Share

7. SANG LELAKI BERTOPENG

Sudah satu minggu Rheyna tinggal menetap di kediaman Albert.

Lelaki berusia 35 tahun itu sangat perhatian dan memperlakukan Rheyna seperti anaknya sendiri.

Kebutuhan hidup Rheyna terpenuhi, pun keselamatannya dari kejaran orang-orang Mamy Grace terjamin. Rheyna aman selama dia berada di kediaman Albert.

Malam ini seperti biasa Rheyna melahap banyak sekali makanan yang memang telah disediakan Bibi Seth di dalam kamar yang dia huni.

Satu peraturan yang diberikan Albert pada Rheyna selama gadis itu tinggal dikediamannya yaitu Rheyna dilarang wara-wiri keluar dari area kamar yang disediakan Albert untuk gadis itu. Sementara Rheyna menurut saja karena dia sudah sangat bersyukur atas kebaikan Albert yang bersedia menampungnya dan mencukupi segala kebutuhannya sejauh ini.

Satu hal yang Rheyna ketahui sejak dirinya tinggal di rumah ini adalah Albert hidup sebatang kara. Tak ada anak atau pun istri. Hanya bibi Seth sang asisten rumah tangga saja yang menemani Albert di rumah.

Melihat hal itu Rheyna jadi prihatin. Harusnya di usianya yang sudah terbilang matang, Mr. Albert sudah berkeluarga. Minimal dia memiliki kekasih. Namun sejauh ini tak sekali pun Rheyna melihat Albert mengajak perempuan ke kediamannya.

Entahlah, sepertinya Albert memang senang hidup menyendiri.

"Non Rheyna mau tambah lagi makannya?" tanya Bibi Seth yang membawa irisan buah-buahan untuk Rheyna.

Rheyna menggeleng. Dia merasa perutnya sudah sangat penuh, saking kenyang.

"Ini obatnya diminum dulu, Non," kata Bibi Seth lagi. Dia menaruh piring berisi irisan buah tadi ke nakas dan memberikan sebutir pil yang harus di minum Rheyna. Kata Albert itu vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh.

"Rheyna sudah makan banyak sekali, Bi. Tidak perlu minum vitamin lagi," kata Rheyna yang memang paling tidak suka minum obat.

"Tapi kata Tuan Albert, Non Rheyna harus minum obat ini," pinta Bibi Seth lagi.

"Ya sudah nanti Rheyna minum, Bi," ucap Rheyna pada akhirnya. Setengah terpaksa.

Bibi Seth tersenyum. "Kalau perlu apa-apa, panggil saja Bibi di belakang ya. Kalau mau mandi, handuknya di lemari,"

Sepeninggal Bibi Seth, Rheyna bangkit dari tempat tidur. Mengambil handuk ples pakaian ganti di lemari. Dia hendak mandi wajib karena darah haidnya yang keluar sejak lima hari yang lalu sepertinya sudah berhenti.

Usai bersih-bersih, saat itu Rheyna hendak shalat, namun dia tidak menemukan mukena dan sajadah yang sebelumnya disediakan Bibi Seth di lemari untuknya.

Karena Bibi Seth tidak kunjung datang setelah Rheyna memanggilnya beberapa kali, jadilah Rheyna keluar kamar untuk mencari wanita paruh baya itu.

Langkah Rheyna sempat terhenti sejenak ketika dia melewati sebuah lorong yang sepertinya menuju ruang bawah tanah atau mungkin gudang. Ada beberapa anak tangga di sana yang menghubungkan lorong itu ke sebuah pintu berwarna coklat.

Rheyna menghirup napas dalam. Dia seperti mencium bau busuk. Bau busuk itu berasal dari ruang bawah tanah di ujung lorong itu.

Degup jantung Rheyna kian berpacu kencang tatkala langkahnya kini justru terarah menuju pintu berwarna coklat di bawah sana.

