itu mau shalat.

*

"Kita kabur saja yuk Rhen?" ajak Fadli pada Rheyna saat mereka sedang bermain layangan di tepi pantai Parang Tritis.

"Kabur? Kabur kemana?" tanya Rheyna bingung.

"Ke Jakarta. Nanti aku ajak kamu ke rumah orang tuaku. Rumahku di Jakarta besar seperti istana, banyak mainan dan ada kolam renangnya," beritahu Fadli dengan penuh antusias.

Rheyna mencibir. "Tidak mau ah. Kalau mau berenang di sini tinggal ke pantai saja, enak, luas. Mainan di sini juga banyak. Bisa main layangan, main bola, main petak jongkok, petak umpet, lomba lari kelomang. Pokoknya permainan di sini seru. Apalagi kalau mainnya ditemani dengan Ustadz Rakha yang ganteng, hihihi," Rheyna malah cekikikan.

"Huh! Norak!" Fadli menjitak kepala Rheyna dan langsung berlari.

Rheyna yang kesakitan tidak terima langsung mengejar Fadli.

Mereka berlarian di tepi pantai Parang Tritis yang indah.

*

Sebuah senyuman terukir di wajah cantik Rheyna tatkala ingatannya kembali pada masa-masa kecilnya yang begitu indah.

Meski besar di panti asuhan, namun Rheyna tak merasa kekurangan kasih sayang.

Ummi dan Abi serta anak-anak mereka terutama Ustadz Rakha dan Mba Zulfa sangat menyayangi Rheyna dan selalu memperlakukan Rheyna seolah-olah Rheyna adalah bagian dari keluarga mereka.

Itulah sebabnya kehidupan Rheyna di Bantul dulu sangat menyenangkan.

Walau terkadang sebagai seorang anak, Rheyna kerap merasa iri melihat anak-anak lain yang tumbuh di tengah keluarga utuh dan mendapat kasih sayang berlebih dari orang tua mereka.

Hal itu wajar, mengingat Rheyna yang waktu itu masih remaja dan labil di usianya yang masih belasan tahun.

Tapi sekarang, sejak usianya sudah semakin dewasa terlebih dengan pengalaman buruk yang dia alami selama lima tahun belakangan ini, cukup membuat Rheyna yakin bahwa tidak ada kehidupan yang lebih baik yang bisa dia jalani selain di tempat asal dia berada.

Yakni, di panti asuhan Al-Amir.

Seandainya saja Allah berkenan mendengar doa-doanya, Rheyna ingin sekali bisa kembali pulang ke sana.

Bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga besar Abi dan Ummi.

"Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd,”

Lantunan takbir itu masih terus terdengar dari mulut Rheyna.

Sekali lagi Rheyna menoleh ke arah langit dan berdoa di dalam hati.

"Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, tunjukkan kuasamu. Berikan kemudahan bagiku agar bisa terbebas dari kehidupan yang kotor ini. Aku lelah, aku ingin pulang..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status