Rheyna tahu dirinya sudah melanggar peraturan yang diberikan Albert tapi rasa penasaran justru mengalahkan segalanya.

Dengan langkah super pelan Rheyna menuruni satu persatu anak tangga itu. Semakin langkahnya dekat dengan pintu, bau busuk itu semakin terhirup dengan sangat jelas.

Saat tubuhnya sudah berdiri tepat di depan pintu berwarna coklat itu, dengan tangan yang terulur untuk meraih kenop pintu dan memutarnya, tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.

"Rheyna?"

Rheyna berbalik setelah menarik cepat tangannya dari kenop pintu. Dia kelihatan pucat saking kaget.

Dilihatnya Albert sudah berdiri di belakangnya. Di ujung tangga.

Lelaki bule itu tersenyum hangat.

"Sedang apa di sana?" tanya Albert.

Apa dia akan marah?

Tanya hati Rheyna yang seolah tertangkap basah sedang mencuri. Rheyna jadi benar-benar tidak enak pada Albert.

"Ng-ng, ta-tadi saya cuma mau cari Bibi Seth untuk meminta mukena, sebab saya ingin shalat," jawab Rheyna terbata akibat gugup.

"Oh, begitu. Mari ikut aku," ajak Albert kemudian.

Tak punya pilihan, akhirnya Rheyna mengekor langkah Albert dan terpaksa membuang jauh rasa penasaran di dalam benaknya terhadap sesuatu yang ada dibalik pintu itu.

Rheyna sempat menoleh kembali ke arah pintu sebelum dia melangkah lebih jauh.

"Help me... Please...help me..."

Napas Rheyna tercekat di tenggorokan ketika indra pendengarannya berhasil menangkap suara lirih seseorang dari dalam sana.

Rheyna hendak menoleh ke arah Albert, tapi dia terlambat.

Lelaki bernama Albert itu sudah lebih dulu membekap mulutnya.

Dia membius Rheyna.

*****

Rheyna merasakan pening hebat di kepalanya ketika dia membuka mata.

Sorot lampu yang begitu terang mengarah ke wajahnya, membuat matanya silau.

Rheyna mengernyitkan dahi.

Samar-samar dia melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari tempatnya berbaring.

Ingatan tentang kejadian maghrib tadi di dalam rumah Albert kian berputar ulang di kepalanya.

Bola mata Rheyna terbelalak ketika kesadarannya sudah kembali utuh.

Rheyna baru sadar kalau dirinya saat ini sedang terbaring di atas sebuah brankar berwarna hitam dengan kondisi ke dua tangannya yang terikat.

Susah payah Rheyna mencoba melepaskan diri, tapi sayang usahanya itu sia-sia. Tali-tali yang melingkar di pergelangan tangannya sangat kuat.

Saat itu Rheyna tidak tahu dirinya ada dimana. Ruangan itu seperti sebuah laboraturium kimia.

Banyak tabung-tabung reaksi dengan cairan-cairan berwarna-warni yang mengepulkan asap putih.

Bau busuk kian santer terhirup kembali.

Rheyna menoleh ke ujung ruangan dengan pencahayaan redup.

Dia mengerutkan kening, ketika sepasang netranya menangkap beberapa mayat yang tergeletak dengan posisi tertumpuk rapi di ujung ruangan itu. Darah segar berceceran di sekitar tumpukan mayat-mayat itu.

Astagfirullah al-adzim...

Rheyna memekik dalam hati.

Perasaan takut mulai menyelimuti dirinya.

Terlebih ketika seseorang lain di dalam ruangan itu berjalan menghampiri dirinya.

Dia Albert.

"Kamu tahu Rheyna, aku paling tidak suka dengan seseorang yang tidak menuruti perintahku. Aku tidak mau ambil resiko dengan membiarkanmu mencurigai aku. Itulah sebabnya kamu ada di sini sekarang," jelas Albert yang saat itu mengenakan seragam medisnya.

"Ketika pulang dari rumah sakit tadi aku sempat berpikir untuk memungut tunawisma di jalanan seperti yang biasa aku lakukan untuk menjadi objek percobaanku. Tapi aku mengurungkan niatku karena sudah terlalu banyak tunawisma yang dikabarkan hilang, aku takut aksiku ini tercium polisi. Lalu aku teringat dirimu," cerita Albert lagi. Lelaki itu tersenyum dengan seringai menakutkan.

Sosok Albert saat ini tampak berbeda dengan Albert yang Rheyna temui kemarin-kemarin.

"Tolong lepaskan saya... Saya mohon..." pinta Rheyna yang mulai menangis.

Albert menatapnya dengan wajah prihatin namun beberapa detik setelahnya lelaki itu tertawa renyah.

"Berdoalah, semoga eksperimenku kali ini tidak gagal," ucap Albert sambil mempersiapkan alat suntik.

Rheyna terus memohon agar Albert melepaskannya.

Lelaki itu mengarahkan lampu sorot ke arah perut Rheyna, menggunting kaos yang dikenakan Rheyna dan menggunakannya untuk menyumpal mulut Rheyna, hingga menyisakan bra hitam yang melekat di tubuh mungil gadis itu.

"Tahan sedikit, ini agak sakit," ucap Albert saat hendak menyuntikkan cairan yang tadi sudah dia siapkan ke arah perut Rheyna.

Rheyna sendiri tidak tahu suntikan itu berisi cairan apa namun yang pasti ada kemungkinan akibat cairan itulah orang-orang tak berdosa mati di tangan Albert.

Kepala Rheyna menggeleng cepat dengan gumaman yang semakin kencang begitu suntikan di tangan Albert hampir menembus kulit perutnya. Rheyna benar-benar ketakutan.

Suara teriakan Bibi Seth dari arah luar membuat aksi Albert terhenti.

Lelaki itu menoleh cepat ke arah pintu dan mendapati seorang lelaki lain dengan sebuah topeng yang menutup wajahnya masuk ke dalam ruangan jagal itu.

"Siapa kamu?" tanya Albert dengan nada panik ketika lelaki asing itu berjalan menghampirinya.

Lelaki bertopeng itu sempat menoleh ke arah perempuan yang terbaring di atas brankar. Dia tampak terkejut, hingga membuat konsentrasinya terpecah, terlebih ketika dia melihat setumpukan mayat dengan kondisi mengenaskan di ujung ruangan itu.

Albert berhasil menggunakan kesempatan itu untuk memukul bahu lelaki bertopeng tadi, lalu dia berniat kabur.

Tapi langkahnya berhasil ditahan oleh si lelaki bertopeng yang langsung menyeret tubuh Albert keluar dari ruangan itu.

Saat itu, Rheyna terus berusaha melepaskan diri. Tangan gadis itu bergetar saking takut.

Suara lengkingan Albert terdengar memecah kesunyian, membuat tengkuk Rheyna merinding.

Entah apa yang terjadi dengan Albert saat ini, Rheyna tidak perduli, yang dia tahu, dia harus lekas pergi dari tempat ini.

Gadis malang itu masih berkutat dengan usahanya untuk melepaskan diri ketika seseorang masuk ke dalam ruangan itu.

Dia lelaki bertopeng tadi.

Rheyna semakin ketakutan, terlebih ketika dia melihat tangan lelaki itu yang berlumuran darah. Bahkan dalam genggaman tangannya terdapat sebuah pisau yang juga terdapat noda darah.

Itu pasti darah Albert.

Lelaki bertopeng itu pasti sudah membunuh Albert.

Terka Rheyna membatin.

Napas Rheyna masih tersengal ketika lelaki itu berdiri di samping tubuhnya yang masih terbaring tak berdaya.

Lelehan air mata Rheyna kian deras. Tatapannya nanar memohon belas kasihan lelaki bertopeng yang kini sedang menatapnya.

Rheyna menutup matanya ketika sebelah tangan lelaki itu terangkat, namun dia kembali membuka mata saat tahu kalau lelaki itu hanya berniat menarik kain yang menyumpal mulutnya.

Rheyna melepas napas panjang berulang-ulang. Dia kembali menangis.

"Tolong lepaskan saya... Jangan sakiti saya... Saya mohon..." rintihnya lirih.

Ke dua bola mata Rheyna kembali melotot ketika tangan lelaki bertopeng itu kembali mengangkat tangannya yang memegang pisau.

Rheyna menahan napas.

Dan berhasil membuangnya cepat ketika lagi-lagi, lelaki itu justru malah melepaskan ikatan di ke dua tangan Rheyna.

"Cepat pergi, sebelum polisi datang jika kamu tak ingin terlibat masalah lebih jauh," ucap lelaki bertopeng itu sebelum dia melangkah pergi.

"Apa yang kamu lakukan pada Albert?" tanya Rheyna saat itu. Entah darimana datangnya keberanian itu. Rheyna sendiri tidak tahu.

Lelaki bertopeng itu menghentikan langkahnya. "Aku sudah membunuhnya," jawabnya tanpa menoleh.

"Kenapa kamu melakukan itu?" Rheyna mendekat dengan sebuah benda tumpul yang dia sembunyikan di balik punggungnya.

Lelaki itu tidak menjawab tapi malah pergi.

Rheyna berlari ke arah si lelaki dan memukul kepala lelaki itu lalu menarik topeng yang dikenakannya.

Lelaki itu meringis kesakitan.

Hingga pada saatnya, tatapan ke dua manusia itu pun bertemu.

Rheyna berhasil menangkap wajah si pembunuh itu.

*****

Rheyna dan si pembunuh bertopeng berhasil keluar dari kediaman Albert saat mereka mendengar suara sirine mobil kepolisian datang.

Lelaki itu yang mengajak Rheyna pergi setelah Rheyna menyempatkan diri mengambil beberapa barang berharga miliknya di kamar yang sebelumnya dia tempati, dan yang pasti setelah Rheyna berpakaian.

Ada kemungkinan Bibi Seth yang memanggil polisi setelah perempuan tua itu berlari ketika pembunuh bertopeng itu menakut-nakutinya dengan benda tajam. Padahal, dia hanya menggertak saja.

Dan itu artinya, perempuan tua itu tidak tahu kelakuan bejat sang majikan selama ini.

Atau bisa jadi, dia berpura-pura tidak tahu karena takut.

"Where are you going?" tanya si pembunuh pada Rheyna ketika mereka sudah berada jauh dari kediaman Albert.

Rheyna tidak menjawab. Wajahnya masih menampakkan bahwa dirinya syok berat atas apa yang telah dialaminya hari ini.

Melihat pemandangan itu, hati si pembunuh menjadi tergugah.

Dia ingin menolong perempuan itu.

Lelaki itu sadar bahwa dia sedang bergulat dengan bahaya besar karena Rheyna sudah melihat wajahnya dan mengetahui bahwa dirinya baru saja menghabisi nyawa orang lain. Identitasnya akan dipertaruhkan, pun keselamatannya di negeri orang. Namun, ada sesuatu disudut lain hatinya yang mengatakan bahwa dirinya harus melawan kekhawatirannya itu.

Dia percaya, Rheyna tidak akan melakukan tindakan yang bisa merugikan dirinya.

Bermodal tekad yang kuat, akhirnya lelaki itu malah memperkenalkan diri pada Rheyna.

"Introduce, my name is Sammy, don't be afraid, I don't mean to you," ucap Sammy dengan tangan terulur ke arah Rheyna.

Sayangnya, di luar dugaan, Rheyna justru kabur begitu Sammy memperkenalkan diri.

Perempuan itu berlari tunggang langgang tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

Meninggalkan Sammy yang hanya bisa termangu di tempat.

Masih dalam posisi, sebelah tangannya yang terulur ke depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status